Raka berdiri di hadapan altar kecil yang memancarkan cahaya lembut dari batu permata besar di atasnya. Ruangan kuil terasa berat dengan energi kuno yang mengalir di sekelilingnya, seolah-olah roh-roh penjaga hutan yang terpahat dalam patung-patung batu tengah mengawasinya dengan mata yang tak terlihat. Kekuatan yang membungkus ruangan ini begitu kuat, menekan dadanya, mengirimkan getaran halus ke seluruh tubuhnya. Cahaya dari permata itu bagaikan denyut nadi yang hidup, dan setiap pancarannya terasa menyusup jauh ke dalam jiwanya.
"Ini...," Raka berbisik pelan pada dirinya sendiri. "Di sinilah semuanya akan berakhir."
Ia melangkah mendekat ke altar, langkahnya terasa berat, seolah-olah gravitasi di tempat itu lebih kuat dari biasanya. Suara "dengkang" yang sempat mereda kini kembali menggema di udara, namun kali ini nadanya lebih lembut, hampir seperti lagu pengantar yang mengiringi langkah Raka menuju takdirnya. Ia tidak tahu apakah ini adalah pertanda baik atau buruk, namun dia merasa bahwa semua jawabannya terletak pada batu permata di depannya.
Jantung Raka berdebar keras saat ia meraih permata itu, seakan menanti sesuatu yang besar akan terjadi. Ujung jarinya menyentuh permukaan batu yang halus dan dingin, dan seketika itu juga, kilatan cahaya yang kuat meledak dari dalam permata, mengelilinginya dengan sinar yang menyilaukan. Raka mundur selangkah, terhuyung, tapi ia tidak bisa melepaskan pandangannya dari kilauan tersebut.
Di tengah kilatan cahaya, bayangan mulai terbentuk. Awalnya samar, seperti kabut tipis yang berputar-putar di udara, tetapi semakin lama bayangan itu semakin jelas. Sosok besar dan agung muncul di hadapan Raka—Waru Sakti. Makhluk setengah dewa itu muncul, tidak dalam wujud fisiknya yang mengancam, tetapi dalam bentuk energi yang memancar dengan kekuatan alam yang megah. Waru Sakti berdiri tegak di hadapan altar, matanya yang seperti bara api menatap langsung ke dalam jiwa Raka.
"Engkau telah datang sejauh ini," suara Waru Sakti menggema di seluruh ruangan, bukan sekadar bunyi biasa, tapi sebuah kekuatan yang mengguncang hati Raka. "Namun perjalananmu belum usai."
Raka merasa tubuhnya melemas, kekuatan besar di hadapannya ini membuatnya merasa kecil dan tak berdaya. Tapi di balik itu semua, ada ketenangan yang aneh, seolah-olah ia tahu bahwa inilah bagian dari nasibnya—bagian dari teka-teki yang selama ini ia cari.
"Apa yang harus kulakukan?" Raka bertanya, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan ruang suci itu.
Waru Sakti tidak segera menjawab. Ia bergerak maju, tubuhnya yang besar dan bercahaya tampak melayang di udara. Kemudian, ia mengarahkan pandangannya ke permata yang masih berkilauan di atas altar. "Batu ini bukan sekadar permata," Waru Sakti mulai menjelaskan, "Ini adalah jantung dari alam itu sendiri. Kekuatan yang terpendam di dalamnya adalah keseimbangan antara dunia manusia dan roh hutan."
Raka menelan ludah, memandangi batu itu dengan rasa hormat yang baru. "Dan apa yang harus kulakukan dengannya?"
"Pengorbanan," jawab Waru Sakti dengan suara yang dalam. "Untuk memulihkan keseimbangan yang telah terganggu, seseorang harus rela memberikan sesuatu yang paling berharga. Hanya dengan begitu, kutukan yang melanda desa akan sirna, dan kedamaian akan kembali ke dunia ini."
Pengorbanan. Kata itu menggema di pikiran Raka, berat dan mengerikan. Apa yang bisa ia korbankan? Nyawanya? Tapi Raka tahu, ini bukan hanya tentang menyerahkan hidupnya—ada sesuatu yang lebih besar, lebih mendalam, sesuatu yang harus diberikan dari dalam dirinya.
Dengan langkah yang perlahan, ia mendekati altar lagi, kali ini dengan kesadaran penuh akan konsekuensi dari setiap gerakannya. "Apakah pengorbanan ini... harus nyawa?"
Waru Sakti menatapnya dengan tatapan yang dalam dan penuh misteri. "Tidak selalu nyawa, tetapi sesuatu yang kau anggap paling berharga. Hanya dengan memberikan yang paling berarti, kau akan mampu membalikkan keadaan dan mengembalikan harmoni."
Raka merasa pikirannya berputar. Apa yang paling berharga baginya? Ia telah kehilangan begitu banyak sepanjang perjalanan ini—teman, waktu, bahkan sebagian dari dirinya yang dulu. Namun, ada satu hal yang masih bertahan, yang masih ia genggam erat—kebebasan. Kebebasan untuk kembali ke dunia yang ia kenal, untuk meninggalkan semua ini dan hidup dalam kedamaian. Mungkin itulah yang harus ia lepaskan.
Tanpa ragu lagi, Raka meletakkan kedua tangannya di atas batu permata. Energi mulai mengalir dari tubuhnya, menyusup ke dalam permata, dan seketika itu juga, Raka merasakan gelombang kekuatan besar yang mengalir balik ke arahnya. Sakit yang menyiksa menghantam seluruh tubuhnya, seolah-olah setiap serat otot, setiap tulang, setiap detak jantungnya terkoyak oleh kekuatan luar biasa yang mencoba menghancurkannya dari dalam.
Namun Raka bertahan. Ia berjuang melawan rasa sakit, membiarkan pengorbanannya mengalir, meresap ke dalam batu permata. Saat ia merasa bahwa tubuhnya tak lagi mampu menahan beban ini, tiba-tiba rasa sakit itu mereda, berganti dengan kehangatan yang lembut, hampir seperti pelukan dari dunia roh itu sendiri.
Di hadapannya, Waru Sakti berdiri diam, matanya kini tidak lagi dipenuhi amarah, tetapi dengan ketenangan dan penerimaan. "Kau telah memberikan yang diperlukan," katanya dengan suara yang lebih lembut. "Dan sekarang, keseimbangan telah dipulihkan."
Raka tersentak mundur, tubuhnya gemetar namun hati terasa lega. Cahaya dari permata mulai meredup, seiring dengan lenyapnya sosok Waru Sakti. Suara "dengkang" yang menggema di seluruh kuil perlahan-lahan mereda, berubah menjadi bisikan halus yang akhirnya lenyap sepenuhnya.
Raka jatuh berlutut di depan altar, napasnya tersengal-sengal, namun ada rasa damai yang perlahan menyelimuti dirinya. Kutukan itu telah berakhir, dan desa kini akan terbebas dari bayang-bayang teror yang selama ini mengancamnya. Meski ia telah memberikan sesuatu yang sangat berharga, Raka merasa bahwa apa yang ia peroleh jauh lebih besar dari apa yang ia korbankan.
Malam itu, di tengah kuil yang sunyi, Raka menyadari bahwa perjalanan ini bukanlah tentang pertarungan melawan makhluk-makhluk mistis atau memecahkan teka-teki kuno. Ini adalah perjalanan menuju pemahaman tentang dirinya sendiri—tentang apa yang benar-benar penting, tentang keberanian untuk menghadapi ketakutan terdalam, dan tentang pengorbanan yang diperlukan untuk mencapai kedamaian yang sejati.
Dengan langkah yang lelah namun mantap, Raka meninggalkan kuil, kembali menuju desa yang kini berada di ambang kebebasan. Hutan tampak tenang di bawah cahaya bulan yang samar, seolah-olah ikut bernafas lega setelah beban kutukan yang selama ini membelenggunya akhirnya terangkat.
Kedamaian telah kembali. Namun, perjalanan hidup Raka masih belum selesai
KAMU SEDANG MEMBACA
DENGKANG (TAMAT)
TerrorDi sebuah desa terpencil yang tersembunyi di balik lebatnya hutan, setiap malam diiringi oleh suara desisan misterius. Suara itu, yang dikenal sebagai "dengkang," telah menjadi legenda yang membawa ketakutan bagi penduduk desa selama berabad-abad. D...