1. RACHAL

71 9 3
                                    

Manik mata coklat terang itu bergerak liar meraih buku tugasnya dari atas meja. Merasa ia harus segera pergi sejauh mungkin setelah menoleh sebentar ke arah dapur melihat tanda-tanda akan ada keributan yang akan dimulai pagi ini.

Katakan Rebil lemah karena tidak membela ibunya yang hanya berdiri tegak di sana menatap ayah sambungnya dengan tatapan yang sangat sulit ia mengerti.

Menggenggam erat pena dengan lengan memeluk buku Rebil beranjak keluar dari rumah besar itu dengan rambut hitam legamnya yang terurai panjang.

Bahunya naik turun sambil bersender di tembok rumah sebelah yang terlihat tidak berpenghuni. Rebil hanya berjongkok menatap kosong pada lembar buku yang kini sudah penuh dengan coretan tinta berwarna merah karena sejak 10 menit yang lalu dia masih betah berdiam diri.

Rebil menelungkupkan wajahnya di lipatan tangan dengan isi kepala yang terus diisi oleh suara bersahut-sahutan yang tidak jelas asalnya.

Tangannya dicengkram oleh sesuatu membuat Rebil terkejut dan segera menarik lengannya kasar.

"Aduhh abanggg!"

Rebil berdiri hendak membantu gadis kecil sekitar 7 tahunan itu untuk berdiri karena posisinya sudah jatuh mengenaskan di tanah karena dorongannya barusan.

Tapi tangan Rebil hanya melayang di udara karena tidak disambut oleh bocah kucir dua itu yang kini malah memeluk leher lelaki bertubuh tinggi dengan balutan kaos putih polos.

Rachal datang dan langsung membantu Neysha membersihkan bagian baju dan tubuhnya yang kotor terkena pasir. Neysha memang begitu lengket dengan Rachal meskipun mereka tidak ada hubungan apa pun. Jadi jangan heran lagi anak ini begitu manja.

"Berdarah huhh," adunya pada Rechal menunjuk ke arah lututnya yang tergores mengeluarkan sedikit darah. Kemudian matanya menatap Rebil dengan tatapan menyebalkan.

"Padahal aku tadi mau nanyain kakak ini kenapa, dia malah dorong aku," ucap Neysha lagi.

Sedangkan lelaki yang sedari tadi fokus kepada Neysha kemudian menatap mata coklat terang milik Rebil.

"Lo siapa?"

Pertanyaan itu meluncur dari bibir cerah Rachal. Tatapan tajam Rachal seketika membuat rasa takut di hati Rebil mencuat karena ketahuan mendorong adik lelaki itu.

Gadis itu memilin ujung dress creamnya, agak menunduk melihat kaki Rachal yang begitu panjang menurutnya. Sangking lamanya menunduk helaian rambutnya berjatuhan menutupi sebagian wajahnya.

"Woi, gue ngomong sama lo," kata Rachal nge gas, salah sendiri memancing kesabarannya yang setipis rambut dibelah seribu.

Rebil kaget mendengar suara galak Rachal. Ia mengangkat kembali pandangannya membuat manik matanya beradu tatap dengan manik hitam pekat lelaki itu. Ia menelan ludah dengan begitu sulit, tak menyangka melihat secara nyata lelaki yang selama ini hanya bisa dilihat dari saluran tv saat pertandingan voli.

Ya, Rebil ingat lelaki ini salah satu pemain yang berhasil mencuri perhatian banyak orang. Selain tampan dan jago Rachal begitu ideal dengan tubuh tingginya.

Rambut Rachal tampak berantakan dan basah seperti habis mandi, aroma citrus dari tubuh lelaki itu bahkan tercium di hidungnya.

Rebil tersentak dengan pikirannya yang entah kemana-mana. "Ma-maaf aku ga sengaja dorong dia, maaf." Rebil dengan segera berbalik cepat-cepat ingin pergi dari sana.

Sungguh tidak mengira bangunan ini memiliki penghuni. Karena seingatnya pemiliknya sudah pindah saat ibunya menikah dengan Alber yang kini menjadi ayah tirinya. Dan harusnya dia sadar itu sudah 6 tahun lalu. Ya, ternyata sudah selama itu.

Dan kenapa bisa Rachal Xavas orangnya?

🏐🏐🏐


Rebil berdiri di ambang pintu ketika mendengar benda-benda yang dilempar sebagai luapan kemarahan sang Mama. Alber beserta pengawalnya keluar dari rumah, Alber menatap Rebil sejenak sebelum melangkah lebih jauh dan pergi dengan dua buah mobil mewah berwarna hitam.

Definisi kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang, itulah sepertinya kata yang sedang dialami oleh Karin, Mamanya. Semenjak menikah dengan Alber yang merupakan artis papan atas kehidupan mereka ikut melambung naik, tidak ada rumor aneh-aneh mengenai keluarga mereka.

Hanya saja Alber tidak mengakui Rebil sebagai putrinya kepada publik, yang mereka tau Karin merupakan janda tanpa anak. Rebil tidak masalah selama wanita itu bahagia, tetapi hal itu tidak terlihat sekarang.

"Maa..." bibir Rebil bergetar menatap Karin, bahkan buku yang tadi masih ia pegang sudah terjatuh di atas lantai.

Karin berbalik badan kemudian menatap wajah putrinya dengan tatapan yang lagi-lagi sulit sekali untuk Rebil pahami. Barang-barang sudah berjatuhan dan pecah Rebil tidak pedulikan lagi saat ia melangkah.

"Apa?! Kamu mau pergi dari Mama juga hah?!"

"Enggak, aku disini karena Mama."

Rebil menggeleng dengan mata berkaca-kaca meraih tangan wanita itu berharap tidak sekacau ini, ia seperti melihat kejadian beberapa tahun yang terulang kembali.

Karin meraih gelas berisi kopi panas dan melemparnya begitu saja hingga mengenai punggung kaki Rebil.

"Kamu juga ga ada gunanya buat Mama! Kamu ga senang kan punya adik lagi?!"

"Kenapa Mama sesial ini sih?"

Tangis Rebil tidak tertahan, air mata bening jatuh melewati pipi putihnya. Sakit sekali mendengar ucapan itu terlontar. Karin menepis kasar tangannya kemudian pergi dari sana dengan langkah tertatih sambil memegangi perutnya yang membuncit.

Bi Tumi yang sudah lama mengetahui sisi gelap majikannya hanya membantu Rebil agar anak itu tetap dalam pemikiran sehat dan tidak gila menghadapi tekanan batin ini.

Bi Tumi berjongkok mengelus puncak kepala Rebil tetapi gadis itu menghindar dan memilih pergi mengurung diri selama mungkin.

🏐🏐🏐


selamat datang di ceritaku ini!

ini asli hasil pemikiran aku ya! ada banyak banget yang aku pikirin berulang" sebelum rilis cerita yang menurutku ga jelas banget ahaha

semoga tagih ya!

see u bun🏃‍♀️








RACHALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang