06. Cinta Lama Belum Kelar

93 20 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



"Memangnya nggak ada kata putus, Mas?"

Mas Dewa terlihat menggelengkan kepalanya. Baru kali ini dia melihat wujud Mas Dewa yang seperti ayam sakit, lemas dan tidak berdaya. Siapapun yang melihat Mas Dewa pasti akan tertawa karena untuk ukuran lelaki seperti Dewa, tampaknya cinta masih berpengaruh besar pada perubahaan mood laki-laki itu.

Kalau boleh jujur, Mas Dewa yang seperti inilah yang Kanaya harapkan. Dewa yang diam dan tidak banyak omong, karena dengan begitu dia tidak perlu mendengar segala kritikan Dewa mengenai tugas yang sedang dikerjakan.

Sederhananya, Dewa terlihat lebih anteng saat patah hati.

"Aneh banget deh, nggak pernah putus tapi tiba-tiba menghilang. Terus ketemu lagi setelah dua tahun? Kalau aku sih udah anggap pacarku mati, Mas!" Kanaya menyesap minuman cappucino di depannya dengan pandangan menerawang ke area panggung.

Mengomentari kehidupan asmara orang lain membuatnya merasa menjadi manusia yang paling benar setelah ini.

Ketika Kana merasa bahwa Mas Dewa jomblo abadi, kini dia salah besar. Kenyataannya, Dewa justru lebih menyedihkan daripada itu.

"Kana, dia pacar aku," tegur Mas Dewa yang sepertinya tidak suka mendengar respon Kanaya.

"Ya ampun Mas, masih juga dibelain? Istighfar Mas! Orang yang nikah aja nih ya, tiga bulan nggak ada nafkah lahir dan batin sudah jatuh talak! Lah ini dua tahun nggak ada kabar, sudah jelas dia nggak mau ada hubungan lagi sama Mas!"

"Tapi aku masih sayang dia, Na!" Mas Dewa masih kekeh dengan pendiriannya. Bahkan kini Mas Dewa menutupi seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangan. Seolah dengan begitu bayangan tentang Ravika tidak sembarangan memasuki isi kepalanya.

Kanaya membalas sewot, "Iya, tapi dianya yang nggak sayang sama Mas lagi! Terbukti kan siapa yang bodoh kalau lagi jatuh cinta?" Kalimat sarkas barusan menohok tepat ke ulu hati Dewa.

Wajah Dewa memerah, teringat perihal dirinya saat di parkiran waktu itu. Niatnya, hanya ingin memberikan Kanaya pelajaran agar tidak terlalu larut dalam percintaan. Namun kenyataan menamparnya telak. Kini Kanaya yang menari di atas kebodohannya.

Meskipun kesal dengan sindiran anak buahnya, mau tidak mau Dewa harus berlapang dada dan kembali bersikap seperti biasanya.

Masih hangat dalam ingatan Dewa, sosok wanita yang dua tahun lalu dia ajak serius dalam hubungan asmara saat-saat dimana Dewa masih merintis karirnya. Ravika adalah wanita pertama yang membuat Dewa bersemangat akan adanya pernikahan. Bayang-bayang tentang keindahan rumah tangganya kelak bersama Vika selalu menjadi penyemangat Dewa dalam bekerja.

Namun itu semua seolah tidak ada harganya. Dewa bahkan ditinggalkan tanpa satupun surat perpisahan. Semenjak hari itu, Ravika tidak pernah terlihat. Wanita itu menghilang, membawa seluruh dunia Dewa dalam genggamannya.


***


Menjadi seorang kakak sekaligus orang tua untuk ketiga adiknya bukanlah hal yang mudah Kanaya lalui. Banyak permasalahan yang timbul semenjak kedua orang tuanya meninggal beberapa tahun yang lalu. Waktu itu Kanaya baru diterima bekerja di sebuah kedai makanan cepat saji, dimana penghasilannya hanya cukup untuk menghidupi dirinya sendiri dan segelintir kebutuhan rumah.

Secara tiba-tiba, pundak Kanaya dilimpahkan beribu beban yang menuntutnya untuk segera mencari pekerjaan lain dengan gaji yang lebih memadai. Beruntung, kantor di tempat Dewa bekerja sedang membuka lowongan besar-besaran. Atas informasi dari ibu Dewa pula, Kanaya akhirnya mengajukan surat permohonan kerja dan dalam waktu singkat kabar baik menghampirinya.

Kanaya percaya, segala usaha yang dia korbankan pasti ada balasannya. Hal yang baik, sudah pasti membawa kita pada kebaikan.

"Udah ada kabar dari Adam, Na?" Arfi yang sedang bertukar pesan dengan istrinya, mengintip Kanaya dari balik ponselnya.

Saat ini mereka tengah duduk di trotoar jalan sambil menikmati sepiring siomay di pangkuan masing-masing. Kanaya yang kelaparan meminta Arfi untuk menemaninya mencari makan sebelum si Maha Julid - Dewa - datang dan memberikan mereka tugas tambahan.

"Belum, kondisi rumah lagi aman, mungkin. Jadi dia nggak ada laporan sama gue," jawab Kanaya di sela-sela kunyahannya. Sial! Saus kacang di dalam mulutnya benar-benar tipe saus yang medok dengan bahan utama kacang yang digoreng dengan tingkat kematangan sempurna. Di dalam hati Kanaya berpikir, "Apa gua tanya aja ya resep saus kacang ini?"

Arfi manggut-manggut, sehingga kaca mata bundarnya merosot turun ke pangkalan hidung.

"Lo duluan gih yang telpon mereka. Kali aja Adam segan kalo harus ngadu ini itu ke lo."

Kanaya menggigit bibir bawahnya tanda dia juga khawatir dengan kondisi ketiga adiknya di rumah.

Padahal ini bukan kali pertama Kanaya meninggalkan mereka. Namun rasanya masih tetap sama, ada kekhawatiran yang bersarang di dalam dadanya.

"Dam, gimana keadaan rumah? Is everything okay?"

Kanaya menunggu tidak sabar jawaban Adam di seberang sana. Adiknya itu memang selalu slow respon. Bahkan saat berbicara tatap muka pun Adam hanya menjawab singkat-singkat dan terkadang hanya merespon dengan anggukan kepala saja.

"Baik Mbak, cuman Koi lagi demam. Tapi sudah Adam beliin obat tadi."

"Koi dimana sekarang?" Kanaya menjawab tergesa. Dia tahu betul bagaimana ketiga adiknya kalau sedang demam. Dan respon mereka melebihi orang yang baru saja kecelakaan.

"Ada di dalam kamar, Adam suruh dia istirahat."

Kanaya tidak yakin bisa bekerja dengan tenang setelah ini. "Ya udah, mbak pulang dua hari lagi. Adam jaga Koi dan Yoga dulu. Jangan lupa minum vitamin Dam, udah Mbak siapin di lemari dapur."

Panggilan kemudian terputus. Melihat sahabatnya gelisah, Arfi secara gamblang mengusulkan "Lo coba izin pulang duluan deh sama Mas Dewa, kali aja dia izinin," usul Arfi yang langsung ditolak mentah-mentah.

"Nggak bisa, event sebesar ini nggak mungkin gue ngebebanin Mas Dewa sendirian," balas Kanaya, frustasi.

"Iya sih, atau coba lo minta tolong saudara yang lain,"

"Nggak bisa. Lo tau sendiri gue paling nggak enak ngerepotin orang lain."

Di depannya, Arfi berdecak kesal, "Ya minta tolong sesekali mah nggak apa-apa, Na. Hidup jangan terlalu mandiri. Udah kodratnya manusia itu hidup saling bergantungan."

"Lagian Mas Dewa masih manusiawi kali, Na. Nggak mungkin dia ngelarang lo pulang." Arfi masih dengan kalimat-kalimat pamungkasnya menyuruh Kanaya untuk menemui Dewa setelah ini.

"Fi, si Koi itu demam bukan mau sunat. Lo jangan heboh gitu deh, nanti gue makin panik!"

"Wah, lo tanya tu sama Mas Dewa, cowok kalo lagi demam antara hidup dan mati Na!" balas Arfi dengan suaranya yang tak kalah nyaring, sehingga penjual siomay yang duduk tidak jauh dari mereka ikut menganggukkan kepala menyetujui argumen barusan.

"Iya-iya Fi, lo mending diam deh dari pada lo yang gue bikin demam setelah ini!"






Dilema Dua HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang