Kesejukan pagi mengalir melalui jendela mobil Raka, membangunkannya dari tidur yang gelisah. Matanya terbuka dengan perasaan tak nyaman yang menyelimuti tubuhnya, seolah-olah ada bayangan dingin yang menyentuh kulitnya. Suara desisan, seperti bisikan dari kedalaman malam, terus-menerus menghantui telinganya. Meski ia sudah terjaga, getaran misterius itu masih membekas di benaknya, membuatnya merasa seolah berada dalam mimpi yang tak kunjung berakhir.
Dengan rasa campur aduk antara tekad dan keraguan, Raka memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh. Setelah sarapan yang terburu-buru, dia merapikan peralatannya dengan cermat, memeriksa setiap item dalam ranselnya seolah-olah itu adalah penyelamat hidupnya. Dengan napas dalam-dalam, ia melangkah keluar dari mobilnya yang terparkir di pinggir jalan setapak, siap menghadapi hari baru yang penuh teka-teki.
Kabut pagi yang menyelimuti Desa Akar Belantara menciptakan suasana hampir seperti dalam cerita rakyat. Tiap langkah Raka di atas jalan setapak terasa berat, seolah bumi sendiri menahan langkahnya. Hutan di sekeliling desa berdiri tegak seperti penjaga yang bisu, menatapnya dengan mata tak terlihat. Raka melangkah menuju pusat desa dengan harapan menemukan seseorang yang bisa memberinya informasi lebih lanjut tentang legenda yang sudah menyelimuti desa ini selama berabad-abad.
Desa tampaknya tertidur di bawah kabut, dan suasana hening menyelimuti area pasar kecil yang tampak sepi. Ketika ia mendekati pasar, tatapan curiga mulai mengarah kepadanya dari penduduk desa yang mengamati dari jarak jauh. Suasana tampak penuh ketidaknyamanan, dan udara terasa semakin menekan.
Seorang pria tua, dengan janggut putih panjang dan pakaian yang usang, muncul dari kerumunan. Matanya tajam, penuh dengan kebencian yang disamarkan oleh usia tua. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya, suaranya kasar seperti gesekan batu. "Kami tidak butuh orang luar."
Raka mencoba untuk menunjukkan senyum ramah, meski terasa dipaksakan. "Saya Raka, peneliti herpetologi. Saya mendengar tentang legenda desa ini dan ingin mempelajarinya lebih lanjut."
Pria tua itu menggelengkan kepala dengan cepat, seolah-olah mendengar nama Raka adalah kesalahan besar. "Kami tidak mau ada masalah. Pergilah sebelum terlambat. Legenda itu bukan hanya cerita."
Raka merasakan rasa tidak nyaman yang menjalar dari tanggapan tersebut, namun ia berusaha untuk tetap tenang dan rasional. "Saya hanya ingin memahami apa yang sebenarnya terjadi di sini, Pak. Mungkin ada penjelasan ilmiah di balik desisan yang saya dengar."
Seorang wanita tua dengan kerudung menutupi kepalanya mendekat dengan langkah lembut namun penuh tekanan. "Legenda bukanlah hal yang bisa diremehkan," katanya, suaranya bergetar. "Ada kutukan di sini, dan suara itu—desisan—adalah tanda bahaya. Kami sudah lama hidup dalam ketakutan ini, dan kami tidak ingin orang asing menambah masalah."
Raka merasakan ketidaknyamanan yang jelas dalam penolakan mereka. Dia berusaha menjelaskan lebih lanjut, tetapi penduduk desa lainnya mulai berkumpul di sekelilingnya, mata mereka penuh dengan kebencian dan ketidakpedulian. Seorang pria muda menambahkan, suaranya penuh ancaman, "Jika kamu tidak pergi, kami akan mengusirmu dengan cara kami sendiri."
Dengan ketegangan yang semakin memuncak, Raka berusaha menjaga ketenangannya. "Saya menghargai perhatian kalian, tetapi saya datang dengan niat baik. Saya yakin ada alasan ilmiah di balik semua ini, dan saya ingin membuktikannya. Jika Anda tidak ingin saya di sini, saya mohon, beri saya waktu untuk menyelesaikan penelitian saya."
Namun, tanggapan penduduk desa tampaknya semakin dingin. Mereka mulai bergerak menjauh, meninggalkan Raka berdiri sendirian di tengah-tengah ketidakpedulian mereka. Raka merasa seperti terasing, seolah-olah menjadi bagian dari dunia yang berbeda, tetapi tekadnya tetap tak tergoyahkan. Ia tahu bahwa di balik penolakan ini, ada misteri yang harus dipecahkan, dan semakin banyak rintangan yang dihadapinya, semakin besar dorongannya untuk mengungkap kebenaran.
Raka meninggalkan kerumunan dan mencari tempat yang lebih tenang di pinggir desa. Ia duduk di bangku kayu tua yang sudah usang, melamun di bawah pohon yang gundul. Udara pagi terasa berat dan penuh dengan aura kegelapan yang mendalam, seakan-akan desa ini menyimpan rahasia yang lebih gelap daripada yang bisa ia bayangkan.
Saat ia duduk, beberapa anak-anak desa dengan wajah penuh rasa ingin tahu memandangnya dari kejauhan. Mereka tampak penasaran namun cemas, seolah-olah mereka juga merasakan ketidakberdayaan orang dewasa mereka. Salah satu anak, seorang gadis kecil dengan mata besar dan penuh rasa ingin tahu, memberanikan diri mendekati Raka.
"Kenapa kamu tidak pergi?" tanyanya dengan suara lembut dan penuh keprihatinan. "Mereka bilang ada bahaya di sini."
Raka memandang gadis kecil itu dengan lembut, merasakan kehangatan dari keberaniannya. "Saya hanya ingin memahami apa yang terjadi di sini. Ada suara yang mengganggu malam hari, dan saya ingin mengetahui dari mana asalnya."
Gadis kecil itu mengangguk pelan, lalu kembali bergabung dengan teman-temannya yang menunggu dengan cemas. Raka merasa sedikit terhibur oleh keberanian gadis kecil itu, namun ia tahu bahwa tantangan utamanya masih ada di depan. Desisan yang terus menggema di malam hari semakin mendalam, menciptakan bayangan yang menakutkan di pikirannya.
Sebelum melanjutkan pencariannya, Raka memutuskan untuk mengunjungi beberapa rumah tua yang tersebar di sekitar desa. Dia berharap menemukan petunjuk atau informasi yang bisa membantunya. Namun, saat ia mendekati rumah-rumah tersebut, ia merasakan tatapan pengawasan dari jendela-jendela yang tersembunyi. Rasa seolah ada sesuatu yang memerhatikannya dari dalam kegelapan membuatnya merasa seperti ada mata tak terlihat yang mengikuti setiap langkahnya.
Di salah satu rumah, ia menemukan sebuah buku tua yang diletakkan dengan sembarangan di meja yang penuh debu. Dengan hati-hati, Raka membuka buku tersebut dan menemukan catatan serta tulisan yang tampaknya berasal dari generasi sebelumnya. Beberapa halaman menggambarkan simbol-simbol kuno dan ritual yang berkaitan dengan kutukan desa, tetapi tulisan-tulisan itu sulit untuk dipahami sepenuhnya. Meskipun begitu, Raka merasa bahwa buku ini mungkin menjadi kunci untuk mengungkap lebih banyak tentang desisan misterius tersebut.
Saat matahari mulai tenggelam, Raka kembali ke mobilnya dengan membawa buku tua itu. Kelelahan terasa menghampirinya, tetapi rasa puas karena menemukan petunjuk baru menguatkannya. Malam semakin gelap, dan suara desisan mulai terdengar lagi, semakin intens dan mengganggu, seolah-olah malam itu sendiri menjadi saksi dari rahasia yang belum terpecahkan.
Dengan tekad yang semakin kuat, Raka bersumpah untuk tetap tinggal di desa dan menyelesaikan penelitiannya, meskipun ada ancaman dan penolakan dari penduduk desa. Ia tahu bahwa misteri di balik "dengkang" lebih dalam dan lebih rumit daripada yang bisa ia bayangkan. Meskipun setiap langkahnya penuh ketidakpastian, tekadnya untuk mengungkap kebenaran yang tersembunyi dalam kegelapan desa ini tidak pernah pudar.
KAMU SEDANG MEMBACA
DENGKANG (TAMAT)
TerrorDi sebuah desa terpencil yang tersembunyi di balik lebatnya hutan, setiap malam diiringi oleh suara desisan misterius. Suara itu, yang dikenal sebagai "dengkang," telah menjadi legenda yang membawa ketakutan bagi penduduk desa selama berabad-abad. D...