17. Takdir yang menyatukan

22 4 0
                                    

Jangan lupa untuk di vote, komen.
Selamat membaca semua semoga suka
Aamiin...

happy reading all

***

Cahaya mentari masuk melewati celah kaca di dapur ketika perempuan paruh baya membuka seluruh jendela membuat angin dan cahaya masuk bersamaan agar ruangan lebih hidup. Sinta kemudian mencacah bawang serta sayuran sawi kemudian memasukan kedalam wajan. Ia menoleh ketika suaminya berada disamping memanjakan lehernya.

"Masak apa sih mah?" tanya Darma

Sinta beralih ke depan berkutat dengan wajan. "Masa ga liat sih Pah. Buat nasi goreng lah." biasanya Sinta jika bangun lebih awal akan memasakkan makanan untuk keluarganya, tapi jika terlambat ia sering membuat roti selai. Nasi itu sudah berpindah ke piring lalu Sinta membawa makanan itu ke meja makan.

Ia melihat suaminya bersandar di depan kulkas sedang menatap ke arahnya. "Hari ini tanggal merah harus banget ngantor pah?" menatap dari ujung kaki hingga puncak kepala suaminya yang sudah rapih, tas jinjing yang berisi dokumen juga Macbook berada di tangan kanannya juga jas hitam yang ditaruh dipergelangan tangan kiri. Kemudian ia duduk disebelah Sinta yang sedang menyiapkan alat makan.

"Ada meeting mah, gabisa dicancel."

Sinta hanya manggut-manggut dengan senyuman tipis ada perasaan sedih karena sudah hampir satu bulan lebih suaminya selalu lembur. Mereka melirik tangga ketika melihat anaknya turun menghampiri mereka berdua.

"Morning Ma, Pah." ucap Farzan yang duduk di depan Sinta.

"Adek kamu mana, Zan?" tepat saat Darma mengucapkan kalimat itu Felisya menuruni tangga sedikit berlari berhambur memeluk Mamanya yang sedang mengolesi roti untuk dibawa bekal suaminya lalu gadis itu beralih duduk disebelah Kakaknya.

Langkah Sella terhenti, tubuhnya membeku di anak tangga keempat paling bawah ketika menatap keluarga sahabatnya yang sedang bercengkrama dengan mata yang berembun. Bau harum masakan seharusnya menggugah selera makannya, namun kali ini hanya menambah rasa perih dalam dadanya. Setetes air mata berhasil jatuh melewati pipinya yang dingin, kilatan memori kejadian sebelum orang tuanya pergi meninggalkan pelukan terakhir di meja makan, dan sekarang pelukan hangat itu telah lama berpulang ke lautan.

Suara Felisya memanggil membuat Sella terbangun dari lamunan yang kelam, ia dengan cepat menyeka pipinya menyembunyikan kesedihan untuk dirinya lalu menghampiri untuk ikut bergabung. Sinta dengan senyuman ramah menyuguhkan sepiring nasi goreng membuat Sella mengigit bibir bawahnya berusaha menahan rasa haru yang kembali menyeruak.

"Sel, kamu ko jarang main?" tanya Darma membuka obrolannya.

Sella menyengir kuda. "Duh iya nih, Om. Sella lagi banyak tugas sekolah." ia kembali menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.

"Sibuk pacaran kali." timpal Farzan.

Sella berdecak pelan melirik sinis Farzan yang juga menatap menaikan alisnya. "Nggak ya enak aja. Lo kali Ka yang pacaran."

Felisya, Sinta dan Darma hanya tertawa kecil mendapati tingkah mereka yang sejak dulu tidak pernah akur, selalu ribut. Pernah dulu Sella menginap kemudian mereka menonton siaran televisi yang sama disitu terjadi keributan hanya karena rebutan remote, Farzan ingin menonton pertandingan Persib dan Sella ingin menonton sinetron yang tayang di hari yang sama dan jam yang sama. Akhirnya Felisya menjadi penengah, mengambil remote tersebut lalu menyembunyikannya.

Luka hati FelisyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang