Happy reading all!
Kedua tangan Kanaya bergetar hebat usai menerima telepon dari Mila, dua menit yang lalu. Dia baru saja sampai kantor, membagikan pesanan catering rekan kerjanya dan duduk disamping Arfi yang sedang meminum sekotak susu rasa coklat.
Semesta sepertinya sedang berbahagia hingga membuat Kanaya yang sejak bangun tidur tadi tak hentinya mengucapkan alhamdulillah di dalam hati.
Suasana Jakarta yang tidak panas, kondisi lift yang sepi dan jauh dari desak-desakan, ditambah absennya Dewa hari ini semakin menambah kadar kebahagian Kanaya yang sudah mencapai level maksimum.
"Lo kenapa sih, Na? Kesambet?"
Kanaya dengan tatapan kosongnya menjawab, "Bini Lo, Fi! Kalau ngomong suka bikin gue jantungan!"
Mendengar istrinya disebut-sebut, Arfi lantas menggeser kursinya dan secara otomatis pula mendekatkan telinganya ke wajah Kanaya. "Dia nggak ada curhat macam-macam kan?"
Kanaya menggeleng, "Nggak!"
Kembali, Arfi menodongnya, "Terus apa, Na? Lo jangan sok misterius gitu deh!"
Setelah dirasa cukup tenang, Kanaya kemudian memutar tubuhnya. Kedua netranya beradu tepat dengan milik Arfi. Ekspresi wajah Kanaya yang tegang membuat Arfi semakin dibuat gila karena penasaran.
"Ngomong Na! Lo kira kita lagi adegan ciuman apa, tatap-tatapan begini!"
"Aw!"
"Mulut lo ya, udah tau tembok kantor ini punya telinga!" Sentilan pada dahi Arfi akhirnya bisa membuat lelaki itu lebih tenang.
Sebelum itu, Kanaya menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Tadi gue ketemu teman Mila, namanya Ravika. Singkat cerita dia nyobain masakan gue, dan barusan Mila ngabarin kalau Ravika mau langganan catering gue untuk menu di panti asuhan milik dia."
Kepala Arfi yang semula berada tepat di depan hidung Kanaya, secara spontan langsung bergerak mundur sembari berteriak. "Ya Alhamdulillah dong, Na! Kok muka lo malah nggak senang gitu! Lagian anak panti paling isinya cuman dua puluh orang."
Ucapan Arfi yang sekeras klakson truk kuning membuat hampir seluruh pasang mata memandangnya keheranan.
Disamping itu, Dugaan Arfi mengenai jumlah anak panti disana jauh dari kata benar. Kanaya menggeleng, "Seratus Fi, ada seratus porsi yang harus gue siapin."
"Bercanda lo! Mana ada panti isinya seratus anak!" Telunjuk Arfi dengan bebas mendorong kening Kanaya.
"Ya itu dia! Masalahnya gue cuman bertiga. Mana adik-adik gue mau ujian lagi!"
Arfi tak lagi menyahut. Kini dia tahu apa yang menyebabkan Kanaya begitu frustasi menerima orderan ini. Bukan tidak senang, malahan Kanaya senang bukan main karena masakannya bisa dipercaya dalam jumlah yang sangat banyak.
Namun kondisi di dapurnya yang tidak memungkinkan membuat Kanaya harus memutar otak mengatur ini semua.
Secepatnya, dapur harus memiliki setidaknya dua tenaga tambahan yang akan membantunya mengurusi bisnis katering ini.
Kanaya tidak menyangka, dengan berharapnya bisnis ini akan maju maka harus ada tenaga baru pula yang membantunya.
Sementara kedua anak manusia itu masih asik berpikir, ponsel Kanaya yang semula berada di atas meja kini berdering menampilkan nama Dewa di atas sana.
***
Ada banyak sekali kebetulan yang bisa terjadi di dunia ini. Seperti halnya bertemu dengan tujuh kembaran kita yang tersebar di seluruh belahan bumi. Adalah hal yang mengejutkan sekaligus menyenangkan.
Namun, Kanaya tidak menyangka akan bertemu Ravika yang tengah berdiri di depan halaman rumahnya dan sosok Dewa serta Baskara yang tengah duduk di bangku panjang, saling beradu tatap seolah ini semua telah direncanakan.
"Vika?" Mas Dewa bangkit berdiri. Langkahnya pelan menghampiri Ravika yang hanya diam di samping mobil miliknya.
Wanita itu terlihat kikuk. Sorot matanya tampak menghindari Dewa yang secara terang-terangan menghujamnya dengan tatapan penuh kerinduan.
"Aku mau ketemu Kanaya," balas Ravika dengan nada suaranya yang pelan.
Kanaya yang sejak tadi hanya berdiri mematung, semakin dibuat bingung saat Ravika berjalan melewati Baskara dan berhenti tepat di hadapannya.
Ravika tersenyum, ekspresi itu adalah sesuatu yang Kanaya yakin merupakan salah satu keinginan Dewa saat ini.
"Lo udah dengar dari Mila kan soal rencana catering itu?"
"Udah Vik, jujur gue kaget banget. Tapi, kayaknya gue belum bisa pastiin kalau gue mampu."
Ravika tersenyum maklum, "Nggak apa-apa. Nggak usah sekarang."
"Serius?" Kanaya semakin dibuat takjub dengan sosok wanita yang berada di depannya saat ini. Bukannya mendesak, Ravika justru terlihat seperti memberikan ruang pada Kanaya untuk mencerna ini semua.
Sementara itu, Ravika tertawa, "Iya, gue ngerti kok kalau lo ngerjain bisnis ini cuman bertiga sama adik lo. Gue kesini cuman mau ngasih saran, kebetulan gue ada kenalan yang suka sama hal-hal kayak gini. Barangkali lo perlu cepat, mereka siap ngebantu."
Baskara yang sejak tadi hanya mendengar, kini ikut bersuara. Lelaki yang masih mengenakan kemeja biru lengan panjang itu perlahan mendekati Kanaya dan menyentuh bahunya pelan. "Coba dulu aja Na. Siapa tau mereka cocok bantu kamu disini."
Mendengar itu, secara tiba-tiba pula Kanaya beralih menatap Dewa yang tengah berdiri di posisi Ravika tadi. Lelaki itu sepertinya mendengar pembicaraan ini, dan entah bagaimana, namun melihat respon Mas dewa yang menganggukkan kepalanya seolah memberikan Kanaya sedikit keberanian.
"Thanks untuk bantuannya Vik. Kebetulan besok minggu, kalau mereka nggak ada kegiatan bisa datang ke rumah gue."
"Pasti!" Ravika menganggukan kepalanya penuh semangat. Dia bahkan sampai menautkan kedua telapak tangannya pada Kanaya dan kembali berucap, "Gue yakin bisnis lo bakal berkembang cepat, Na!"
"Aamiin. Makasih banget udah percaya sama masakan gue, Vik!"
"Masakan lo layak untuk dikenal semua orang, Na!" usai mengatakan itu, tak lama Ravika melirik jam di pergelangan tangannya.
"Kalau gitu gue balik ya. Sorry ganggu waktu kalian!"
Baik Baskara maupun Kanaya kompak mencegah Ravika dan memintanya untuk tinggal lebih lama lagi.
Dan seperti yang bisa Kanaya duga. Wanita itu terlihat canggung berada satu ruangan dengan Dewa. Kanaya mengerti, namun mengingat ini kali pertama mereka semua berkumpul, maka dari itu Kanaya berinisiatif akan membuatkan makan malam untuk mereka semua.
Ditengah rayuan Kanaya untuk mencegah Ravika pulang, tiba-tiba saja Mas Dewa mendekati mereka. Sesampainya di hadapan Ravika, masih dengan tampangnya yang sayu, lelaki itu berkata, "Jangan pulang dulu ya?"
Untuk kali pertama, Kanaya bisa melihat tatapan memohon itu pada diri seorang Dewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilema Dua Hati
ChickLitKanaya harus mempertahankan rumah milik kedua orang tuanya. Dengan segala hutang yang ditinggalkan, juga tanggungan hidup berupa tiga orang adik laki-laki yang masih dibawah umur. Kehidupannya menjadi seorang staff marketing tak cukup membuatnya men...