Malam semakin dalam, merambat tak kenal lelah di atas hutan Akar Belantara yang memeluk segala yang ada dengan kegelapan yang tebal, lembut, namun dingin. Angin malam membawa aroma kelembapan hutan, dedaunan basah, dan bau tanah yang menggumpal, seolah menandai kehadiran sesuatu yang lebih kuno, lebih liar, dan lebih menakutkan dari sekadar kekuatan alam. Di tengah-tengah kerapatan hutan itu, suara "dengkang" bergaung kembali, nyaring dan berat, seolah-olah memanggil sesuatu dari kegelapan purba yang sudah lama tersembunyi.
Raka berdiri di mulut gua itu, napasnya tercekat seiring degup jantungnya yang semakin kencang. Matanya menatap ke dalam kegelapan gua, yang seolah menunggu untuk menelannya. Seluruh panca indranya terasa seperti terperangkap dalam ketegangan yang menyiksa. Suara "dengkang" terus menghantam telinganya, menggetarkan tulang-tulangnya, menimbulkan perasaan asing yang merangkak di tengkuknya. Dia tahu, apa pun yang menanti di kedalaman gua ini bukanlah sekadar makhluk buas; ada sesuatu yang jauh lebih besar, lebih mengerikan—sesuatu yang mungkin lebih tua dari hutan itu sendiri. Malam ini adalah malam perhitungan, dan dia akan menghadapi apa yang selama ini bersembunyi di balik bayangan misteri itu.
Tetesan air yang dingin menetes dari langit-langit gua, menggema dengan suara halus namun penuh ancaman di dalam keheningan yang menghantui. Setiap langkah yang diambil Raka terdengar nyaring, menimbulkan resonansi yang merayap di sepanjang dinding batu yang kasar. Gua itu sendiri terasa hidup, seolah-olah memiliki kesadaran yang terus mengintai, mengawasi gerak-geriknya. Udara di dalam terasa lebih berat, lembap dan dingin, seperti napas yang tertahan sebelum badai menghantam. Cahaya dari lampu minyak yang dibawanya hanya cukup untuk menerangi beberapa meter di depannya, menciptakan bayang-bayang yang bergerak tak menentu di setiap sudut. Bayangan itu tampak seperti makhluk yang ingin keluar dari kegelapan dan menyeretnya ke dalam jurang ketakutan.
Suara "dengkang" kembali menggema, semakin kuat, semakin dekat, hingga Raka merasa getarannya menyentuh kulitnya. Suara itu tidak lagi sekadar bunyi asing; itu adalah panggilan, panggilan dari kedalaman gua yang menuntut kehadirannya. Rasanya seperti suara itu sedang menyeretnya masuk, menariknya lebih dalam ke dalam rahasia yang seharusnya tidak pernah terungkap.
Langkah demi langkah, Raka semakin mendekati inti dari kegelapan yang melingkupinya. Hingga, di ruang utama gua, makhluk itu muncul—Waru Sakti. Tubuhnya yang panjang dan berotot berkilau seperti permata yang terperangkap dalam kegelapan, memantulkan cahaya lampu yang redup dengan keindahan yang mengerikan. Sisik hitam legamnya memancarkan kilau keemasan yang membuatnya tampak seperti wujud nyata dari legenda kuno. Mata merah menyala itu menyelidik Raka dengan kebencian yang dalam, seolah-olah dia adalah penyusup yang tak diinginkan di kerajaan yang tak terlihat ini.
Waru Sakti berdiri di sana dengan kekuatan yang tak terlukiskan. Dia bukan hanya sekadar makhluk raksasa, tetapi penjaga dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri—penjaga dari rahasia alam yang tidak seharusnya disingkap manusia. Setiap gerakannya penuh dengan kebijaksanaan kuno yang hanya dimiliki makhluk abadi, dan Raka tahu bahwa pertarungan ini bukanlah sekadar adu fisik, melainkan pertarungan antara dua kekuatan alam yang saling menguji ketahanan jiwa dan raga.
Tanpa peringatan, Waru Sakti meluncur dengan kecepatan luar biasa. Tubuh raksasanya bergerak seperti kilat, memotong udara dengan desisan yang memekakkan telinga. Raka hanya memiliki sekejap untuk menghindari serangan pertama yang datang dengan kekuatan dahsyat. Udara di sekitarnya bergetar ketika makhluk itu menghantam dinding batu dengan keras, menciptakan getaran yang mengguncang gua. Suara dentuman itu menggema jauh ke dalam lorong-lorong gua, seperti teriakan kematian yang mengundang kengerian yang tak terkatakan.
Jantung Raka berdegup kencang, tubuhnya bergetar karena adrenalin yang mengalir deras di pembuluh darahnya. Namun, di balik ketakutan yang menyelimuti pikirannya, dia tahu bahwa dia harus tetap tenang. Setiap gerakan Waru Sakti bukan hanya serangan fisik, tetapi juga tarian mematikan yang diiringi oleh kekuatan mistis dari gua ini. Dinding gua tampak berdenyut, seakan ikut merespon setiap gerakan makhluk itu, mengirimkan aliran energi yang sulit dijelaskan ke seluruh ruang. Setiap langkah yang diambil Raka terasa seperti perjalanan melalui medan berbahaya yang penuh dengan jebakan tak terlihat.
Pertarungan berlanjut dengan intensitas yang semakin tak terkendali. Setiap serangan yang dilancarkan Waru Sakti seolah-olah memancarkan aura gelap yang mencoba melumpuhkan Raka baik secara fisik maupun mental. Raka harus bergerak cepat, menghindari tiap serangan dengan ketelitian yang hampir mustahil. Namun, dia menyadari bahwa gua ini, dengan segala kekuatan mistisnya, tidak sekadar menjadi tempat pertempuran. Gua ini adalah medan yang hidup, sebuah entitas yang terhubung dengan Waru Sakti, meminjamkan kekuatan dari kedalaman yang tak pernah dipahami manusia.
Di tengah-tengah pertarungan, di dalam hiruk-pikuk bayangan dan cahaya yang berkelindan, sesuatu berbisik di telinga Raka—sebuah pemahaman yang datang seperti kilatan petir di tengah badai. Gua ini bukan hanya tempat persembunyian Waru Sakti; gua ini adalah sumber kekuatannya. Setiap sudut, setiap dinding, setiap tetes air yang jatuh dari langit-langitnya adalah bagian dari energi yang mengalir melalui tubuh makhluk itu. Dan untuk mengalahkannya, Raka harus menemukan cara untuk merusak keseimbangan kekuatan tersebut.
Raka mulai melihat pola-pola di dinding gua, ukiran-ukiran kuno yang sebelumnya tampak acak, namun kini memancarkan cahaya samar yang menuntunnya. Itu adalah simbol-simbol kuno yang mungkin merupakan kunci dari kekuatan gua ini. Dengan cepat, dia berlari menuju salah satu ukiran yang tampak paling jelas dan mengangkat artefak yang diberikan Pak Jaya. Artefak itu mulai bersinar dengan kekuatan yang tak terduga, seolah-olah merespon energi gua.
Namun, Waru Sakti tidak tinggal diam. Ular raksasa itu meluncur dengan kecepatan yang mengerikan, menyerang Raka dengan seluruh kekuatannya. Serangan itu menghantam Raka, membuatnya terlempar ke dinding gua dengan dentuman yang menghancurkan. Napasnya tercekat, dan rasa sakit yang luar biasa menjalar di seluruh tubuhnya. Namun, dia tidak menyerah. Dengan sisa-sisa tenaganya, dia bangkit kembali, memegang artefak dengan tangan yang gemetar namun penuh keyakinan.
Dalam momen yang menentukan itu, Raka menyatukan pikirannya dengan kekuatan gua. Dengan satu gerakan tegas, dia menancapkan artefak ke salah satu ukiran yang paling bersinar. Cahaya meledak dari artefak, mengalir ke seluruh gua, dan dalam sekejap, energi gua yang sebelumnya terasa begitu kuat mulai berbalik. Gua itu sendiri tampak mengerang, seolah-olah fondasi kekuatannya sedang dirusak dari dalam.
Waru Sakti mengerang kesakitan, tubuhnya menggeliat dalam penderitaan. Kekuatan yang sebelumnya membuatnya begitu tak terkalahkan kini tampak menghilang, meninggalkannya lemah dan rentan. Dengan napas tersengal, Raka melihat makhluk itu perlahan-lahan mundur ke dalam bayangan gua, rintihannya semakin jauh hingga akhirnya hilang dalam kegelapan yang dalam.
Dengan tubuh yang penuh luka dan napas yang terputus-putus, Raka berdiri di mulut gua, menatap ke dalam kegelapan yang kini hening. Kemenangan ini adalah langkah awal, namun ia tahu perjalanan masih panjang. Akar Belantara belum menyerahkan semua rahasianya. Tapi untuk saat ini, Raka berdiri teguh, siap menghadapi apa pun yang akan datang.
Dengan keyakinan baru di dadanya, dia melangkah keluar dari gua, meninggalkan suara "dengkang" yang kini terasa jauh, hening di belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
DENGKANG (TAMAT)
HorrorDi sebuah desa terpencil yang tersembunyi di balik lebatnya hutan, setiap malam diiringi oleh suara desisan misterius. Suara itu, yang dikenal sebagai "dengkang," telah menjadi legenda yang membawa ketakutan bagi penduduk desa selama berabad-abad. D...