Kanaya ingin pulang saja rasanya ketika melihat wajah penuh kekecewaan yang dilayangkan oleh rekan kerjanya saat melihat dirinya datang tanpa membawa kantong berisi pesanan mereka.
Beberapa bahkan terang-terangan mengeluhkan hal ini sebab mereka tidak menyiapkan bekal apapun untuk makan siang nanti.
"Yah Na, kalo tau gitu gue bawa nasi dari rumah deh!"
Kanaya meringis pelan, ini semua karena sakit maag-nya yang tidak tertolong lagi.
"Maaf banget, perut gua sakit semalam."
Namun apapun itu alasannya, mereka semua tidak lantas memaklumi kondisi Kanaya. Bahkan yang paling membuat Kanaya kena mental adalah para jajaran atasannya yang hanya tersenyum simpul saat Kanaya memohon maaf.
"Gue lebih baik dimarahi daripada disenyumin gitu, Fi!" ucap Kanaya dengan kedua tangan menutupi wajahnya.
Jika saja tatapan kecewa para pelanggan pertama Kanaya berupa laser, sudah dipastikan baju yang Kanaya kenakan sudah bolong di segala sisi. Punggungnya terasa panas bak terbakar dalam rasa malu.
Alhasil Kanaya hanya bisa meringis pelan sembari terus melayangkan permintaan maaf.
"Na, coba deh dicek lagi. Dokumen yang kamu kerjain masih ada salahnya loh!" Mas dewa tiba-tiba datang dan melempar kertas yang pagi tadi Kanaya berikan.
Mendengar suara Dewa, Kanaya lantas menurunkan kedua tangannya dan benar saja kedua matanya melihat Dewa yang kini bersedekap dada.
"Maaf Mas, nanti aku cek lagi."
Mas Dewa menghembuskan nafas kasar, "Masa itu doang kamu salah sih Na, kamu udah bertahun-tahun loh di divisi ini." Dengan suaranya yang tinggi, Mas Dewa berhasil menciutkan seluruh mental Kanaya yang tersisa.
Kanaya bersumpah, pagi ini adalah hari tersial yang dia alami.
Kehilangan respect pelanggannya dan sekarang Kanaya harus dimarahi di depan rekan kerjanya yang lain.
"Aku nggak mau tau Na, setengah jam lagi harus sudah beres semuanya!" Mas Dewa berlalu pergi. Bahkan hingga sosoknya tak lagi terlihat disana, dadanya masih terasa sesak.
Sekali senggol saja, Kanaya berani jamin air matanya akan tumpah detik itu juga.
"Tuhan, nggak enak banget punya hutang budi sama orang! Aku nggak bisa cakar muka dia kalau lagi marah," batinnya di dalam hati.
Dengan jantung yang masih bertalu hebat, Kanaya segera mengerjakan file yang diminta Dewa barusan. Sekuat tenaga kanaya mengumpulkan konsentrasinya yang sempat terpecah, beruntungnya ada Arfi yang bersedia membantu.
"Its okay, Na. Kita semua pernah dimarahi di depan umum," ucap Arfi mencoba menenangkan.
"Gua tolol banget Fi, kerjaan gini doang masa bisa salah!" Jemari Kanaya sibuk menari diatas keyboard, kedua matanya fokus pada kalimat yang tertera di sana. Sesekali Kanaya menggelengkan kepalanya saat melihat hal yang janggal dan segera memperbaikinya.
Hingga setengah jam berlalu, Dewa kembali datang dan menodong hasil kerjaan yang tadi diminta.
"Gimana, udah siap?"
"Sudah Mas," Kanaya menyerahkan dokumen itu dan terlihat Dewa tengah mempelajari isi di dalamnya.
Tidak berselang lama, akhirnya Dewa menganggukkan kepala, "Oke, udah pas. Terimakasih Na."
Tanpa menunggu Kanaya membalas ucapan itu, Dewa sudah berlalu pergi dari hadapannya.
"Gimana kalau mereka nggak mau pesan catering gue lagi Fi?" tanya Kanaya dengan pandangan mata menerawang pada jendela kantor yang menampilkan suasana gedung-gedung tinggi di kota Jakarta.
Suasana di luar sangat cerah. Matahari tampak bersinar terang, pun siklus udara yang tampak membaik hingga pemandangan hijau di depan sana berhasil menenangkan hati Kanaya yang tengah gelisah.
Arfi menghela nafas pelan, ketikan pada keyboardnya lantas berhenti dan kemudian melirik Kanaya lewat ekor matanya.
"Nggak ada jaminan Na. Yang penting lo sudah minta maaf, dan menurut gue alasan lo masuk akal kok. Jadi nggak usah terlalu dipikirin, fokus sama apa yang ada di depan lo sekarang. Perkara mereka tetap mau langganan catering atau nggak ya itu pilihan mereka."
"Gua nggak enak kecewain mereka. Apalagi tadi muka Pak Edward datar banget." balas Kanaya dengan kedua tangan bersedekap dada dan punggung yang menyender pada kursi.
Wanita itu kembali melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih lirih. "Gua ngerasa bersalah banget, Fi!"
"Nggak apa-apa Na, apa perlu kantor bini gua pesan cateringnya sama lo?"
"Nggak Fi, eh tapi boleh juga tuh. Gua bakalan datang kesana dan kasih tester ke mereka."
Arfi mengibaskan sebelah tangannya, "Halah nggak usah pakai tester segala. Mila pasti udah langsung rekomendasiin masakan lo ke pegawai dia."
Buru-buru Kanaya menggelengkan kepalanya, "Jangan, jangan gitu! Gua mau mereka ngerasain dulu masakan gua."
"Yaelah Na, ribet amat! Yang penting mereka pesan, udah gitu doang!"
"Denger ya Arfi, wahai kembaran harry potter yang ketujuh belas! Masakan gua itu adalah seni, dan gua mau orang lain menghargai seni gua. Mereka pesan karena mereka suka, bukan semata gua butuh duit doang!"
"Susah ngomong sama lo Na. Hidup lo terlalu ribet!"
Kanaya tak membalas kalimat tersebut, yang ada dipikirannya saat ini adalah rencana menyiapkan tester untuk kantor Mila besok."
Sementara waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang, para karyawan disana mulai menghilang satu persatu dari kubikel masing-masing. Mereka semua akan pergi makan siang tanpa catering yang Kanaya janjikan kemarin.
Beberapa yang melewatinya masih terlihat mengomel namun juga ada yang tersenyum maklum. Lagi-lagi perasaan bersalah itu menghinggapi rongga dadanya.
"Perhatian semuanya, aku tunggu di restoran bawah ya. Kita makan siang disana."
Kepala yang semula tertunduk itu kemudian tegak tatkala mendengar suara Dewa yang berteriak dari ujung pintu masuk. Lelaki itu berdiri dengan kedua tangan berada di dalam saku dan pandangan yang menatap satu persatu karyawan disana.
Kanaya mengerutkan kening, tidak biasanya Dewa bersikap seperti itu.
"Loh, Mas Dewa lagi ulang tahun?" tanya Arfi dari posisi duduknya. Pria berkacamata itu bahkan sampai menyenggol lengan kanaya seolah mengatakan "Bos lo kesambet apaan, Na?"
"Oh itu," Mas Dewa tampak ragu menjawab pertanyaan Arfi barusan, namun sedetik kemudian "Iya aku ulang tahun. Yuk, aku tunggu di restoran bawah ya semuanya!"
Spontan, seluruh karyawan yang ada disana berteriak heboh dan pemandangan wajah mereka yang bahagia terekam jelas dalam ingatan Kanaya "Asik makan siang gratis! Nggak apa-apa deh nggak jadi makan catering kanaya. Toh sudah ada gantinya, traktiran dari Mas Dewa!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilema Dua Hati
ChickLitKanaya harus mempertahankan rumah milik kedua orang tuanya. Dengan segala hutang yang ditinggalkan, juga tanggungan hidup berupa tiga orang adik laki-laki yang masih dibawah umur. Kehidupannya menjadi seorang staff marketing tak cukup membuatnya men...