Rahasia Tersembunyi

11 3 0
                                    

Raka duduk di sudut kamar kecil penginapan yang kini mulai terasa seperti penjara bagi pikirannya. Kantung matanya yang gelap dan dalam, akibat malam-malam tanpa tidur, memberikan gambaran yang jelas tentang beban yang ia pikul. Buku-buku, peta, dan catatan berserakan di sekitarnya, namun fokusnya terus teralihkan oleh satu hal—suara "dengkang" yang semakin menekan pikirannya, menghantuinya dalam keadaan terjaga maupun dalam mimpi buruk yang tak berkesudahan. Mimpi-mimpi itu, selalu sama: mata merah yang menatap dari kedalaman gua, dan rasa dingin yang menjalar dari punggung hingga ke tengkuknya, membuatnya terjaga dengan napas tertahan setiap kali ia mencoba terlelap.

Pagi itu, dengan kepala berat dan hati penuh kegelisahan, Raka memutuskan untuk menggali lebih dalam tentang asal-usul desa ini dan mitos yang mengelilinginya. Ia sadar, bahwa meskipun ia datang ke sini sebagai seorang peneliti yang berpijak pada fakta ilmiah, realitas yang ia hadapi sekarang telah mencampuradukkan batas antara yang nyata dan yang legendaris. Suara "dengkang" yang ia anggap sebagai fenomena alam biasa atau bahkan sekadar gangguan psikologis, kini terasa lebih dari itu—sebuah pesan, atau bahkan peringatan.

Berbekal rasa penasaran yang tak tertahankan, Raka keluar dari penginapan menuju rumah Pak Jaya, salah satu penduduk tertua di desa. Kunjungannya ini didorong oleh harapan bahwa pria tua ini mungkin menyimpan rahasia yang selama ini terpendam. Pak Jaya, dengan sikap hati-hati, menyambut Raka di ambang pintu rumahnya yang sederhana. Meski warga desa lain cenderung menghindari Raka, Pak Jaya melihat sesuatu dalam diri pemuda ini—sebuah kegigihan yang mengingatkannya pada orang-orang yang telah lama hilang dalam sejarah desa.

Setelah beberapa basa-basi, Raka langsung mengutarakan tujuannya. Ia ingin tahu lebih banyak tentang suara "dengkang" dan apakah ada dokumen atau catatan kuno yang bisa memberikan petunjuk lebih lanjut. Pak Jaya diam sejenak, menatap Raka dengan mata tuanya yang sudah mulai memudar, namun masih memancarkan kilatan kebijaksanaan. Tanpa sepatah kata, ia bangkit perlahan, langkahnya goyah, dan menghilang ke dalam kamar belakang. Tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa sebuah kotak kayu tua yang dipenuhi debu tebal.

Raka bisa merasakan getaran energi kuno dari kotak itu, seolah-olah benda ini telah menyaksikan berbagai rahasia yang tersembunyi dari dunia luar. Dengan tangan yang gemetar karena usia, Pak Jaya membuka kotak itu, memperlihatkan beberapa gulungan kertas yang sudah menguning dan sebuah buku kecil dengan sampul kulit yang terlihat rapuh. "Ini," ujar Pak Jaya dengan suara rendah, "adalah warisan dari nenek moyang kami, yang mengisahkan tentang sejarah desa dan hutan ini."

Raka mengambil gulungan kertas itu dengan hati-hati, membuka dan mulai membacanya. Meskipun usianya membuat kertas itu rapuh, tulisan di atasnya masih bisa terbaca. Bahasa yang digunakan adalah bahasa kuno yang jarang dikenal, namun dengan pengetahuannya tentang simbol-simbol lama, Raka mulai bisa mengartikan sebagian besar dari isinya. Kegelapan yang menekan pikirannya seolah mereda sedikit saat ia mulai memahami isi dokumen tersebut.

Catatan itu berbicara tentang makhluk yang disebut sebagai "Penjaga Hutan." Menurut legenda yang tertulis di sana, Penjaga Hutan adalah entitas setengah dewa, bertugas menjaga keseimbangan alam dan dunia manusia. Penjaga ini digambarkan sebagai ular raksasa yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan elemen-elemen alam, menjaga agar hutan tetap lestari dari ancaman manusia.

Di saat yang bersamaan, bayangan ular raksasa yang pernah ia lihat beberapa waktu lalu—dengan tubuhnya yang sebesar pohon, sisik-sisik keras yang berkilauan seperti logam, dan mata merah membara—kembali terngiang dalam benaknya. Mungkinkah ular itu bukan sekadar hewan besar, tetapi memang Penjaga Hutan yang dimaksud dalam dokumen ini?

Namun yang paling mencengangkan Raka adalah penjelasan tentang suara "dengkang." Dalam dokumen itu tertulis, bahwa suara "dengkang" adalah tanda dari kebangkitan Penjaga Hutan. Suara tersebut akan terdengar ketika ada gangguan besar yang mengancam keseimbangan hutan atau ketika Penjaga Hutan merasakan adanya ancaman dari manusia. Raka membaca dengan cermat, dan matanya terhenti pada kalimat yang membuat bulu kuduknya merinding: "Mereka yang mendengar suara 'dengkang' harus bersiap menghadapi kebenaran yang terlupakan, kebenaran yang hanya bisa ditemukan dengan darah dan keberanian."

Ketakutan yang selama ini ia rasakan semakin nyata. Suara "dengkang" yang mengganggu malam-malamnya bukan hanya sebuah fenomena acak. Itu adalah peringatan, sebuah sinyal bahwa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, sesuatu yang telah lama tertidur dan kini mulai terbangun.

Raka menutup gulungan itu dengan hati-hati, lalu beralih ke buku kecil yang juga ada di dalam kotak. Buku itu ternyata merupakan kumpulan catatan dari para penduduk desa yang hidup berabad-abad lalu, mencatat berbagai kejadian aneh yang terjadi di sekitar hutan. Catatan-catatan itu penuh dengan kisah-kisah tentang ular raksasa yang muncul dari kegelapan hutan, diiringi oleh suara "dengkang" yang selalu menjadi pertanda bencana.

Pada halaman-halaman akhir buku, Raka menemukan catatan khusus tentang sekelompok peneliti yang datang ke desa ini puluhan tahun lalu. Mereka, seperti Raka, tidak percaya pada mitos atau kutukan, dan datang dengan niat untuk membuktikan bahwa semua legenda hanyalah khayalan belaka. Namun, mereka tidak pernah kembali setelah memasuki hutan untuk menyelidiki lebih jauh. Warga desa percaya bahwa mereka adalah korban dari Penjaga Hutan, yang tidak menyukai kehadiran orang-orang asing di wilayah kekuasaannya.

Pikiran Raka dipenuhi dengan pertanyaan yang semakin membingungkan. Apakah para peneliti itu benar-benar telah dihukum oleh Penjaga Hutan? Dan jika memang begitu, apa yang sebenarnya diinginkan oleh makhluk ini? Satu hal yang pasti, suara "dengkang" yang mengganggu tidur Raka selama ini bukan sekadar fenomena alam. Itu adalah sebuah tanda, sebuah panggilan yang menuntunnya menuju kebenaran yang telah lama terkubur.

Sebelum meninggalkan rumah Pak Jaya, Raka berterima kasih dengan tulus. Pak Jaya hanya mengangguk pelan, tetapi dengan nada serius ia berkata, "Nak, jangan abaikan peringatan yang sudah kau baca. Banyak yang telah mencoba dan gagal sebelum kamu. Hutan ini bukan hanya sekadar tempat, ini adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dan lebih berbahaya dari yang bisa kamu bayangkan."

Raka kembali ke penginapan dengan langkah berat. Meskipun tubuhnya lelah, pikirannya justru semakin tajam. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa malam-malam penuh mimpi buruk yang ia alami bukanlah kebetulan. Ular raksasa, suara "dengkang," dan legenda Penjaga Hutan—semua itu mulai terhubung dalam pola yang mengerikan.

Malam itu, setelah meneliti kembali dokumen yang ia dapatkan dari Pak Jaya, Raka mencoba untuk tidur. Namun, seperti malam-malam sebelumnya, ketenangan tidak pernah datang. Suara "dengkang" kembali terdengar, namun kali ini Raka mendengarnya dengan pemahaman baru. Suara itu bukan hanya ancaman, tetapi panggilan—sebuah undangan untuk menggali lebih dalam, untuk menemukan rahasia yang tersembunyi di balik kegelapan hutan Akar Belantara. Dan meskipun rasa takut masih menghantuinya, Raka tahu bahwa ia tidak bisa mundur sekarang. Kebenaran harus ditemukan, apapun risikonya.

DENGKANG (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang