Pagi yang masih terbungkus kabut tebal membuat Desa Akar Belantara tampak seperti potongan dunia yang terpisah dari kenyataan. Raka berdiri di ambang pintu penginapan sederhana yang ia temukan di pinggir desa, napasnya membeku dalam udara dingin yang tidak biasa. Ia tahu bahwa hari ini akan menjadi awal dari pengungkapannya terhadap misteri "dengkang," suara yang semakin hari semakin menghantui malam-malamnya. Desiran angin menyelinap di antara celah-celah rumah kayu yang usang, membawa bisikan yang nyaris tak terdengar, seolah desa itu memiliki rahasia yang enggan diungkap.
Raka melangkah keluar dengan perlahan, membiarkan jejak kakinya di jalanan tanah yang lembab. Setiap langkahnya seakan menggema dalam kesunyian yang mencekam, menyatu dengan suasana muram yang menutupi desa. Dia membawa segenap peralatan penelitiannya, termasuk kamera inframerah, alat perekam suara, dan buku catatan yang sudah penuh dengan coretan teori dan pertanyaan. Namun, di balik semua itu, ada rasa gelisah yang tak dapat disingkirkan—sebuah firasat buruk yang semakin hari semakin membesar.
Raka memutuskan untuk memulai penelitiannya dari area yang terletak di luar batas desa, sebuah hutan lebat yang menurut penduduk setempat jarang dijamah oleh manusia. Di sanalah ia berharap menemukan jejak-jejak yang bisa membantunya mengungkap fenomena "dengkang." Hutan itu menyimpan sesuatu yang berbeda; suasananya terasa berat, seakan dibebani oleh keberadaan yang tak kasat mata namun nyata. Setiap pohon, dengan rantingnya yang bengkok seperti cakar, tampak seperti menahan napas, seakan takut mengganggu ketenangan yang terlalu lama terpendam.
Di tengah hutan, langkah Raka terhenti saat pandangannya tertumbuk pada sesuatu yang aneh di tanah—jejak-jejak besar yang tertinggal di antara dedaunan yang berguguran. Ia berjongkok untuk melihat lebih dekat, meneliti jejak itu dengan cermat. Ukurannya jauh lebih besar dari jejak ular pada umumnya, dengan bentuk yang tidak biasa, seolah binatang yang meninggalkannya memiliki tubuh yang terpuntir dengan kekuatan yang luar biasa. Jejak itu membentuk pola melingkar yang aneh, mengingatkannya pada simbol-simbol kuno yang ia temukan dalam buku tua di salah satu rumah tak berpenghuni di desa.
Perasaan ngeri mulai merayapi dirinya, seperti tangan-tangan dingin yang menyentuh kulitnya. Ia tahu bahwa apa pun yang meninggalkan jejak ini bukanlah makhluk biasa. Sebuah pertanyaan yang lebih besar muncul dalam benaknya—apakah makhluk ini ada hubungannya dengan suara "dengkang" yang terus-menerus ia dengar? Ia merasakan dorongan kuat untuk mengikuti jejak itu, meskipun nalurinya berteriak untuk menjauh.
Dengan tekad yang dipaksakan, Raka melanjutkan perjalanannya mengikuti jejak-jejak besar itu, memasuki hutan yang semakin lebat. Cahaya matahari yang seharusnya menembus pepohonan hampir tidak mencapai tanah, menciptakan suasana remang-remang yang membuat setiap bayangan tampak hidup dan bergerak. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah tanah yang diinjaknya mencoba menariknya ke bawah, ke kedalaman yang tak terduga.
Sampai akhirnya, di ujung perjalanan yang tampak tak berkesudahan, Raka menemukan sesuatu yang membuat napasnya tercekat. Sebuah gua besar, mulutnya menganga lebar seolah menantang siapa pun yang berani memasuki perut bumi yang gelap itu. Dari dalam gua, terdengar suara yang sangat familiar, "dengkang"—tetapi kali ini, suara itu jauh lebih keras, hampir memekakkan telinga. Ia dapat merasakan getarannya dalam setiap saraf di tubuhnya, membuat jantungnya berdetak semakin cepat.
Gua itu, meskipun tampak tidak biasa, memiliki daya tarik yang tak terelakkan bagi Raka. Ia menyalakan senter dan melangkah masuk, disambut oleh hawa dingin yang menusuk tulang. Dinding gua tampak basah dan licin, dilapisi oleh lumut yang aneh berwarna kebiruan, seakan hidup dalam cahaya yang berasal dari sumber yang tak dikenal. Langkahnya menggema dalam lorong yang sempit, membuat suara "dengkang" semakin dekat, semakin nyata, seolah-olah sesuatu yang mengerikan sedang menunggunya di ujung perjalanan ini.
Dalam kegelapan gua, ia menemukan lebih banyak jejak—kali ini disertai dengan serpihan kulit dan sisik besar yang tersebar di lantai gua. Sisik-sisik itu tampak berkilauan dalam cahaya senter, menunjukkan pola yang rumit dan tidak lazim. Ada sesuatu yang hampir mistis tentang mereka, seolah mereka menyimpan rahasia kuno yang tidak seharusnya diungkapkan kepada manusia. Raka mengumpulkan beberapa di antaranya, menyimpannya dengan hati-hati dalam kantong plastik yang ia bawa, sementara pikirannya terus dipenuhi oleh teka-teki yang tak kunjung terselesaikan.
Suara "dengkang" semakin kuat saat ia semakin dalam memasuki gua. Pada titik ini, Raka merasakan dorongan yang aneh untuk terus bergerak maju, meskipun rasa takut mulai menguasainya. Ia tidak bisa lagi membedakan apakah suara itu berasal dari makhluk yang nyata, atau hanya permainan pikiran yang dipengaruhi oleh suasana yang begitu mencekam. Setiap kali suara itu bergema, ia merasakan getaran yang menjalar dari tanah ke tubuhnya, seperti pesan yang dikirimkan langsung ke dalam jiwanya.
Raka akhirnya tiba di sebuah ruangan besar di dalam gua, sebuah ruang bawah tanah yang terbentuk secara alami dengan dinding-dinding yang berlapis kristal berwarna gelap. Di tengah ruangan, terdapat sebuah batu besar yang tampak seperti altar kuno. Di atasnya, tergambar dengan jelas simbol-simbol yang mirip dengan yang ia temukan di desa. Namun, ada satu perbedaan mencolok—di sekitar simbol-simbol itu, ada goresan-goresan dalam yang tampak seperti cakar atau taring yang mencabik-cabik batu tersebut. Sesuatu telah meninggalkan tanda-tanda kekerasan di sini, sesuatu yang tidak manusiawi.
Saat Raka berdiri di depan altar itu, suara "dengkang" terdengar sangat keras, hampir membuat telinganya berdarah. Ia merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya, seakan suara itu mencoba merusak pikirannya. Tapi di balik rasa sakit itu, ada sesuatu yang lebih mengerikan—sebuah bisikan halus, nyaris tak terdengar, namun begitu jelas, seakan berasal dari kedalaman gua itu sendiri. Bisikan itu menyebutkan namanya, memanggilnya dengan nada yang penuh ancaman dan kebencian.
"Raka."
Raka terhuyung ke belakang, hampir kehilangan keseimbangan saat bisikan itu terus menggerogoti kewarasannya. Dengan segenap kekuatan yang tersisa, ia berusaha untuk menenangkan diri dan menyalakan alat perekam suara yang ia bawa. Ia tahu bahwa bukti ini, meskipun sangat mengerikan, adalah kunci untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di Desa Akar Belantara. Namun, saat ia mencoba merekam suara tersebut, alat perekamnya tiba-tiba mati, seakan tidak kuat menahan intensitas energi yang ada di sekitarnya.
Merasa putus asa, Raka memutuskan untuk mengambil langkah mundur dan kembali ke pintu keluar gua. Namun, saat ia berbalik, matanya tertumbuk pada sesuatu yang tidak ia sadari sebelumnya—sepasang mata yang bercahaya merah menyala dalam kegelapan, menatapnya dari kedalaman gua. Mata itu bukan milik manusia, dan mereka memancarkan aura yang begitu menakutkan, hingga membuat darah Raka terasa membeku. Untuk sesaat, ia terjebak dalam ketakutan yang mencekam, tidak mampu bergerak atau berpikir.
Kemudian, dengan secepat kilat, mata itu menghilang, disertai suara "dengkang" yang semakin menjauh, seolah-olah makhluk itu mundur ke dalam bayang-bayang gua yang lebih dalam. Raka berdiri di sana, napasnya terengah-engah, tubuhnya gemetar hebat. Ia tahu bahwa ia baru saja melihat sesuatu yang tidak seharusnya dilihat oleh manusia—sebuah entitas yang mungkin menjadi sumber dari semua teror yang melanda desa ini.
Dengan langkah yang goyah, Raka akhirnya berhasil keluar dari gua dan kembali ke hutan. Matahari sudah mulai tenggelam, menggantikan sinarnya dengan bayangan malam yang mulai merayap. Ia merasa lelah, baik secara fisik maupun mental, tetapi juga merasa sedikit puas karena telah menemukan petunjuk penting. Ia tahu bahwa ini baru permulaan, dan bahwa misteri "dengkang" jauh lebih dalam dan lebih gelap dari yang ia bayangkan sebelumnya.
Dalam perjalanan kembali ke desa, Raka tidak bisa berhenti memikirkan tentang mata merah yang ia lihat di gua. Ia tahu bahwa apa pun yang menatapnya dari kegelapan itu bukanlah makhluk biasa. Ini adalah ancaman yang jauh lebih besar daripada yang ia sadari, dan ia mulai meragukan apakah ia benar-benar siap untuk menghadapi apa yang akan datang. Tapi satu hal yang pasti—ia tidak akan mundur. Misteri ini harus diungkap, bagaimanapun caranya.
Malam itu, Raka menulis semua yang ia alami dalam buku catatannya, meskipun tangan yang gemetar membuat tulisannya sedikit berantakan. Setiap detail yang ia ingat, ia catat dengan cermat, karena ia tahu bahwa besok mungkin akan membawa lebih banyak jawaban—atau lebih banyak kengerian. Di luar, angin malam membawa suara "dengkang" yang lembut namun mengerikan, seolah-olah memperingatkannya bahwa permainan ini baru saja dimulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
DENGKANG (TAMAT)
HorrorDi sebuah desa terpencil yang tersembunyi di balik lebatnya hutan, setiap malam diiringi oleh suara desisan misterius. Suara itu, yang dikenal sebagai "dengkang," telah menjadi legenda yang membawa ketakutan bagi penduduk desa selama berabad-abad. D...