Pertemuan dengan Penjaga Desa

7 3 0
                                    

Malam masih pekat ketika Raka terbangun dari tidurnya yang singkat namun penuh kegelisahan. Suara "dengkang" yang terus menghantuinya semakin kuat, seolah memanggilnya, menuntutnya untuk bertindak. Pikirannya masih dipenuhi dengan catatan kuno yang ia temukan di rumah Pak Jaya, dan rasa ingin tahunya mendorongnya untuk mencari jawaban lebih jauh.

Pagi itu, ketika cahaya pertama mulai menembus celah-celah pepohonan di sekitar desa, Raka tahu bahwa ada satu orang lagi yang harus ia temui sebelum ia memutuskan langkah selanjutnya—seorang penduduk desa tua yang dikenal sebagai penjaga tradisi. Orang ini jarang terlihat oleh pendatang, tapi semua penduduk desa tahu bahwa dia menyimpan pengetahuan yang tak terhitung tentang sejarah desa, mitos-mitos kuno, dan rahasia yang telah lama terlupakan.

Raka melangkah dengan cepat menuju sebuah rumah tua di ujung desa, tempat tinggal Sang Penjaga Tradisi. Rumah itu tampak hampir tersembunyi di balik tumbuhan merambat dan pohon-pohon yang tumbuh liar, seolah-olah waktu sendiri telah melupakan keberadaannya. Namun, Raka tahu bahwa di dalam rumah sederhana itu ada jawaban yang telah lama ia cari.

Sesampainya di sana, Raka mengetuk pintu dengan sopan. Tak lama kemudian, pintu itu terbuka sedikit, memperlihatkan seorang lelaki tua dengan wajah yang penuh keriput dan mata yang tampak lebih tajam daripada usianya. Mata itu menatap Raka dengan penuh perhatian, seakan-akan bisa membaca pikiran dan perasaan yang ada di balik penampilan luarnya.

"Anda adalah Raka, peneliti yang berasal dari kota, bukan?" Suara lelaki tua itu rendah namun tegas, menunjukkan bahwa ia sudah tahu banyak tentang Raka sebelum mereka bertemu.

Raka mengangguk, mencoba menyembunyikan keterkejutannya. "Betul, Pak. Saya datang karena ingin tahu lebih banyak tentang suara 'dengkang' dan makhluk penjaga hutan yang disebut-sebut dalam legenda desa ini."

Lelaki tua itu, yang kemudian Raka ketahui bernama Pak Darto, memberi isyarat agar Raka masuk. Ruang dalam rumah itu dipenuhi dengan barang-barang kuno: patung-patung kayu, buku-buku tua, dan berbagai benda ritual yang membuat suasana terasa sangat berbeda dari luar. Di tengah ruangan, ada sebuah meja kecil yang terbuat dari kayu jati, di atasnya terdapat gulungan-gulungan kertas dan beberapa benda yang tampak seperti jimat atau amulet.

Pak Darto mempersilakan Raka duduk, lalu dengan tenang ia mulai bercerita. "Suara 'dengkang' yang kau dengar bukanlah sekadar suara. Itu adalah panggilan dari makhluk yang telah ada di hutan ini sejak sebelum desa ini berdiri. Kami menyebutnya Penjaga Hutan, atau dalam bahasa nenek moyang kami, 'Waru Sakti'."

Raka mendengarkan dengan saksama, tidak ingin melewatkan satu pun kata dari mulut lelaki tua ini. Pak Darto melanjutkan, "Waru Sakti adalah makhluk setengah dewa yang ditugaskan oleh leluhur kita untuk menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan alam. Namun, ada kutukan yang mengikutinya. Setiap kali keseimbangan terganggu, Penjaga Hutan akan bangkit, dan teror akan menghantui mereka yang berani menantang kekuatannya."

"Kutukan?" tanya Raka, rasa ingin tahunya semakin besar.

Pak Darto mengangguk pelan. "Ya, kutukan. Kutukan ini adalah hasil dari perjanjian yang dibuat oleh nenek moyang kita dengan makhluk tersebut. Selama manusia menghormati hutan dan tidak melanggar batas-batasnya, Penjaga Hutan akan tetap tenang, menjaga tanpa mengganggu. Tapi jika ada yang melanggar, seperti yang terjadi saat ini, maka makhluk itu akan bangkit dan menghancurkan siapa saja yang dianggapnya sebagai ancaman."

Raka merasakan bulu kuduknya berdiri. Seluruh penelitiannya selama ini, yang didasarkan pada rasionalitas dan fakta ilmiah, kini terguncang oleh pengetahuan baru ini. Namun, ia tetap berusaha mempertahankan logikanya. "Apakah ada cara untuk menghentikan teror ini? Untuk membuat Penjaga Hutan kembali tenang?"

Pak Darto memandangi Raka sejenak sebelum menjawab, "Ada, tapi tidak mudah. Hanya ada satu cara untuk menghentikan Penjaga Hutan—kau harus membuat perjanjian baru dengannya. Perjanjian yang akan mengembalikan keseimbangan yang terganggu."

Raka merasa bingung. "Perjanjian? Bagaimana cara melakukannya?"

"Pertama-tama, kau harus memahami bahwa perjanjian ini tidak bisa dibuat oleh sembarang orang. Hanya mereka yang memiliki keberanian, niat tulus, dan bersedia memberikan pengorbanan yang bisa berhasil. Kau harus menemukan tempat suci di dalam hutan, tempat di mana Waru Sakti pertama kali dipanggil oleh leluhur kita. Di sana, kau akan berhadapan langsung dengan makhluk itu dan menyampaikan niatmu."

Mendengar ini, Raka merasa dadanya sesak. Tugas yang dibebankan padanya terasa hampir mustahil, tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan bencana yang mungkin akan menimpa desa. "Apa yang harus saya lakukan begitu saya menemui makhluk itu?" tanyanya dengan suara yang hampir bergetar.

Pak Darto menatapnya tajam. "Kau harus menawarkan sesuatu yang setara dengan apa yang telah diambil oleh manusia dari hutan. Itu bisa berupa apapun, tapi harus memiliki nilai yang cukup besar untuk membuat Waru Sakti menerima perjanjian baru."

Raka terdiam, merenungkan kata-kata Pak Darto. Sesuatu yang setara dengan kerusakan yang telah dilakukan manusia? Apa yang bisa ia tawarkan yang cukup besar untuk menenangkan Penjaga Hutan? Pikiran itu berputar-putar di kepalanya, tetapi tidak ada jawaban yang memuaskan.

Sebelum Raka bisa bertanya lebih lanjut, Pak Darto menambahkan, "Ingat, Nak, ini bukan sekadar tentang menyelamatkan desa ini. Ini adalah tentang memulihkan hubungan antara manusia dan alam yang telah terputus. Jika kau gagal, bukan hanya desa ini yang akan menderita, tapi seluruh keseimbangan hutan akan hancur, dan itu bisa membawa malapetaka yang jauh lebih besar."

Raka merasakan beratnya beban tanggung jawab yang baru saja diserahkan kepadanya. Dengan perasaan campur aduk antara ketakutan dan tekad, ia akhirnya mengangguk. "Saya akan melakukannya," katanya dengan suara yang dipenuhi tekad.

Pak Darto tersenyum tipis, meskipun ada kesedihan yang terlihat di matanya. "Aku tahu kau akan mengatakannya. Kau berbeda dari yang lain, Raka. Kau punya keberanian, dan itu yang akan membawamu ke sana. Tapi ingat, jalan yang kau pilih ini penuh bahaya. Kau harus siap menghadapi apapun."

Raka bangkit dari duduknya, menunduk hormat kepada Pak Darto sebelum meninggalkan rumah itu. Di luar, matahari sudah mulai naik, tetapi udara pagi yang dingin masih menyelimuti desa. Raka berjalan kembali ke penginapannya dengan perasaan yang tak menentu. Ia tahu bahwa waktunya semakin sedikit, dan bahwa tugas yang ada di hadapannya adalah tugas yang akan menguji seluruh kemampuannya, baik sebagai peneliti maupun sebagai manusia.

Malam itu, saat ia duduk sendiri di kamarnya, suara "dengkang" kembali terdengar, namun kali ini Raka merasakan sesuatu yang berbeda. Suara itu tidak lagi hanya sebagai ancaman atau peringatan, melainkan sebagai sebuah undangan. Undangan untuk melakukan apa yang harus dilakukan—untuk menghadapi Penjaga Hutan, dan untuk mencoba memulihkan keseimbangan yang telah lama terganggu.

Dan dengan tekad yang mulai terbentuk dalam hatinya, Raka tahu bahwa apa pun yang terjadi, ia tidak akan mundur.

DENGKANG (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang