Kegelapan malam menutupi Desa Akar Belantara seperti selimut tebal yang menekan seluruh desa dalam hening yang mencekam. Angin malam berhembus, membawa serta bisikan-bisikan yang menyusup ke dalam jendela dan celah-celah rumah tua. Desa ini, yang biasanya begitu tenang dan damai, kini terasa seolah-olah sedang menunggu sesuatu yang tidak diketahui—sesuatu yang mengintai dari kegelapan.
Di salah satu rumah penginapan tua, Raka terbangun dengan nafas terengah-engah. Mimpi buruk yang baru saja dialaminya begitu nyata, seakan-akan menjeratnya dalam ketakutan yang tak berujung. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, dan dadanya naik-turun dengan cepat, seolah-olah baru saja berlari sejauh berpuluh-puluh kilometer. Dalam mimpi itu, ia melihat sepasang mata merah yang menyala, menatapnya dengan intensitas yang menakutkan dari kedalaman sebuah gua yang gelap dan menyeramkan. Mimpi itu begitu kuat sehingga membuatnya merasa seolah-olah sedang ditarik kembali ke dalam gua tersebut, meski ia kini telah terbangun.
Raka mencoba mengatur napasnya, namun suara "dengkang" yang biasa terdengar samar dari kejauhan kini terasa lebih dekat, lebih menghantui, seakan datang dari dalam dirinya sendiri. Suara itu memukul-mukul pendengarannya, membawa serta rasa cemas yang membuatnya tidak bisa kembali terlelap. Tidak ada jalan lain; ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Dengan rasa penasaran dan ketakutan yang bercampur aduk, Raka memutuskan untuk keluar dan meneliti lebih lanjut. Masih mengenakan pakaian tidurnya yang tipis, ia meraih jaket tebal dan senter, lalu melangkah keluar dari penginapan yang dingin dan sunyi. Udara malam yang menusuk tulang langsung menyergapnya, membuatnya sedikit menggigil. Jalanan desa tampak sepi, kosong, dan hampa—tak ada tanda-tanda kehidupan di mana pun ia memandang. Bahkan suara anjing yang biasanya menggonggong pada malam hari tidak terdengar sama sekali, meninggalkan hanya suara angin dan "dengkang" yang semakin keras dan jelas di telinganya.
Tanpa sadar, langkah kakinya membawanya menuju ke arah hutan. Hutan yang sudah familiar baginya, namun kali ini terasa berbeda—seolah-olah ada energi yang menyelubungi setiap pohon dan dedaunan yang bergetar pelan dihembus angin. Raka bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat, tetapi dorongan untuk menemukan sumber suara itu lebih kuat daripada ketakutannya.
Ketika ia sampai di mulut gua, tempat di mana ia sebelumnya melihat sepasang mata merah itu, hawa dingin yang keluar dari dalam gua menyergapnya seperti tangan-tangan tak terlihat yang merayap ke atas kulitnya. Sejenak, ia merasakan keinginannya untuk kembali ke penginapan dan melupakan semuanya, tetapi rasa penasaran yang membara di dalam dadanya membuatnya tetap bertahan di sana.
Raka menyalakan senter dan mengarahkannya ke dalam gua. Sinar cahaya yang menerobos kegelapan tidak mampu menembus lebih dari beberapa meter ke dalam. Namun, tidak ada tanda-tanda kehidupan atau gerakan apa pun di sana. Hanya keheningan yang memekakkan telinga, dan suara "dengkang" yang semakin kuat, membuat udara terasa semakin berat.
Dengan hati-hati, Raka mengeluarkan alat perekam suara dan kamera inframerahnya. Ia mengaktifkan kedua perangkat itu, berharap bisa menangkap bukti tentang apa pun yang mungkin terjadi di dalam gua ini. Dia jongkok di depan gua, dengan jari-jari yang sedikit gemetar, dan mulai merekam. Namun, sebelum ia sempat menenangkan dirinya, suara langkah kaki terdengar dari belakangnya.
Raka membalikkan badan dengan cepat, menyorotkan senternya ke arah suara tersebut. Cahaya senter berputar-putar, menciptakan bayangan-bayangan aneh di antara pepohonan, tetapi tidak ada apa-apa di sana. Hanya kegelapan hutan yang semakin pekat, dan udara dingin yang menyesakkan. Namun, perasaan diawasi itu tidak hilang—bahkan semakin kuat.
Dengan senter yang masih menyorot ke segala arah, Raka berusaha mengatur napasnya. Ia tahu bahwa sesuatu ada di sana, mengintainya dari balik bayang-bayang. Suara "dengkang" yang awalnya hanya samar kini berubah menjadi lebih intens, seperti irama yang teratur mengikuti detak jantungnya sendiri. Kemudian, ia melihatnya lagi—sepasang mata merah yang menyala di dalam gua.
Mata itu tidak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang begitu dalam hingga Raka merasa seolah-olah jiwanya sedang disedot ke dalam kegelapan tersebut. Ia tidak bisa bergerak, tubuhnya terasa kaku, seperti dibekukan oleh kekuatan yang tidak terlihat. Kemudian, suara "dengkang" berubah menjadi geraman rendah yang membuat bulu kuduknya merinding. Geraman itu seperti berasal dari dalam gua, dari makhluk yang bersembunyi di balik kegelapan.
Raka merasakan ketakutan mulai merayap ke seluruh tubuhnya. Kamera inframerah yang dipegangnya tiba-tiba bergetar, gambar yang dihasilkan menjadi kabur dan tidak jelas. Namun, di antara gangguan-gangguan itu, Raka bisa melihat bayangan besar yang bergerak cepat di layar, mendekati dirinya. Tanpa berpikir panjang, ia menoleh ke arah gua dan menyorotkan senter ke sana lagi. Mata merah itu semakin dekat, dan kali ini, Raka bisa merasakan kehadiran yang nyata, seolah-olah makhluk itu ingin berkomunikasi dengannya.
Angin kencang tiba-tiba bertiup keluar dari gua, mengangkat dedaunan dan pasir yang menghantam wajah Raka. Dia mundur beberapa langkah, berusaha tetap tenang meskipun ketakutan yang mencekam mulai mendominasi pikirannya. Makhluk itu, apa pun itu, sedang mendekatinya, dan ia tahu bahwa ini bukan hanya sekadar mimpi buruk lagi. Ini nyata.
Mata merah itu terus menatapnya tanpa berkedip, penuh dengan amarah dan kebencian yang membakar. Raka merasa lututnya lemas, hampir tidak mampu berdiri. Tetapi ketika ia memutuskan untuk melarikan diri, ia merasakan sesuatu yang dingin dan kasar menyentuh bahunya. Tangan itu bukan milik manusia; terasa keras dan kasar, seperti kulit reptil yang sudah mengeras.
Raka menahan napas, ketakutan luar biasa menyelubungi dirinya. Ia tidak berani menoleh, tidak berani bergerak. Sentuhan itu, meskipun hanya sebentar, terasa begitu kuat dan mengancam, seolah-olah makhluk itu bisa menghancurkannya dalam sekejap jika ia menginginkannya. Dalam sekejap, tangan itu melepaskan cengkeramannya, dan Raka merasakan dorongan yang kuat untuk berlari. Tanpa berpikir panjang, ia berlari secepat mungkin, mencoba melarikan diri dari makhluk yang mengintainya dari balik kegelapan.
Kakinya bergerak dengan kecepatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Raka berlari melewati pepohonan, melompati akar-akar besar yang menjulur keluar dari tanah, tanpa berani menoleh ke belakang. Suara "dengkang" terus menghantuinya, semakin cepat dan semakin keras, seolah-olah makhluk itu mengejarnya dengan kekuatan yang tak terbayangkan. Dia tahu bahwa jika dia berhenti, makhluk itu akan menangkapnya, dan entah apa yang akan terjadi padanya setelah itu.
Namun, ketika ia akhirnya mencapai batas desa, suara itu tiba-tiba berhenti. Kegelapan yang mengejarnya tampak lenyap begitu saja, menyisakan hanya keheningan yang berat dan mencekam. Raka jatuh berlutut di tanah, tubuhnya gemetar hebat, dan napasnya tersengal-sengal. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mengalir di seluruh tubuhnya. Raka menoleh ke belakang, melihat ke arah hutan yang gelap dan sunyi, namun tidak ada tanda-tanda makhluk yang tadi mengejarnya. Mimpinya itu menjadi nyata, bukan berperan sebagai bunga tidur belaka.
Malam ini, segalanya telah berubah. Desa yang selama ini ia anggap sebagai tempat yang aman dan damai kini menyimpan rahasia yang jauh lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan. Mata merah itu, makhluk itu—apa pun mereka—mereka adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang lebih berbahaya daripada yang bisa ia pahami.
Dalam hatinya, Raka tahu bahwa ia tidak bisa berhenti sekarang. Misteri yang ia temui malam ini hanyalah permulaan. Ada sesuatu yang menunggu untuk ditemukan, sesuatu yang mungkin menjawab semua pertanyaannya—tetapi juga sesuatu yang mungkin akan membawanya ke dalam kegelapan yang lebih dalam dan lebih menakutkan. Dan meskipun ketakutan itu terus menghantui setiap langkahnya, ia tahu bahwa ia harus terus maju. Karena mundur sekarang, berarti menyerahkan diri sepenuhnya kepada kegelapan yang tak terduga.
Desa Akar Belantara dan kegelapan yang mengelilinginya menyimpan rahasia yang harus diungkap. Tidak peduli betapa menakutkannya, Raka bertekad untuk menggali kebenaran di balik semua ini, bahkan jika kegelapan itu sendiri tampaknya mengancam untuk menelan seluruh jiwanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DENGKANG (TAMAT)
HorrorDi sebuah desa terpencil yang tersembunyi di balik lebatnya hutan, setiap malam diiringi oleh suara desisan misterius. Suara itu, yang dikenal sebagai "dengkang," telah menjadi legenda yang membawa ketakutan bagi penduduk desa selama berabad-abad. D...