Dengkang: Rupa Darah

1 0 0
                                    

Desa Akar Belantara yang dulu sunyi kini kembali bergetar dalam bayang-bayang teror. Waru Sakti, sang penjaga hutan yang dulu meredam dendamnya setelah pertempuran besar dengan Raka, kini muncul lagi—lebih kuat, lebih ganas, dan penuh amarah yang tak terbendung.

Di tengah kegelapan Hutan Akar Belantara, udara terasa pekat dengan energi yang tidak wajar. Suara gemuruh terdengar dari kedalaman hutan, dan makhluk-makhluk kecil yang biasanya bersembunyi di balik rimbunan pohon mulai berlarian tanpa arah. Getaran di tanah seperti detak jantung yang marah, seakan menandai kebangkitan sesuatu yang tak seorang pun berani bayangkan.

Waru Sakti muncul kembali dalam wujud yang jauh lebih mengerikan dari sebelumnya. Mantel tubuhnya yang dulu besar dan mengancam kini telah berubah menjadi makhluk yang jauh lebih menakutkan. Waru Sakti, yang dulu hanya memiliki kulit berwarna emas mengilap dan hitam kelam, kini memiliki sisik-sisik yang bercampur antara hijau hitam mengilap dan merah kelam. Tubuhnya yang raksasa kini dilapisi dengan pelindung sisik berwarna pekat, sementara di sepanjang tubuhnya terdapat guratan-guratan berwarna merah darah yang menyala. Sisik-sisik tersebut tampak seperti pembuluh darah yang menyemburkan kemarahan yang tak tertahan.

Sayap naga yang dulunya hilang kini tumbuh kembali, tetapi dengan bentuk yang lebih garang. Sayapnya besar, berlapis duri tajam yang berpendar merah darah, seperti terbakar oleh kemarahan abadi. Setiap kali sayapnya mengibas, suara berderak seperti belati yang menyayat udara, menambah aura ketegangan di hutan. Sayap-sayap itu mengeluarkan cahaya kemerahan yang menyerupai api yang tidak pernah padam, melukiskan siluet menakutkan di malam hari.

Mata Waru Sakti kini bersinar dengan api yang memancar, mengingatkan siapa pun yang berani melihatnya bahwa ia adalah makhluk setengah dewa yang tidak bisa dilawan begitu saja. Giginya semakin panjang dan runcing, mencuat dari mulutnya yang siap menerkam apa pun yang mendekat. Setiap gerakannya mengguncang tanah di bawahnya, dan ekornya yang panjang seperti cambuk neraka memukul pohon-pohon besar hingga roboh dengan mudah, meninggalkan jejak kehancuran di belakangnya.

Desa yang pernah tenang kini menjadi ladang ketakutan. Warga desa mendengar kembali suara "dengkang," namun kali ini, bunyinya lebih rendah, lebih dalam, dan jauh lebih menakutkan. Suara itu menggema di seluruh lembah, membuat siapa pun yang mendengarnya merasakan getaran di jantung mereka. Beberapa orang mulai jatuh sakit karena ketakutan, sementara yang lain menghilang tanpa jejak.

Seorang tetua desa, dengan gemetar, menghadap kumpulan warga yang panik. "Dia kembali," katanya dengan suara serak. "Waru Sakti tidak lagi menjadi penjaga kita. Dia telah menjadi amarah hutan, dan jika kita tidak segera bertindak, kita semua akan hancur."

Warga desa tahu bahwa satu-satunya harapan mereka adalah memanggil kembali Raka. Meskipun sudah beberapa tahun berlalu sejak peristiwa terakhir, mereka tahu Raka adalah satu-satunya yang mampu berhadapan dengan Waru Sakti. Maka, dengan rasa putus asa, seorang utusan dikirim untuk menemui Raka di kota.

Di kota, Raka menjalani kehidupannya sebagai seorang ilmuwan herpetologi yang disegani. Dia telah mendirikan tim peneliti khusus untuk meneliti makhluk-makhluk langka dan berbahaya. Meski pengalaman di desa telah menghantui pikirannya, Raka berusaha melanjutkan hidupnya dengan tenang. Namun, ketika utusan desa datang membawa berita tentang kembalinya Waru Sakti, rasa takut dan kegelisahan lama itu kembali.

"Waru Sakti kembali?" Raka mengulang kata-kata itu dengan tak percaya. "Bagaimana mungkin? Aku sudah..."

Utusan desa menggeleng. "Dia berbeda sekarang. Lebih kuat. Lebih ganas. Desa kami hancur tanpa pertolonganmu."

Raka menatap kosong ke luar jendela kantornya. Dia tahu bahwa menghadapi Waru Sakti sekali lagi bukanlah pilihan, melainkan sebuah kewajiban. Namun, kali ini, dia tidak bisa pergi sendirian. Dengan cepat, dia memanggil timnya—sekelompok ilmuwan dan peneliti yang ahli di bidang masing-masing.

"Kita harus pergi ke desa itu," Raka berkata tegas kepada timnya. "Dan kali ini, kita mungkin akan menghadapi sesuatu yang lebih dari sekadar makhluk sains. Ini adalah pertempuran melawan sesuatu yang berada di luar pemahaman kita."

Perjalanan kembali ke desa penuh dengan kecemasan dan ketegangan. Raka, bersama timnya yang dipersenjatai dengan peralatan canggih, tahu bahwa ini bukan sekadar ekspedisi ilmiah biasa. Ini adalah upaya untuk menyelamatkan sebuah desa dari kehancuran total.

Ketika mereka tiba di desa, pemandangan yang menyambut mereka sungguh memilukan. Rumah-rumah telah hancur, tanahnya terbakar oleh panas yang tak wajar, dan pohon-pohon di pinggir hutan tercabik-cabik oleh kekuatan luar biasa. Suara dengkang masih menggema di udara, tetapi sekarang terdengar seperti nyanyian kematian.

Raka berdiri di tengah desa yang hancur, merasakan beban tanggung jawab yang besar di pundaknya. Di kejauhan, di balik kabut yang tebal, bayangan Waru Sakti terlihat samar-samar. Sosok itu lebih besar dari yang pernah dia ingat, dan amarah yang terpancar darinya terasa bahkan dari jarak jauh.

Raka tahu bahwa kali ini, dia tidak hanya harus berjuang dengan ilmu pengetahuan dan taktik. Ada sesuatu yang lebih besar yang dipertaruhkan—keseimbangan antara alam dan manusia, dan mungkin bahkan nasib dunia itu sendiri.

"Rupa darah." Ucapnya pelan.

Dengan napas berat, Raka bersiap untuk pertarungan terakhir melawan Waru Sakti, sang penjaga yang berubah menjadi teror, dalam bentuknya yang paling mematikan. Dan di balik semua itu, ada ancaman yang lebih besar, sesuatu yang belum sepenuhnya terungkap. Tapi satu hal yang pasti, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar—sebuah teror yang tidak akan berhenti hanya dengan satu pertempuran.

DENGKANG (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang