01. Atas Nama Kanaya, Saya Menyerah

267 28 7
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hanya lima langkah, dan Kanaya yakin apa yang dia lihat saat ini benar-benar Baskara Winata, teman sekaligus cinta dalam diamnya saat dibangku sekolah dulu.

“Atas nama Kanaya!”

Sebuah suara menginterupsi Kanaya untuk segera berjalan masuk ke dalam ruangan tempat dimana Baskara kini berada. Jantungnya sudah berdetak tak karuan, pasalnya setelah sekian lama tidak bertemu, justru Kanaya menampakkan batang hidungnya lagi dengan luka yang sedikit memalukan.

“Selamat pagi, Mbak – ”

Baskara jelas terlihat kaget dengan kedatangan Kanaya yang berdiri dengan kaki pincang di depan sana. Bukan hanya Baskara, Kanaya pun ingin rasanya pergi dari rumah sakit ini, menenggelamkan dirinya di atas kasur sambil berteriak ‘BAJINGAN’ sekuat-kuatnya. Namun karena ulah Dewa, ketua tim tempat dia bekerja, wanita itu harus menurut dan disinilah momen pertemuan di antara dirinya dan Baskara bermula.

“Hai, Bas!” sapa Kanaya sedikit kikuk. 

Untuk sesaat sepertinya Baskara belum menyadari siapa sosok wanita di hadapannya saat ini. Namun saat Baskara menegaskan kembali pandangannya, disaat itu pula dia baru tersadar bahwa yang ada di depannya saat ini adalah Kanaya, gadis culun yang dulu merupakan teman sekelasnya.

“Ya ampun kamu kenapa?” Baskara bangkit berdiri, dia sendiri yang membantu Kanaya untuk duduk di bangku pasien. Tatapannya jelas terlihat bingung, pertemuan pertama mereka terjadi di rumah sakit tempat dia bekerja. 

Sejak dulu ketampanan itu tidak pernah hilang dalam diri seorang Baskara Winata. Apalagi sekarang, dengan jas putih kebanggaannya dan stetoskop yang mengalungi lehernya membuat Kanaya nyaris ingin bergerak mencium lelaki itu.

Ya, terkadang Kanaya memang tidak bisa berpikir jernih kalau menyangkut percintaan.

“Jatuh kepleset Dok, sembrono memang anaknya!” 

Tidak, itu bukan suara Kanaya. Melainkan Mas Dewa yang ikut masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Bukannya duduk saja, Dewa justru berjalan mendekati mereka sembari ikut memperhatikan bengkak di pergelangan kaki anak buahnya.

Kanaya berdecak, bisa tidak laki-laki menyebalkan itu pergi saja dan meninggalkan dirinya seorang diri dengan pujaan hatinya saat ini?

“Mas, pulang aja gih, aku nanti aman bisa pulang naik taksi!” bukan apa-apa, kehadiran Dewa sama sekali tidak membantu proses penyembuhan kakinya yang kini terasa sakit. Selain mungkin urusan biaya yang nanti akan ditanggung perusahaan dan Dewa yang bertugas mengurus itu, selebihnya dia tidak berguna.

“Nggak mau, nanti kalau Pak Edward nanyain kamu aku harus jawab apa?”

“Ya bilang aja lagi di rumah sakit, event ini kan penting Mas! Anak-anak lain pasti perlu Mas disana.” Tentu saja itu adalah alasan Kanaya untuk menjauh dari atasannya. Berada lima langkah di dekat Mas Dewa merupakan ujian hidup yang harus Kanaya jalani setiap hari.

Dilema Dua HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang