Bagian 12

18 2 1
                                    

Disepanjang perjalanan, Kanaya masih saja teringat percakapan-nya dengan galaksi tadi. Ia tidak habis pikir. Kenapa gala bersikap seperti orang yang ter-obsesi kepada dirinya.

"Naya!" Panggil seorang gadis seumuran dengan Kanaya.

Kanaya membalikkan badannya, kemudian membalas senyuman gadis dihadapannya itu.

"Lia. Ada apa?" Tanya Kanaya.

Gadis dengan rambut sebahu itu, mengerutkan keningnya. "Kamu mau kemana? Gala?"

"Aku mau pulang duluan, gala. mm-Gala masih di tempat yang tadi."

"Kenapa gak pulang barengan aja, sebentar lagi juga selesai kok."

"Aku buru buru. Maaf yah, gak sempet pamit dulu." Ucap Kanaya merasa bersalah.

Lia mengangguk mengerti. "Iya, santai aja. Lagian selesai juga kan, tinggal beresin sisanya aja."

"Mm iya, sekali lagi aku minta maaf yah. Oh iya, kalo gitu aku pamit duluan. Tolong bilangin juga sama yang lain." Pinta Kanaya.

"Sip. Santai aja, nanti di sampein."

"Oke, makasih sahabatku. Kalo gitu aku pergi ya, assalamualaikum."

Lia memberikan dua jempol Tangannya. "Oke, wa-waalaikumssalam." Jawab Lia, sebetulnya semenjak berteman dengan Kanaya, Kanaya selalu membiasakan diri untuk mengucap salam datang ataupun pergi. Dan sebagai teman yang berbeda agama dengannya, Lia kadang merasa canggung. Namun, tidak ada salahnya menjawab salam dari saudaranya yang muslim bukan?.

'Naya-naya aku tau, kamu pergi supaya bisa menghindari galaksi. Bukan?'

******

"Abang!"

Abizar menutup telinganya, ia begitu heran. Kenapa suara adik satu satunya itu begitu nyaring dan keras. Sampai sampai mengalahkan toa.

"Abang-abang-abang." Rengek Syarifah. Sambil menggoyang goyangkan tubuh Abizar.

"Ish. Apaan sih, bisa diem gak?!" Kesal Abizar.

"Yaudah, kalo gitu dengerin ifah dulu. Baru Ifah bakalan berhenti gangguin Abang!"

Abizar menghela nafasnya lelah. "Yaudah, mau ngomong apa tuan putri?" Tanya Abizar dengan menatap dalam Syarifah.

"Ifah. Mau jajan." Ucap Syarifah.

Abizar membulatkan matanya. "Why?" Abizar tak habis pikir dengan adiknya itu. Biasanya juga sat set. Pergi sendiri. Jajan sendiri. Tanpa harus merepotkan dirinya.

"Kan biasanya juga pergi sendiri?" Tanya Abizar.

"Tapi. Ifah mau nya di anter. Mau jajan di pinggir jalan gitu bang, udah lama juga kita gak jalan jalan kan." Lirih Syarifah. Dengan memperlihatkan wajahnya sesedih mungkin.

Abizar menarik nafasnya dalam. Kemudian mengusap kasar wajahnya. Benar sekali. Saking fokusnya kepada pekerjaannya. Ia sampai melupakan adiknya itu.

"Kamu benar, kita memang sudah lama tidak jalan." Abizar mengakuinya, dengan penuh rasa bersalah.

"Nah, kan." Syarifah terkekeh. Akhirnya dengan segala kemampuan yang ia kerahkan. Supaya ia bisa menikmati angin malam di kota jakarta ini. Rasanya sudah lama ia tidak jalan berdua dengan abangnya itu. Apalagi menikmati jajanan yang berjajar di jalan. Huh. Membayangkannya saja sudah membuat liur Syarifah menetes.

"Ayo!"

Syarifah mengangguk, kemudian segera mengambil helm yang sudah terpampang rapi di tempat biasanya.

"Go!"

****

Angin malam begitu menusuk hingga ke tulang belulang. Namun, Kanaya masih setia berjalan jalan, menikmati malam kota jakarta.

"Sudah malam." Gumam Kanaya sembari melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.

Namun, rasanya ia begitu enggan untuk meninggalkan tempat ini. Semakin malam, pemandangannya sangat terlihat begitu indah. Apalagi jika melihatnya dari atas jembatan seperti ini.

Kemudian Kanaya segera beranjak dari duduknya. Ia menatap takjub di atas sana. Langit terlihat begitu sempurna, bintang bintang bertaburan dan yang paling mengesankan bulan sabit itu. Melengkung dengan sangat sempurna. Dan Kanaya menyukai itu.

Kanaya terkekeh geli. Baru saja bayangan empat Tahun lalu terlintas begitu saja. Dimana dirinya bersama seseorang.

'Meskipun nanti kita tidak bersama, tapi saya tidak akan melupakan anda. Anda adalah sosok yang sangat baik menurut saya. Dan saya, tidak akan melupakan kebaikan -mu."

Lelaki tersebut tersenyum. Bahkan tanpa sadar, Kanaya. Menyukai senyuman-nya.

'saya suka menatap bulan."  Abizar tiba tiba saja mengatakan hal itu.

Kanaya menatap bulan di atas sana. 'Jika suatu saat kamu merindukan saya. Maka lihatlah bulan. Karena pada saat itu, saya juga sedang melakukan hal yang sama.'

Kanaya terkekeh. 'pede banget ya. Siapa juga yang bakal merindukan anda."

'yah. Siapa tau." Abizar mengangkat tangannya sambil memasang wajah yang begitu menggemaskan.

'kenapa harus bulan?' tanya Kanaya penasaran.

'sudah saya bilang. Saya menyukainya.' jelas Abizar. Kanaya hanya mengangguk ragu. Meskipun ia tahu bukan itu jawaban-nya.

"Sudah empat tahun berlalu. Tapi entah mengapa, pikiran aku masih tertuju kepadamu. Orang baik." Lirih Kanaya.

"Namun-," Kanaya menundukkan kepalanya. Ia tidak lagi melihat langit, melainkan kendaraan yang ber-lalu lalang di bawah sana.

"Jika masih di beri kesempatan bertemu. Aku ingin. Bahkan sangat ingin bertemu denganmu." Entah perasaan apa ini. Dan tiba tiba saja buliran bening itu menetes begitu saja.

"Apakah kamu sudah menikah? Itu pertanyaan pertama yang akan aku ucapkan kepadamu."

Kanaya menarik nafasnya berat. "Abizar Malik Ahmad." Kanaya berucap dalam hatinya. "Aku akan selalu mengingat nama itu." Lanjutnya dengan suara sedikit keras.

"Stop!" Seseorang dengan sigap menarik tubuh Kanaya dengan spontan. Hingga membuat keduanya terjatuh. Kanaya yang di tarik begitu saja tidak bisa menghindar. Apalagi tarikan seseorang tersebut begitu kencang.

Samar samar Kanaya melihat sosok tersebut memakai helm. Namun, semakin lama pandangan Kanaya semakin mengabur. Hingga beberapa detik kemudian kesadaran Kanaya hilang begitu saja. Kanaya jatuh pingsan.


*****

Hihi, disini ada yang suka bulan juga? Selain bulan, kalian suka apa?

Mau ngomong apa sama Kanaya?
Abizar?
Galaksi?

Jangan lupa vote+komen teman teman mari bertemu di bab selanjutnya 👉👈



Takdir Sang Arsy (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang