Ketegangan yang melingkupi hutan tidak pernah surut sejak pertempuran sengit antara Raka dan Waru Sakti. Sekarang, hutan menjadi saksi dari kekacauan yang menderu, di mana pertarungan final antara ilmuwan yang tak berdaya dan ular raksasa yang mengamuk berlangsung dengan intensitas yang mencekam.
Matahari terbenam memancarkan warna merah darah di cakrawala, memberi cahaya muram pada hutan yang kini dipenuhi dengan suara raungan kemarahan. Waru Sakti, dengan sisik yang kini berkilau seperti lava, meluncur dengan penuh amarah. Setiap gerakan makhluk itu membuat tanah bergetar, dan hembusan angin yang diciptakannya membawa aroma kematian dan kehancuran.
Raka berdiri di tengah hutan, dikelilingi oleh para warga desa yang menyaksikan dengan napas tertahan. Mereka berada di tepi hutan, mata mereka dipenuhi ketegangan dan harapan. Meskipun tidak bisa berbuat banyak, mereka menyaksikan dengan cemas setiap detik dari pertarungan yang mengerikan ini. Raka, orang asing yang tidak mereka terima sebelumnya kini menjadi keluarga yang akan menjadi penentuan akan keselamatan mereka dari marabahaya.
Raka menarik napas dalam-dalam, merapal kembali mantra yang terdapat di gulungan kertas emas kuno sebelumnya. Dia merasa tekanan yang mencekam dari Waru Sakti yang semakin ganas. Dengan suara penuh tekad, Raka mulai melafalkan mantra, berusaha menyelamatkan situasi yang semakin putus asa.
"O, penjaga yang terluka, bangkitlah dari amarah, Dengan embun malam, aku mohon pada kegelapan, Kembalikan keharmonisan pada jiwa yang hancur, Seperti bintang di langit, terangi jalan ini dengan ketenangan."
Namun, mantra ini tampaknya tidak cukup untuk meredakan kemarahan Waru Sakti yang semakin membara. Ular raksasa itu menggeliat dengan penuh kebrutalan, memburu Raka dengan gerakan yang cepat dan mematikan. Setiap kali Raka mencoba untuk melafalkan mantra, Waru Sakti mengeluarkan serangan yang semakin sadis, memecahkan pohon-pohon dan menghancurkan tanah dengan sisik dan cakar-cakarnya yang tajam.
Dalam satu momen yang mencekam, Waru Sakti mengangkat tubuhnya yang besar, membuka mulutnya yang penuh dengan deretan gigi tajam, dan menyerang Raka dengan kecepatan yang hampir tidak terlihat. Raka terlempar oleh kekuatan serangan itu, merasakan guncangan yang menyesakkan di seluruh tubuhnya. Darah mengalir dari lukanya, dan dia berjuang untuk tetap berdiri sambil merasakan rasa sakit yang mengguncang.
Warga desa, meski ketakutan, tidak bisa menjauh. Mereka menyaksikan dengan mata yang lebar, beberapa dari mereka berteriak dalam kepanikan. Mereka tahu bahwa nasib desa dan hutan tergantung pada hasil pertarungan ini. Raka, dengan tubuh yang hampir hancur, tetap berdiri dengan tekad yang semakin membara, siap untuk menghadapi apapun yang terjadi.
Waru Sakti, semakin marah dan murka, mengeluarkan serangan-serangan yang semakin ganas. Dalam satu serangan, Waru Sakti membelah tanah dengan tubuhnya, mengirimkan pecahan tanah dan batu ke arah Raka. Raka terpaksa melompat untuk menghindari serangan tersebut, namun serangan itu membuat beberapa warga desa terluka parah, menambah rasa cemas di tengah-tengah mereka.
Dengan tenaga yang tersisa, Raka mencoba melafalkan mantra dengan lebih jelas, berusaha menyentuh inti kemarahan Waru Sakti. Dia merasakan kekuatan dari mantra itu memancar, tetapi efeknya terasa sangat lambat. Waru Sakti terus mengamuk, setiap serangan semakin menghancurkan lingkungan sekitarnya. Raka tahu bahwa dia harus mempercepat prosesnya, dan dia bertekad untuk tidak menyerah.
Dalam pertarungan terakhir ini, Raka mencari cara untuk mengalihkan perhatian Waru Sakti. Dia berlari dengan cepat, menghindari setiap serangan dengan keterampilan yang terlatih. Sementara itu, dia mencoba untuk melafalkan mantra yang lebih dalam, mencoba meresap ke dalam hati Waru Sakti dengan kata-kata yang penuh kelembutan dan harapan.
"Hembuskan nafas terakhir kemarahan, wahai penjaga, Dengan embun malam, aku menjanjikan kedamaian, Pulihkan jiwa yang tersesat, kembalikan cahaya, Seperti matahari terbit, ciptakan awal yang baru."
Mantra ini, meskipun diucapkan dengan sepenuh hati, tampaknya belum cukup untuk mengalahkan kemarahan Waru Sakti. Makhluk itu semakin mendekati Raka dengan gerakan yang semakin brutal dan ganas. Raka merasa tubuhnya semakin lelah, dan setiap kali dia mencoba untuk melafalkan mantra, Waru Sakti semakin mengamuk.
Di tengah-tengah pertarungan yang semakin putus asa, Raka merasakan satu titik cahaya kecil di dalam dirinya. Dia mengingat kembali momen-momen ketika hutan dan desa berdamai, dan dia merasa tekadnya semakin kuat. Dengan tenaga yang tersisa, Raka melafalkan mantra terakhir dengan penuh harapan, dan dia merasakan aliran energi yang kuat mengalir melalui tubuhnya.
Mantra terakhir yang diucapkan Raka adalah sebuah puncak dari semua upayanya, dan itu terasa seperti sebuah pengorbanan besar. Waru Sakti mengeluarkan raungan terakhir yang menggema di seluruh hutan, dan tubuhnya bergetar dengan kekuatan yang luar biasa. Dalam serangan terakhir yang brutal, Waru Sakti melontarkan tubuhnya ke arah Raka dengan kemarahan yang menggelegar.
Raka, dengan kekuatan terakhirnya, berhasil menghindari serangan terakhir itu dan melafalkan mantra terakhir dengan sepenuh hati. Mantra ini membanjiri hutan dengan energi penyembuhan, dan perlahan-lahan, Waru Sakti mulai mereda. Tubuh makhluk itu tampak melunak, dan kemarahan di matanya mulai mereda menjadi tatapan yang penuh keputusasaan.
Dengan gerakan yang lemah, Waru Sakti akhirnya berhenti melawan. Tubuhnya yang besar dan mengerikan kini terbaring di tanah, dan kemarahan yang membara perlahan-lahan berubah menjadi kesedihan yang mendalam. Raka berdiri di tengah hutan dengan tubuh yang terluka dan lelah, tetapi merasa lega karena perjuangannya akhirnya membuahkan hasil.
Para warga desa, yang sebelumnya terdiam dalam ketegangan, kini meluapkan rasa syukur dan harapan mereka. Mereka merangkul satu sama lain, saling memberikan dukungan dan berterima kasih kepada Raka. Dengan rasa sakit dan kelelahan yang menyelimuti tubuhnya, Raka merasa bahwa kemenangan ini adalah hasil dari kerja keras dan ketekunan yang tiada henti.
Pertarungan terakhir ini meninggalkan bekas yang mendalam di hati dan jiwa setiap orang yang menyaksikannya. Raka, dengan tekad dan keberaniannya, telah menghadapi ketidakberdayaan dan kemarahan, dan akhirnya berhasil membawa kedamaian kembali ke hutan dan desa. Namun, dia juga tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir. Masih ada babak terakhir yang harus dihadapi, dan dia bersiap untuk menghadapi apa pun yang akan datang dengan hati yang penuh harapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DENGKANG (TAMAT)
HorrorDi sebuah desa terpencil yang tersembunyi di balik lebatnya hutan, setiap malam diiringi oleh suara desisan misterius. Suara itu, yang dikenal sebagai "dengkang," telah menjadi legenda yang membawa ketakutan bagi penduduk desa selama berabad-abad. D...