Kanaya bingung dengan dirinya yang kadang, kapasitas percaya dirinya bisa melampaui puncak gunung everest kadang pula malah merosot turun sampai ke palung mariana sekalipun.
Setelah sebelumnya dia dengan percaya diri akan dihubungi Baskara pasca pengobatan waktu itu. Namun hingga seminggu berlalu, tidak ada satu pesan pun yang mampir ke dalam ponselnya. Kanaya bahkan memastikan paket internetnya aman dan semua keresehannya selama ini tidak berasal dari kecerobohnnya. Namun tetap saja, memang tidak ada pesan apapun dari Baskara.
"Masa dia nggak tertarik sih?"
"Siapa Na? Si Baskara itu?" Arfi dengan sebotol minuman dingin duduk menghampiri Kanaya.
Mereka memilih bersantai di salah satu warung pinggir jalan yang berada tidak jauh dari warung pecel lele kemarin. Kali ini Kanaya memesan seporsi mie kuah extra pedas dengan tambahan topping pangsit rebus. Sementara Arfi memilih nasi goreng seafood dengan tingkat kepedasan cupu.
Kanaya mengangguk mengiyakan pertanyaan Arfi. Sudah bosan Kanaya mengecek ponselnya berulang kali hanya untuk memastikan tidak ada pesan dari nomor asing yang terlewat.
Namun tetap saja, Kanaya terlalu berharap Baskara tertarik pada dirinya. Padahal bisa dibilang, kemarin Baskara tampak terpesona. Atau mungkin itu hanya dugaan Kanaya saja?
"Harusnya lo minta nomor dia juga Na, jadi kalau dia nggak ngehubungin lo, ya lo sendiri yang hubungin dia langsung. Terkadang menjadi gatal itu perlu, Na."
"Saran lo nggak bermutu sama sekali, Fi!"
Lelaki itu mengangkat bahunya acuh. Mengurusi percintaan orang lain adalah hal yang melelahkan. Lebih baik Arfi fokus pada nasi goreng di depannya dan membiarkan Kanaya berperang dengan isi kepalanya sendiri.
"Wah, kalian disini rupanya!"
Kemunculan Mas Dewa yang tiba-tiba itu membuat Kanaya dan Arfi lantas menolehkan kepala ke sumber suara. Disana terlihat Mas Dewa yang memakai kaos berwarna maroon dengan bawahan celana hitam selutut.
"Bos lo ngapain kesini deh Na. Ganggu me time orang saja!" bisik Arfi dengan cengiran di wajahnya.
"Dia nggak punya teman main Fi, bisanya cuman gangguin orang doang," balas Kanaya dengan kepala mengangguk mempersilahkan Dewa untuk duduk.
"Lagi bahas apa sih, kok kayaknya seru gitu?" Mas Dewa tersenyum manis hingga membuat Kanaya dan Arfi spontan bergidik ngeri.
"Ini si Kanaya lagi bahas teman dia yang dokter itu Mas. Sampai sekarang nggak ada kabar."
Telapak tangan Kanaya yang semula memegang sendok dan garpu seketika melayang bebas menuju ke arah belakang kepala Arfi hingga menimbulkan bunyi bugh yang kentara sekali. Persetan dengan kesopanan, mulut Arfi jelas harus dibungkam jika tidak ingin rahasia yang lain ikutan keluar.
"Makan aja Fi, mulut lo lebih baik disumpal makanan daripada gibahin gue!"
"Lah, kan emang benar Na, lo gamonin si Baskara itu kan?
"Gue nggak gamon ya! Gue cuman penasaran, itu doang!" tandas Kanaya dengan sebelah tangan menyuap sesendok mie masuk ke dalam mulutnya.
Kanaya tidak ingin Mas Dewa tau perihal Baskara dan nantinya ikut berkomentar, yang sudah dapat dipastikan tidak akan ada kalimat penenang di dalamnya.
"Penasaran kenapa Na?" tanya Dewa dengan kedua tangan bersila diatas meja.
Kedua netra Dewa tampak tertarik dengan topik obrolan ini. Bahkan yang membuat Kanaya semakin bergidik ngeri adalah raut wajah Dewa yang menatapnya intens tepat di kedua matanya.
Ditatap seperti itu membuat Kanaya merasa tidak nyaman dan kikuk. Bahkan untuk membalas tatapan itu Kanaya tidak bisa. Entahlah, memandang Dewa tepat di kedua matanya adalah hal yang sulit Kanaya lakukan.
