"Tumben banget Na hari minggu dandan? Biasa juga dasteran keliling komplek!" celetukan Dewa pagi hari itu tidak berhasil menggoyahkan semangat Kanaya untuk memoles dirinya lebih cantik lagi demi untuk bertemu Baskara hari ini.
"Ya gitu deh Mas kalau lagi jatuh cinta. Nggak mungkin dong aku dasteran doang nyambut Baskara di sini?"
Dewa kontan mencibir. ia merasakan merinding seluruh badan dan tidak kuat menatap Kanaya dengan segala warna warni di wajahnya pagi ini.
"Geli banget deh, Na!"
"Jangan sirik gitu dong, Mas! Makanya Mas Dewa mandi sana! Kan ada Ravika juga tuh nanti. Ya minimal kalau nggak ganteng tuh wangi sih!"
Dewa menurunkan gelas berisi kopi hitam yang dibuatkan Kanaya beberapa waktu lalu. Selain kopi, di hadapannya kini sudah tersaji gorengan bakwan lengkap dengan saus cocolan pengganti cabe rawit.
Definisi memanfaatkan tetangga yang tepat.
"Aku nggak mandi aja udah ganteng, Na. Jadi untuk apa mandi?" Sebelah alis Dewa menukik tajam.
Gerakan tangan Kanaya pada ujung alisnya spontan berhenti. Matanya melirik tak suka ke arah Dewa sembari berucap, "Tapi bau!"
Mendengar balasan Kanaya yang sarat akan sindiran, bukannya tersinggung justru lelaki itu malah tertawa hingga membuat kedua matanya menyipit secara bersamaan.
"Berarti barusan kamu mengakui aku ganteng dong!"
Sial!
Kanaya beranjak dari tempat duduknya. Lima menit lagi dia disana sudah dipastikan bukan alis Kanaya yang rapi tapi rahang kiri Dewa yang bisa saja bolong.
"Loh, Mas Dewa sudah pulang, Mbak?" Koi yang baru saja keluar dari dalam kamarnya berpapasan dengan Kanaya yang baru saja masuk. Wanita itu terlihat bergumam tidak jelas sampai akhirnya Koi bisa mendengar apa yang kakaknya sedang katakan.
"Ada tuh di luar, nggak usah ditemenin dia. Biarin aja, kalau capek nanti pulang sendiri"
Tidak lama, Adam yang semula berada di dapur ikut menghampiri mereka. Sebelah tangannya kini memegang piring berisikan potongan buah apel dan juga pir. Melihat kakaknya yang kesal sudah dapat dipastikan pelakunya pasti Mas Dewa.
"Biar Adam saja yang nemenin."
Setelah mengatakan itu, Adam benar-benar melangkahkan kaki menuju posisi Dewa yang sejak tadi masih menyuarakan tawanya.
Beberapa menit berlalu. Suara tawa itu akhirnya reda juga. Diganti dengan petikan gitar dan gumaman lembut mengikuti sebuah lagu yang tampak tak asing di telinga Kanaya.
Wanita itu melirik sedikit dari dalam kamar, menyadari bahwa ternyata Dewalah yang memainkan lagu itu.
Kanaya kembali merias dirinya di depan cermin. Penampilannya kini sudah rapi dengan sedikit polesan make up yang tipis dan wajah yang terus menyunggingkan senyum lebar hingga menampilkan deretan giginya. Urusan outfit pun sudah dia pilih yang sekiranya aman dari tembakan Jepang.
Diraihnya ponsel yang masih tersambung dengan kabel chargeran itu.
Saat Kanaya menyentuh layar sensor pada ponselnya, sebuah pesan masuk yang berasal dari Baskara muncul di paling atas bar notifikasi. Dengan raut keheranan, Kanaya mulai membuka pesan itu.
"Na, maaf banget aku nggak bisa ke rumah kamu hari ini."
Ada sesuatu yang jatuh di dalam dirinya usai membaca kalimat tersebut. Jantungnya mencelos dan hal yang sama sekali tidak Kanaya sangka akan membuat gemuruh kecil hadir di dalam hatinya
"I'ts okay Bas. Next time kamu kesini ya!"
Alih-alih mengirimkan pesan bernada kekecewaan, Kanaya justru menarik kembali dirinya dengan terus menggumamkan kata "Nggak apa-apa. Mungkin ada hal penting yang nggak bisa Baskara lewati."
Setelah terus mengulangi kalimat itu di dalam kepalanya, pada akhirnya Kanaya hanya akan dihadapkan dengan lelaki nyebelin yang masih duduk manis di tempat terakhir kali Kanaya meninggalkannya.
Tepat disaat itu, mobil hitam milik Ravika telah parkir sempurna di halaman depan sana. Bersamaan dengan turunnya tiga orang wanita dimana salah satunya adalah dia yang menjanjikan adanya karyawan baru hari ini.
"Kepagian banget ya gue?"
Dewa bangkit berdiri sebagai orang pertama yang menyambut Ravika dan mempersilahkannya untuk masuk ke dalam rumah. Melewati Kanaya yang sedang berdiri di ambang pintu dan terpaksa mempersilahkan Dewa menggantikan tugasnya sebagai tuan rumah.
"Nggak kok, aku malah dari jam enam tadi sudah disini."
"Enaknya jadi tetangga," komentar Ravika mengundang kekehan lelaki di sampingnya.
"Nah, ini mereka yang gue ceritain kemarin."
Dua orang wanita yang berada di samping kiri dan kanan Ravika melambaikan tangan. Terlihat sedikit kaku awalnya.
"Yang ini namanya Mala dan satu lagi Tita."
Yang bernama Mala menjulurkan tangannya, seorang gadis dengan postur tubuh tinggi dan memakai kacamata. Sementara Tita, berpostur lebih pendek dengan potongan rambut sebahu.
"Kalau yang jomlo yang mana?"
Bukan hanya Kanaya yang melongo mendengar kalimat itu keluar dari mulut Dewa. Bahkan Ravika sendiri sudah menampilkan ekspresi ngeri sebab Mala dan Tita masih di bawah dua puluh tahun dan sekarang om-om setengah matang ini berniat menggoda mereka?
"Bercanda, aku orangnya humoris kok! Tanya saja sama Kanaya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilema Dua Hati
Literatura FemininaKanaya harus mempertahankan rumah milik kedua orang tuanya. Dengan segala hutang yang ditinggalkan, juga tanggungan hidup berupa tiga orang adik laki-laki yang masih dibawah umur. Kehidupannya menjadi seorang staff marketing tak cukup membuatnya men...