08. Catering 3 Bujang

67 17 0
                                    


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Kembali ke rumah dengan sambutan tumpukan baju yang menggunung di dalam kamar mandi.

Pukul delapan pagi, Kanaya sudah sampai di rumahnya setelah sebelumnya melalui perdebatan kecil dengan Mas Dewa, perkara barang bawaannya yang terlalu banyak hingga merepotkan orang di sekitarnya.

Sebenarnya definisi merepotkan yang dimaksud Dewa adalah dengan membawa banyak barang dan posisi Kanaya yang berada lima langkah dari dia.

"Sarapan dulu Mbak, tadi Bang Adam sudah buatin nasi goreng kesukaan Mbak. Koi simpan di dalam lemari dapur." Lelaki dengan tinggi 170 senti itu berdiri memandangi Kanaya yang tampak takjub dengan kondisi di dalam kamar mandi mereka.

"Tunggu deh Koi, ini pakaian dari berapa hari sih? Kok bisa menggunung gini?" Kanaya berkacak pinggang, matanya menatap lurus ke arah Koi yang tengah bersandar pada pintu kamar mandi. Pelajar SMP itu memegang botol kuning berisi air yang baru saja dia keluarkan dari dalam kulkas.

"Sejak Mbak ke luar kota. Koi sama Bang Adam nggak sempat nyuci Mbak. Pesanan catering lagi banyak banget."

Kanaya melipat kedua tangannya di depan dada, "Emang siapa yang pesan?"

Sebab biasanya mereka hanya menyiapkan catering untuk karyawan kantor saja dan juga untuk pesanan yang masuk akan melalui Kanaya semua.

"Anak dari adiknya Pak Bambang, Mbak."

Singkatnya, keponakan.

Kanaya menghembuskan nafas pelan. Usaha catering yang sudah dia mulai dua tahun lalu cukup memiliki banyak penggemar. Beruntungnya, beberapa kantor yang memfasilitasi makan siang gratis untuk karyawannya, memilih menu catering Kanaya menjadi menu makan siang yang setiap hari Kanaya siapkan.

Usaha ini hanya melibatkan dia dan kedua adiknya saja yaitu Adam dan Koi. Dimana biasanya, Kanaya yang menjadi juru masak dan kedua adiknya yang bertugas membantu. Namun seiring berjalannya waktu, Adam dan Koi justru lebih menyukai berada di dapur. Mereka bertiga sama-sama menyukai dunia kuliner dan hal itu yang membuat bisnis ini tetap berjalan walaupun Kanaya sering bepergian ke luar kota.

"Ya udah, Mbak mau rendam pakaian dulu," ucap Kanaya.

Namun belum sempat Koi berlalu dari sana, Kanaya kembali melontarkan kalimatnya "Demam kamu sudah turun, Koi?"

Siswa Menengah Pertama itu menjawab, "Sudah Mbak, kemarin Ibu kesini. Dia yang bantu kompres Koi karena Bang Adam sibuk nyiapin pesanan catering."

Ibu yang dimaksud adalah Ibunya Dewa. Mendengar itu tentu saja membuat Kanaya menghentikan pergerakkan tangannya yang sedang memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci dan beralih menatap ke arah Koi dengan tatapan penasaran.

"Kok bisa? Kalian ke rumahnya Mas Dewa?"

Seingatnya, Kanaya tidak pernah membicarakan perihal adiknya yang sakit di depan Dewa. Hanya Arfi yang tau, tapi mana mungkin Arfi bisa sebocor itu?

Koi menggelengkan kepalanya, "Nggak, Mas Dewa yang minta Ibu datang kesini. Ibu juga taunya Koi sakit dari Mas Dewa, Bukannya Mbak yang cerita?"

Kanaya menggelengkan kepalanya, tanda dia juga kebingungan. "Nggak, Mbak nggak pernah cerita apapun sama Mas Dewa."


***


Pukul satu siang, semua pekerjaan rumah akhirnya rampung juga. Pakaian-pakaian sudah dijemur Yoga, menu makan siang kali ini Adam yang menyiapkan, sementara bagian menyapu dan mengepel sudah dikerjakan oleh Koi.

Menjadi satu-satunya perempuan di keluarga ini tidak serta merta membuatnya harus turun tangan mengurusi segala urusan rumah. Semua dibagi rata, dan itu semua atas usul Adam selaku anak lelaki tertua. Saat itu Adam berkata, "Walaupun adik-adik Mbak semuanya laki-laki, tapi kami bisa mengurus rumah dan kebutuhan kami sendiri. Jadi Mbak nggak perlu khawatir."

Kanaya merebahkan dirinya di atas sofa yang berisi ketiga adiknya. Rasanya melelahkan setelah kemarin sibuk dengan kegiatan event yang berjalan sangat padat, beradu pendapat dengan Mas Dewa dan hari ini dia masih harus menyiapkan menu catering untuk senin besok. Seolah tidak ada tanggal merah dalam kalender hidupnya.

"Mbak, kemarin mereka datang lagi," di sela-sela aktivitas menonton TV, Adam yang memang berada tepat di samping Kanaya, menyampaikan informasi itu.

Mendengar Adam berbicara tentang seseorang yang beberapa tahun ini menghantui keluarga mereka, Kanaya lantas menegakkan tubuhnya dengan jantung yang bertalu kencang. Tayangan di TV itu sudah tidak menarik lagi sekarang. Yang ada, Kanaya justru diburu oleh rasa was-was.

"Mereka nggak ngapa-ngapain kalian kan?" Tersirat nada panik dalam kalimat Kanaya barusan. Pasalnya, Kanaya lah yang biasanya menghadapi orang-orang itu dan tidak pernah membiarkan mereka bertemu dengan ketiga adiknya.

Baik Adam ataupun Koi kompak menggelengkan kepala. "Mereka cuman ngancem, ya kayak biasa lah," sahut Koi ringan.

Lagi-lagi hanya hembusan nafas pasrah yang mampu Kanaya keluarkan. Wanita itu kembali merebahkan tubuhnya. Dirasakan kedua tangannya di pijit dari arah kiri dan kanan.

"Relax Mbak, istirahat aja." Adiknya yang paling kecill datang dan mencium kedua pipi Kanaya. Disusul oleh Koi dan juga Adam.

Kanaya tersenyum dengan kesadaran yang perlahan mulai menghilang.





Dilema Dua HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang