00. Always Missing You

619 60 1
                                    

1 Oktober 2008
Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata

Seorang wanita tua memakai selendang hitam yang menutupi kepalanya berjalan memasuki pintu utama sebuah pemakaman militer terkenal di Jakarta. Di tangannya ia menenteng sebuket bunga mawar putih, sekantong bunga-bunga yang sering di gunakan untuk menabur, dan tak lupa sebotol air mawar berukuran sedang. Di kanan-kirinya, ada beberapa petugas kepolisian wanita yang sesekali menuntunya jika kakinya agak kesulitan berjalan. Maklum, usianya sudah senja. Meskipun usianya sudah senja, wanita masih terlihat cantik dan anggun. Beberapa kaum perempuan pecinta sejarah ingin sepertinya di beberapa aspek. Seperti kecantikan, kecerdasan, dan keanggunan yang dia miliki.

Jepretan dan kilatan kamera saling memantul satu sama lain untuk bisa mengambil gambar wanita tua tersebut. Awak media, para anggota angkatan bersenjata dan para peziarah di sana tentu saja tahu siapa wanita itu. Elizabeth Boulet. Sang kekasih mendiang Kapten Czi. (Anumerta) Pierre Andries Tendean, perwira muda yang gugur karena masa kelam 1965. Namanya cukup tersohor di beberapa buku biografi sang perwira muda. Buku yang paling terkenal dan paling menyoroti kisah cinta Elizabeth dan Pierre berjudul 'Cinta Terakhir Sang Perwira Muda'. Buku itu di terbitkan pada 2001 dan hampir di angkat menjadi sebuah film. Namun Elizabeth dan pihak keluarga Tendean tidak mengizinkan akan hal itu. Apalagi Elizabeth, dia tidak akan kuasa melihat kenangan dirinya dan Pierre karena film yang mengangkat kisah cinta mereka. Itu sama saja membuka luma lama meskipun hanya sebatas 'reka adegan' di layar lebar. Pada tahun 1984, Elizabeth sempat pingsan setelah menonton adegan dokudrama yang di angkat menurut kejadian G30S PKI. Elizabeth pingsan saat melihat adegan penyiksaan yang di alami oleh kekasihnya, meskipun pada saat itu hanya di perankan orang lain, Elizabeth langsung terbayang-bayang bagaimana sakitnya Pierre di kejadian aslinya. Elizabeth juga sempat tidak mau  karakter dirinya di masukkan ke film dokumenter tersebut, namun karena bujukan dan dukungan tajam yang di lakukan oleh Pak Nas, Elizabeth mengizinkan karakter dirinya di masukkan kedalam film tersebut. Dia bahkan juga melihat langsung proses syuting aktris yang memerankan karakternya.

Elizabeth sesekali tersenyum kepada para wartawan yang meminta untuk melihat ke arah kamera. Sejujurnya, selama ini dia kurang nyaman dengan sorot kamera jika berkunjung ke TMP Kalibata di setiap tanggal 1 Oktober. Elizabeth lebih suka mengunjungi makam Pierre, mendiang Pak Nas yang sudah meninggal pada 6 September 2000 lalu dan Ade di minggu sore menjelang Maghrib, karena kondisi makam sudah cukup sepi dan tentu saja di hari-hari biasa itu tidak ada kilasan kamera yang cukup menusuk ke mata. Tapi apa boleh buat, Bu Nas selalu mengajaknya datang ke TMP Kalibata di tanggal 1 Oktober untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Elizabeth tentu tidak bisa menolak permintaan Bu Nas itu, selama puluhan tahun Bu Nas sudah seperti ibunya sendiri. Dia akan merasa jika tidak menuruti apa yang Bu Nas inginkan. Selama dirinya masih sehat, dia akan selalu menemani Bu Nas jika beliau memintanya.

Setelah upacara khusus, Elizabeth mendatangi makam Pak Nas dan Ade terlebih dahulu. Setelah hal itu, barulah dia melipir ke makam sang kekasih.

Elizabeth selalu ingin menangis jika dirinya sudah berpindah ke makam Pierre. Meskipun sudah puluhan tahun, rasa sakit itu belum sepenuhnya sembuh. Oh bagaimana bisa sembuh? Elizabeth tidak sekuat mendiang ibunya saat di tinggal sang ayah. Ia begitu rapuh dan hancur setelah kematian Pierre. Di tambah lagi Ade juga meninggal lima hari kemudian. Kehilangan dua orang tersayang di waktu yang dekat. Sakitnya dobel.

Saat Pierre menjanjikan dirinya untuk menikahinya kelak meskipun pada saat itu mereka baru sehari berpacaran, Elizabeth sudah memilki mimpi untuk membangun keluarga yang sempurna dan harmonis bersama Pierre. Tapi semua mimpi itu telah pupus. Pierre lebih dulu mendahuluinya. Elizabeth memang sudah mengikhlaskan Pierre, namun dirinya tidak akan pernah pulih setelah di tinggal selamanya oleh sang kekasih.

Pada saat di tinggal oleh Pierre untuk selamanya, usianya memang masih berusia dua puluh satu tahun, sangat muda dan membuat banyak orang tentu saja berfikiran 'ah, nanti juga move-on sendiri. Bagaimanapun juga, dia butuh pendamping'. Tapi nyatanya tidak seperti itu. Elizabeth memang butuh pendamping di hidupnya, tapi HARUS Pierre, bukan pria manapun.

Selesai berdo'a dan menabur bunga di makam milik Pierre, Elizabeth tersenyum tipis namun dengan air mata yang mengalir. Menyentuh  tanda nama Pierre yang tertancap di atas makamnya. Jika sudah seperti ini, Elizabeth tidak lagi memperdulikan bahwa banyak mata mengarah ke dirinya. Dia ingin menangis. "Apa kabar, Mas? Izzie rindu sekali sama Mas," bisik Elizabeth lembut dengan air mata yang semakin deras mengalir. "Kalau Izzie alhamdulillah baik-baik saja, Mas. Izzie juga masih sehat meskipun Izzie sudah tua," ucap Elizabeth dengan sedikit tawa. Dia mati-matian untuk tidak menangis sesegukan lagi meskipun air matanya terus mengalir. "Kalau Mas masih ada, mungkin kita juga sudah sama-sama keriput ya mas, Mas. Mas curang sih, aku sudah keriput begini, kamu masih tetap anak muda" ucap Elizabeth lagi, dia tertawa, tapi kali ini lebih lebar dan menghapus pelan air matanya. "Dan seperti Yanti, Mba Mitzi dan Roos. Kita pasti sudah—" Elizabeth menarik nafas panjang, mengadah ke langit dan memejamkan matanya, lalu kembali menatap makam Pierre. "Kita pasti sudah punya anak, atau punya cucu yang lucu-lucu," ucap Elizabeth, nafasnya mulai sesak lagi karena mati-matian untuk tidak sesegukan. Dia menempelkan keningnya ke tanda nama Pierre.

"Izzie ngga pernah ngga kangen, Mas. Setiap hari Izzie selalu membayangkan kalau Mas selalu ada di sisi Izzie, menemani Izzie. Tapi imajinasi Izzie terlalu tinggi ya, Mas. Karena Mas kini sudah menjadi milik Tuhan," ucap Elizabeth lembut. Tangannya mengelus tanda nama itu dengan penuh rasa sayang. "Tu me manques toujours, Pierre,"*¹  bisik Elizabeth lembut, mengutarakan kerinduannya kepada sang Pahlawan Revolusi menggunakan bahasa Prancis. Aksen Prancisnya begitu kental namun terdengar halus.
Salah satu hal yang di sukai Pierre dari Elizabeth adalah gadis manis itu handal beberapa bahasa asing. Prancis, Inggris, Belanda dan China. Elizabeth sangat fasih di empat bahasa asing itu. Apalagi Prancis. Pierre seperti kecanduan saat Elizabeth berbicara bahasa Prancis dengannya. Dulu Ade dan Yanti sempat bengong saat melihat kakak dan Om Pierre-nya itu berbicara bahasa Prancis satu sama lain.

"Mas, jika Izzie punya kesempatan sekali lagi untuk membuat Mas tetap hidup, Izzie akan egois, Mas. Tidak perduli bahwa Izzie akan merubah sebuah takdir yang seharusnya terjadi. Izzie lelah Mas karena Izzie selalu kehilangan apa yang seharusnya Izzie punya," ucap wanita itu, menutup mulutnya dengan selendangnya untuk mereda tangisnya yang mulai terdengar.

Dan akhirnya, Izzie selalu pecah pada tangisan kerinduan dan sakit atas kepergian Pierre. Keputusannya untuk tidak akan pernah menikah menurutnya sudah sangat benar. Karena jika dia menikah, itu sama saja membuat hati suami dan anak-anaknya sakit. Karena pada dasarnya, cinta Izzie hanya milik Pierre. Dia tidak bisa membuka hatinya untuk pria lain. Dia tidak ingin menyakiti hati seorang pria yang menikahinya dengan alasan hanya untuk melanjutkan hidupnya. Baginya, pernikahan harus di dasari cinta, tidak dengan alasan lain.

///

¹Tu me manques toujours, Pierre (Bahasa Perancis) : Saya selalu merindukanmu Pierre

Elizabeth's Past Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang