Saat ini Kanaya jelas tidak memiliki keberanian apapun untuk menolak perintah Dewa ataupun mendebatnya dengan alasan-alasan yang sebenarnya cukup logis. Berada di luar jam kerja seharusnya bisa Kanaya nikmati tanpa adanya gangguan soal pekerjaan atau siapapun yang berhubungan dengan pekerjaannya.
"Mbak, dicariin Mas Dewa." Sebuah pesan singkat yang mampir di laman notifikasi ponselnya sontak membuat Kanaya menghembuskan nafas kesal yang kentara sekali.
Dihadapannya, Baskara tentu kebingungan "Kenapa, Na?"
Gelengan kepala Kanaya justru membuat Baskara semakin tidak mengerti.
"Sorry banget, tapi gimana kalau kita pulang sekarang, Bas?"
"Kenapa Na? Bukannya kamu suka disini?"
"Banget, tapi malam ini ada urusan urgent yang harus aku selesaikan," jawab Kanaya yang jelas berisi kebohongan.
"Masalah kerjaan?" Kedua tangan Baskara bertumpu di atas meja dengan telapak tangan saling bertaut. Lagi-lagi Kanaya mengangguk. Raut wajahnya terlihat seperti orang yang kesal namun di satu sisi juga terlihat panik.
Lelaki dihadapannya kini bangkit berdiri. Tidak ada raut kesal yang tercipta, justru sebuah senyuman hangat dan kalimat penenang yang berbunyi, "Kita pulang sekarang. Kabari aku kalau kamu butuh sesuatu."
Dan berakhirlah kencan malam itu.
Kanaya harus merelakan dirinya berdiri menghadap mobil Baskara dengan tangan yang melambai pelan. Kaca mobil sejak tadi diturunkan dan menampilkan ekspresi menawan Baskara dari balik kemudi.
"Istirahat yang cukup ya, Na," ucap Baskara.
"Kamu juga Bas, makasih juga untuk traktirannya malam ini. Aku senang banget!"
Baskara mengulum senyum. Lelaki itu lalu mencondongkan kepalanya keluar dari jendela dan menumpukan kedua tangannya sebagai alas dengan tanpa sekalipun berpaling dari sosok Kanaya di hadapannya. "Sama dong. Eh tapi, akan ada traktiran episode berikutnya. Aku harap kamu nggak keberatan."
Beribu kupu-kupu seperti beterbangan di dalam perut Kanaya. Lelaki di hadapannya ini pandai sekali membuat Kanaya salah tingkah. Dengan senyum yang malu-malu, Kanaya sudah bersiap untuk membuka mulut sampai akhirnya sosok yang tidak diharapkan datang berjalan menghampiri mereka.
"Loh, kalian sudah pulang?" Kalimat sederhana yang membuat Kanaya nyaris melempar Dewa dengan tabung gas elpiji di rumahnya, jika saja tidak ingat bantuan apa yang sudah diberikan lelaki itu padanya hari ini.
Kanaya tau betul motif dibalik kedatangan Dewa.
Secara tiba-tiba pula, bahunya kini dilingkari oleh lengan lelaki itu. Pandangan Baskara yang semula fokus pada wajah Kanaya, kini beralih ke arah tangan Dewa yang bertengger manis di bahu wanita pujaannya.
Baskara yang melihat itu tentu saja ingin menegur Dewa namun mengingat statusnya yang bukan siapa-siapa, atau lebih tepatnya belum memiliki status, hanya bisa membiarkan Dewa bersikap demikian.
"Mas, tangannya loh. Calon pacar aku nanti batal suka gimana?" bisik kanaya namun sama sekali tidak mendapat tanggapan.
Melihat Dewa yang tak kunjung menurunkan lengannya, Kanaya pun dengan cepat menggeser tubuhnya hingga kini bahunya bisa terbebas.
"Ya udah Bas, kamu hati-hati ya. Kabarin aku kalau sudah sampai nanti."
"Perhatian banget sih Na. Kita mah cowok nggak perlu dikhawatirkan gitu ya bro. Lebay nih si Kanaya!" Memukul orang adalah sebuah kejahatan, apalagi memukul orang yang sudah membantu kita jelas merupakan dosa besar.
Maka dari itu, Kanaya hanya tersenyum menampilkan deretan giginya sembari memberikan kode pada Baskara untuk cepat-cepat pergi dari sini.
Sepeninggalnya Baskara dari sana, barulah tanduk-tanduk yang sejak tadi Kanaya kubur dalam-dalam akhirnya bermunculan. "Mas apa-apaan sih? Kalau Baskara mikir yang aneh-aneh gimana! "
Dewa mencela, "Aneh apaan sih Na. Biasa aja padahal." Lelaki itu kemudian melangkahkan kakinya ke arah bangku panjang yang letaknya persis di depan jendela kamar Adam. Ada meja kecil juga yang biasa mereka gunakan untuk tempat menaruh cemilan ketika berkumpul.
"Ya tadi, pakai rangkul-rangkul segala! Pokoknya Mas nggak boleh gitu lagi ya kalo di depan Baskara. Bisa runyam nanti masa PDKT aku!" Kanaya menyusul Dewa dan ikut duduk di samping lelaki itu. Wajahnya terlihat memerah, kedua tangannya bersilang di depan dada.
"Bercanda doang sih Na. Itu juga untuk ngetes si Baskara. Dia beneran suka kamu atau cuman mau main-main aja." Kanaya tak menggubris. Kalau sudah begini, Dewa tau solusinya.
"Daripada kamu bete, mending pikirin cara gimana dapetin uang tiga ratus juta itu."
Dalam sekejap, ekspresi kesal Kanaya berubah menjadi panik dan dengan segera memutar posisi duduknya hingga kini bertatapan langsung pada Dewa.
Memang kalau sudah menyangkut hutang, Kanaya yang sedang tidur pun bisa langsung terjaga sangking menakutkannya itu semua.
"Aku mau promosiin catering aku ke beberapa kantor di dekat sini, Mas. Sambil aktifkan akun sosial mediaku lagi."
Dewa manggut-manggut. Menurutnya itu ide yang bagus. Mempromosikan produk di era digital saat ini memang wajib dilakukan para pebisnis manapun.
"Bagus. Kerjain yang benar ya Na. Pajero aku taruhannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilema Dua Hati
ChickLitKanaya harus mempertahankan rumah milik kedua orang tuanya. Dengan segala hutang yang ditinggalkan, juga tanggungan hidup berupa tiga orang adik laki-laki yang masih dibawah umur. Kehidupannya menjadi seorang staff marketing tak cukup membuatnya men...