Semacam ada pesona tersendiri dalam tubuh bos si maha benar ini.
"Kalau kata gue ya Na, mending lo cari target yang lain. Setau gue sih kalau dokter itu jodohnya sama perawat. Ya sama-sama tenaga medis, nggak kayak lo yang sibuk ngurusin event dan segala kehebohan di balik ini. Sederhananya pekerjaan lo nggak menjual di mata mereka."
"Kayaknya nggak gitu deh Fi," Mas Dewa menyesap kopi hitam yang baru dia pesan, kemudian melontarkan pendapatnya.
"Baskara sembilan puluh persen nggak tertarik sama kamu, itu faktanya dan nggak ada hubungannya sama pekerjaan kamu sekarang."
Baik Kanaya maupun Arfi yang mendengar kalimat itu sontak menegakkan posisi duduk mereka dan saling berpandangan satu sama lain. Telinga mereka tidak salah tangkap, yang barusan berbicara itu adalah Mas Dewa, bos mereka sendiri.
Kanaya kira, Dewa akan lebih realistis dibanding Arfi. Nyatanya, mulut lelaki itu lebih tajam dari sebilah pedang. "Kok gitu Mas?" Arfi menimpali.
Nasi goreng dihadapannya sudah habis tak bersisa, sementara Kanaya sama sekali tidak berniat menyentuh makanannya lagi. Kehilangan mood makan akibat hipotesis dari seorang amatiran cinta dan yang satu lagi baru memasuki ranah pernikahan. Mereka kira, ilmu asmara mereka sudah diatas Kanaya.
"Ya, sederhananya Kanaya tidak menarik." Dewa memundurkan tubuhnya hingga bersandar pada punggung kursi. Kedua tangannya menyilang di depan dada dengan tatapannya yang datar.
Sepertinya Mas Dewa tidak mengetahui konsekuensi omongannya barusan pada diri seorang Kanaya.
"Wah Mas, kalo mau jelekin aku dari awal dong, jangan sok kritis gitu. Bilang aja Mas nggak suka sama aku!" Telapak tangan Kanaya bergerak menggeprak meja hingga membuat botol minuman kosong milik Arfi jatuh berserakan.
Alih-alih menganggap anak buahnya tidak sopan, Mas Dewa justru menghadapi Kanaya dengan respon yang lebih tenang. Kembali diseruputnya kopi hitam itu sedikit lebih lama lagi. Membiarkan emosi Kanaya naik ke ubun-ubun, barulah setelah itu Dewa akan pergi meninggalkan mereka.
"Sabar Na. Inhale, exhale. Lo jangan kepancing sama omongan Mas Dewa," bisik Arfi mencoba menenangkan.
"Nggak bisa Fi, orang kayak dia halal untuk ditampar," balas Kanaya dengan suara yang tak kalah kecil.
Yah walaupun kesal setengah mati, tentu saja Kanaya tidak berani mengeluarkan isi kepalanya secara terang-terangan. Bagaimanapun, dia masih butuh bekerja bersama Mas Dewa. Dan salah satu caranya adalah dengan bermuka dua.
Tepat, saat Kanaya menyelesaikan kalimat terakhirnya, wanita itu melirik sekilas ke arah ponselnya yang berdenting. Sebuah pesan singkat masuk dari balik notifikasi bar. Dan secara mengejutkan pula, sudut bibir Kanaya melengkung sempurna ke atas. Mimik wajahnya terlihat puas memandangi Arfi dan Mas Dewa bergantian.
Sementara yang ditatap justru mengira Kanaya sedang kesurupan. Tersenyum sendiri sambil mengeluarkan tawa kecil yang mengerikan.
"See, Baskara jelas tertarik sama aku. Sorry karena perkiraan kalian meleset jauh!"
Dengan perasaan bangga, Kanaya menunjukkan layar ponselnya yang berisi pesan singkat, "Malam Kanaya, kamu apa kabar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilema Dua Hati
Literatura FemininaKanaya harus mempertahankan rumah milik kedua orang tuanya. Dengan segala hutang yang ditinggalkan, juga tanggungan hidup berupa tiga orang adik laki-laki yang masih dibawah umur. Kehidupannya menjadi seorang staff marketing tak cukup membuatnya men...