Ada banyak pasang mata yang menonton kejadian sore itu di halaman depan rumah Kanaya. Beberapa barang seperti TV, kulkas, lemari kaca dan beberapa barang berharga lainnya satu persatu diangkut ke atas sebuah mobil pick up putih dengan pemandangan Yoga yang menangis.
"Pak, tolong jangan diambil. Saya akan melunasi hutang-hutang itu, tapi kasih saya waktu!"
Seorang lelaki paruh baya dengan pakaian parlentenya tersenyum mengejek dari dalam mobil. Kaca jendela diturunkan, terlihat sosok Pak Tua yang tengah bersandar dengan rokok yang terselip di jari tangan. "Kelamaan Kanaya, hutang orang tua kamu itu sudah menggunung, mau pakai apa kamu membayarnya?"
Terdengar pula tawa menggema dari kacung-kacung sialan Pak Tua itu. Mereka tetap saja bergerak mengangkut barang-barang Kanaya ke atas mobil tanpa memperdulikan hadangan dari Koi dan Adam.
Kanaya sendiri sudah terduduk lemas. Hutang itu berkisar tiga ratus juta. Bahkan dengan diangkutnya barang-barang di rumahnya, itu semua masih belum cukup untuk membayar hutang beserta bunga yang sudah setinggi puncak gunung.
Setengah mati Kanaya memohon pada Pak Tua untuk memberikannya tambahan waktu. Namun seperti yang sudah-sudah, hanya makian yang dia terima. Kanaya cukup sadar diri, hutang yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya memang sangat amat banyak. Dan untuk bertahan sampai detik ini saja Kanaya sudah bersusah payah dengan memangkas waktu tidurnya.
Wanita itu tidak tahu lagi harus bagaimana. Terlalu banyak kenangan berharga di rumah ini.
Di tengah himpitan masalah yang kini Kanaya hadapi, sebuah kalimat yang sungguh tidak bisa Kanaya prediksi datang dari arah belakangnya. Jelas, Kanaya mengenal suara itu.
"Ambil mobil saya sebagai jaminannya."
Hampir saja Kanaya mau bersujud di kaki Pak Tua, namun tarikan Dewa pada bahunya membuat Kanaya kini berada persis menghadap punggung lelaki itu. Bisa-bisanya Dewa menawarkan mobil yang dia beli dengan susah payah hanya untuk jaminan hutang-hutangnya?
Ini pasti karena efek demam.
"Mas, nggak! Aku nggak mau Mas terlibat dalam masalah aku." Kanaya menarik baju Dewa, memintanya untuk tidak mengiyakan tawaran Pak Tua yang rasanya tidak masuk akal.
Sungguh dia menyukai bekerja bersama Dewa namun beberapa dari tingkahnya terkadang membuat Kanaya murka dan ingin mencari bos yang lain. Dan membiarkan Dewa membantunya saat ini sama saja dengan Kanaya menyerahkan kehidupannya. Sederhananya, Kanaya jelas tidak akan berani berargumen ataupun bermasalah lagi pada Dewa.
Si Pak tua kemudian melirik ke arah mobil hitam yang terparkir di halaman rumah Dewa. Dengan senyum yang lebar, Pak Tua membuang puntung rokoknya ke luar mobil dan menunjuk Dewa serta Kanaya sembari mengatakan, "Waktu kalian lima bulan. Lewat dari batas itu, mobil ini menjadi milik saya."
***
"Ini gila Mas, nggak mungkin aku bisa kumpulin uang tiga ratus juta itu dalam waktu lima bulan!"
"Bisa Na, aku juga nggak rela mobil kesayangan aku dipakai Bapak Tua alay itu!"
Kanaya meremas rambutnya yang panjang. Kondisi ini semakin sulit. Mereka tidak memiliki banyak waktu untuk mengumpulkan pundi-pundi uang hanya dengan mengandalkan gaji dan catering saja.
"Atau aku jual aja rumah ini, dan cari kontrakan yang lebih murah?" usul Kanaya yang langsung ditolak mentah-mentah oleh lelaki dihadapannya.
"Jangan Na, gila kamu! Cuman ini satu-satunya tempat untuk mengenang orang tua kamu." Dewa menggelengkan kepalanya. Masalahnya, Kanaya sudah tidak memiliki opsi lain lagi untuk mencari pekerjaan sampingan dengan upah yang besar.
Sementara para manusia dewasa ini membahas bagaimana cara untuk melunasi hutang-hutang itu, ketiga adik Kanaya dibiarkan berada di ruang TV. Kanaya tidak ingin, karena masalah ini ketiga adiknya tidak fokus sekolah dan malah asik membantunya mencari uang.
Baginya, pendidikan adalah nomor satu. Kanaya juga tidak tega jika harus mematahkan impian ketiga adiknya yang selalu bersemangat jika membahas dunia perkuliahan.
"Aku mau mereka kuliah Mas, tapi dengan kondisi sekarang apalagi Adam yang sebentar lagi akan lulus sekolah semakin membuat aku kecil harapan."
Kanaya kemudian melanjutkan, "Apa aku open BO aja Mas?"
"Ngawur, Na!" sebelah tangan Dewa dengan lancang menjitak kening Kanaya. Ada yang salah sepertinya dengan kabel di dalam otak wanita ini.
"Ya terus harus gimana Mas?" Kanaya menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Merasa malu dengan usulnya sendiri. Sial! memang disaat seperti ini setan lincah sekali menggoda hambaNya.
"Ya nggak open BO juga, Na! Hutang sih bakalan lunas, tapi kamu abadi dalam neraka, mau?"
"Nggak deh Mas, skip!"
Dewa kemudian membuka jendela kamar Kanaya dan menatap rumahnya dari dalam sini. Kepala lelaki itu belum sembuh akibat demam dan sekarang dia harus memikirkan cara bagaimana pajero kesayangannya bisa kembali.
Ditengah rumitnya pikiran Dewa, kedua netranya teralihkan oleh pemandangan sesosok lelaki tinggi dengan pakaian formal keluar dari dalam mobil hitam yang terparkir tepat di halaman depan rumah Kanaya. Dewa sama sekali tidak rabun jauh, dan dari dalam kamar ini dia bisa memastikan bahwa apa yang matanya lihat itu benar.
"Na, bukannya itu Dokter yang di rumah sakit waktu itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilema Dua Hati
Chick-LitKanaya harus mempertahankan rumah milik kedua orang tuanya. Dengan segala hutang yang ditinggalkan, juga tanggungan hidup berupa tiga orang adik laki-laki yang masih dibawah umur. Kehidupannya menjadi seorang staff marketing tak cukup membuatnya men...