13

499 69 11
                                    

"Tapi ini agak... aneh gitu. Yakin mau denger?"

"Lah? Tadi lo yang bilang mau cerita sesuatu, kenapa sekarang malah kadi nanya gue yakin apa nggak?"

April terkekeh, "Ya abis ini tuh aneh bangeet! Aku sendiri gak nyangka gitu, cuma yaa bener."

"Apaan sih? Lo kayak gitu malah bikin gue makin penasaran."

"Tapi takut kamu jijik gitu."

"Nggaak, gak bakal. Apa? Apa yang aneh?"

"Janji?"

"Iyaa Pril! Ah lama!"

April masih mengembang senyuman lucu, ia mendekat, mendekatkan wajahnya pada telinga sang lawan bicara. "Sebenernya aku ada.. ngg.. kayak rahim gitu."

"Hah?!"

"Eh?"

"Maksud lo?"

"Y-ya, ya gitu. Ada rahim. Kelainan sih ini jatohnya."

"Tapi lo cowok kan?"

April mengangguk, "Cowok." menatapi Devan yang masih menatapnya dengan mata melebar. "Aneh... kan?"

"Iya. Sumpah. Tapi lo gak papa?"

"Hm? Ya gak papa. Cuma ada doang, selebihnya mah gak papa. Gak ngefek kemana-mana juga."

"Oohh.." suara Devan baru melemah, masih memandangi April yang juga masih enggan memalingkan wajah. "Ya... ya udah. Aneh sih, tapi ya udah."

"Aku cuma cerita ke kamu."

"Hm, gue bisa jaga rahasia kok."

"Kamu gak jijik?"

"Biasa aja. Cuma ngerasa aneh, selebihnya biasa aja."

"Hmm.." April mengangguk. "Makasih Van."

"Iya. Santai lah. Eh, tapi, kalo ada rahim, lo jadi bisa hamil gitu Pril?"

April berpikir sejenak, "Bisa.. mungkin?" lalu angkat bahu. "Gak tau deh, cuma tau ada rahimnya doang."

"Hmm gitu.." Devan turut mengangguk paham.

April kira, Devan benar mengerti dan bisa memakluminya. Namun ternyata hanya perkiraan semata. Awalnya mungkin memang hanya Devan yang tiba-tiba sibuk jadi sulit ditemui, berakhir Devan yang benar-benar pergi karena sudah punya kekasih lain.

Sakitnya jadi berlipat-lipat. Sakit akan kenyataan Devan yang punya pacar, sakit karena Devan pergi setelah April jujur tentang kondisinya, dan sakit karena April sadar ia rerlalu naif dan bodoh sampai memceritakan hal seperti itu pada Devan yang April kira bisa ia percaya.

Ternyata tidak, Devan pergi, dan benar-benar pergi. Tidak bisa menerima kondiri April yang cacat dengan rahim.

Bertahun-tahun April menyembunyikan dan tidak sekalipun ia ceritakam pada Mario, karena April takut kejadian yang sama terulang. Ia takut kalau Mario juga akan meninggalkannya saat tau April punya kelainan. Rapat-rapat April simpan rahasianya sendiri.

Sampai pertanyaan Mario di tengah malam waktu itu, ajakan untuk menikah yang seketika memaksa April untuk kembali ingat akan kenangan masalalunya, soal Devan juga tentang kondisinya. Semuanya berputar di kepala April. Memenuhi isi kepalanya sampai rasanya ia tidak bisa berpikir lagi.

Rasanya April ingin menjauh, jauh dari Mario dulu. April mau menyingkirkan rahimnya dulu, baru ia siap kembali pada Mario. Pikir April, yang begitu tidak akan menyakitkan, dibanding harus Mario yang pergi saat rau April punya rahim.

Beberapa kali April konsultasi pada dokter, soal pengangkatan rahimnya. Bagaimana sebaiknya. Karena sungguh, April lebih baik kehilangan sesuatu yang membuat dirinya cacat dibanding kehilangan Mario.

Avenoir (BL19+) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang