Malam yang Mencekam

8 3 0
                                    

Langit malam di atas Desa Akar Belantara diselimuti oleh awan gelap yang berat, seolah-olah menahan sesuatu yang tak terucapkan. Angin malam berhembus lembut, tetapi membawa keheningan yang aneh, mencekam seluruh desa dalam suasana yang sepi dan suram. Di dalam kamar penginapan sederhana di pinggir desa, Raka berbaring gelisah di atas ranjang keras yang mulai tidak nyaman baginya. Pikirannya penuh dengan bayangan ular raksasa yang ditemuinya siang tadi.

Meski ia mencoba menutup mata dan memejamkan pikiran, suara "dengkang" yang mengerikan itu terus bergema di telinganya. Bukan hanya sebuah gema biasa, tetapi sebuah suara yang hidup, yang seakan menyelinap ke dalam kesadarannya, memburu ketenangan yang selama ini ia pegang erat. Getaran rendah suara itu merambat melalui dinding kayu, membuat seluruh ruangan terasa dingin dan tidak bersahabat.

Raka menggeliat di tempat tidurnya, merasa cemas dan terjebak antara kenyataan dan ilusi. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin tidak teratur. Namun, setiap kali ia hampir tertidur, suara "dengkang" itu semakin keras, semakin nyata, seperti sedang menyusup ke dalam mimpinya, mengubah malam menjadi lebih mencekam.

Akhirnya, rasa kantuk yang tak tertahankan menyeretnya ke dalam tidur yang tidak damai. Tapi alih-alih mendapatkan ketenangan, Raka terjebak dalam mimpi buruk yang menakutkan.

Dalam mimpinya, Raka berdiri sendirian di tengah hutan, hutan yang sama yang telah ia jelajahi sepanjang hari. Namun, hutan ini berbeda—semua pepohonan tampak hidup, bergerak dan bernafas dengan cara yang tidak wajar. Tanah di bawah kakinya terasa lunak dan hangat, seperti berdiri di atas sesuatu yang hidup. Langit di atasnya berubah menjadi merah gelap, seperti luka yang terbuka lebar, dan dari dalamnya mengalir darah hitam yang menetes perlahan, mencemari tanah di bawahnya.

Raka berjalan dengan hati-hati, namun setiap langkahnya terasa berat, seperti ada tangan tak terlihat yang menariknya kembali. Di setiap sudut pandangnya, ia bisa merasakan mata yang mengintai, memperhatikan setiap gerakannya dengan penuh kebencian dan dendam. Suara "dengkang" kembali terdengar, lebih keras, lebih mendesak, seperti irama dari sebuah ritual kuno yang terlupakan. Ia menoleh, mencari sumber suara itu, tetapi yang ia temukan hanyalah bayangan yang bergerak cepat, seperti ular raksasa yang membelit dirinya dari semua sisi.

Dalam kepanikannya, Raka berlari. Ia mencoba melarikan diri dari suara dan bayangan-bayangan yang mengelilinginya, tetapi semakin cepat ia berlari, semakin dekat suara itu. Hingga akhirnya, ia tersandung dan jatuh ke dalam jurang yang tak terlihat sebelumnya. Dalam kejatuhannya, ia melihat sekilas sosok ular raksasa yang melingkar di bawahnya, menunggu dengan mulut terbuka lebar, siap menelannya.

Namun sebelum ia menyentuh dasar, Raka terbangun dengan teriakan. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya, dan napasnya terengah-engah, seolah baru saja lari maraton. Ia terduduk di ranjang, matanya terbelalak memandang kegelapan di sekitarnya. Suara "dengkang" itu masih ada, samar-samar terdengar dari kejauhan, seolah datang dari dalam mimpi namun masih terpantul di dinding realitas.

Rasa takut yang selama ini ia tekan dalam-dalam mulai merayap naik. Tidak ada lagi ketenangan ilmiah yang bisa menahannya. Raka menggenggam erat kepala, mencoba menenangkan dirinya, tapi bayangan mimpi buruk itu terus menghantui pikirannya. Ia mulai meragukan dirinya sendiri—apakah semua ini benar-benar nyata? Atau mungkin ia mulai kehilangan kewarasannya?

Apa yang dulu ia anggap sebagai tantangan ilmiah yang menarik kini berubah menjadi ancaman yang tidak bisa ia pahami. Sebagai seorang peneliti, Raka selalu berpegang pada fakta dan bukti nyata, namun sekarang, dunia di sekelilingnya mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar sains. Sesuatu yang lebih gelap, lebih tua, dan jauh lebih berbahaya dari yang pernah ia bayangkan.

Ketakutan yang tak beralasan mulai menggerogoti keyakinannya. Apakah ia benar-benar mampu menyelesaikan penelitian ini? Atau apakah ini semua adalah peringatan untuk berhenti, untuk tidak lagi menggali lebih dalam ke dalam misteri yang seharusnya tetap tersembunyi?

Di luar, angin malam berdesir pelan, namun bagi Raka, malam ini seolah menutup diri dalam keheningan yang tak tertembus. Suara "dengkang" masih berbisik di telinganya, terus mengusik, memanggilnya untuk kembali ke hutan, kembali ke tempat di mana semuanya dimulai. Tapi Raka tahu, di sana bukan hanya jawaban yang menantinya, tetapi juga sesuatu yang mungkin jauh lebih menakutkan.

Malam itu, Raka tidak tidur lagi. Ia duduk di kursi dekat jendela, matanya menatap kosong ke arah hutan di luar, pikirannya dipenuhi oleh keraguan dan ketakutan yang semakin menguat. Ia tahu bahwa di sinilah titik baliknya—apakah ia akan melanjutkan pencarian ini, atau menyerah dan kembali ke kehidupan lamanya yang aman? Dan di ujung pikirannya, suara "dengkang" itu terus bergema, mengingatkannya bahwa waktu semakin sedikit, dan pilihan harus segera dibuat.

DENGKANG (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang