Tujuh

251 11 4
                                    

Malam itu, ruang rapat keluarga Pramoedya dipenuhi ketegangan yang nyaris bisa diraba

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam itu, ruang rapat keluarga Pramoedya dipenuhi ketegangan yang nyaris bisa diraba. Lampu kristal yang menerangi ruangan seolah tak mampu menghangatkan suasana yang begitu dingin. Di meja kayu jati panjang, tiga generasi keluarga Pramoedya duduk dengan ekspresi wajah yang berbeda-beda.

Briana sang cucu, duduk tegak di kursinya. Rambut hitamnya yang biasa tergerai rapi kini sedikit berantakan, menandakan betapa intens diskusi yang telah berlangsung selama beberapa jam terakhir. Di sebelah kanannya, Brawijaya Pramoedya, ayahnya, terlihat lebih tenang namun matanya menyiratkan kekhawatiran. Sementara di ujung meja, Benjamin Pramoedya, sang kakek, duduk dengan wajah keras dan tatapan tajam yang tak lepas dari cucunya.

"Jadi," suara Benjamin memecah keheningan, nadanya dingin dan penuh otoritas,"kamu ingin memberikan 30% saham perusahaan kita dan satu kursi di dewan direksi kepada orang itu?"

Briana menarik napas dalam, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. "Iya, Eyang. Damien adalah investor yang sangat potensial untuk Benji Firma Technologies. Dengan investasinya, kita bisa mempercepat pengembangan teknologi AI kita dan—"

"Cukup!" Benjamin menggebrak meja, membuat Briana terlonjak. "Saya tidak peduli seberapa 'potensial' dia. Apa kamu lupa siapa dia? Apa kamu lupa juga apa yang dia lakukan padamu dulu?"

Briana merasakan wajahnya memanas, campuran antara malu dan frustrasi. "Eyang, itu masa lalu. Ini murni keputusan bisnis. Damien memiliki jaringan yang luas, pengalaman di industri technologi dan track record-nya di Silicon Valley sangat mengesankan-"

"And the mixed blood," potong Benjamin dengan nada mencemooh. "Pengalaman? jaringan? Apa kamu pikir hanya dengan itu saya akan membiarkan seseorang seperti dia masuk ke dalam perusahaan keluarga kita? Perusahaan yang dibangun oleh darah dan keringat pribumi?"

"Ayah," Brawijaya akhirnya angkat bicara, suaranya lembut namun tegas. "saya rasa kita perlu melihat ini dari sudut pandang bisnis. Jika investasi ini bisa membawa Benji Firma Technologies ke level berikutnya—"

"Diam kamu, Brawijaya!" Benjamin menghardik anaknya. "Kamu selalu terlalu lembut. Itulah mengapa saya menyerahkan perusahaan ini ke tangan Briana. Tapi lihat sekarang, dia malah ingin menjual warisan keluarga kita kepada orang asing, ini jelas namanya penghianatan!"

"Dan Silicon Valley? apa yang mereka ketahui tentang bisnis Asia? Tentang nilai-nilai yang kita junjung? lanjut Benjamin dengan seolah-olah itu adalah sesuatu yang menjijikan.

Briana merasakan amarah mulai mendidih dalam dirinya. Namun, ia berusaha keras untuk tetap tenang. "Eyang, dengan segala hormat, BFT bukan lagi perusahaan kecil yang bisa bertahan hanya dengan modal keluarga. Kita butuh investasi besar jika ingin bersaing di pasar global."

"Pasar global?" Benjamin mendengus. "Di zamanku, kita bisa membangun empire hanya dengan mengandalkan koneksi lokal dan kerja keras. Sekarang kalian terlalu terobsesi dengan 'global' ini dan 'internasional' itu."

PURE BLOODTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang