29. Sebelum matahari terbit

19 4 0
                                    

"Ini uang yang ku janjikan, dan aku akan memberimu tiket sekali jalan ke luar negeri beserta rumah yang bisa kau tempati selama di sana. Asalkan kau melakukan satu hal lagi untukku." Orang itu mengulurkan amplop berisi uang yang langsung di terima Jeremy, Ia menatap orang yang berdiri di hadapannya dengan tatap ingin tau.

"Apalagi yang kau inginkan?"

"Perubahan rencana." Katanya. Jeremy menautkan dahi, menatap tidak mengerti.

"Apa?"

"Buat wanita itu menyusul orang tuanya dengan cara yang sama seperti yang orang tuamu pernah lakukan kepadanya." Terang sosok di depannya dengan tatapan datar. Jeremy tertegun, menggeretakkan gigi.

"Buat senatural mungkin, sampai tidak akan ada yang berpikir kalau itu disengaja." Senyumnya.

"Setelah itu kau bisa pergi, hidupmu akan terjamin dan tidak akan ada yang bisa menjangkaumu setelah kau meninggalkan tanah air."

Jeremy diam, menatap amplop tebal di tangannya lalu kembali beralih menatap sosok dihadapannya.

"Itu saja?" tanyanya, orang itu mengangguk lalu berlalu meninggalkannya. Menyisakan Jeremy yang berdiri menatap punggung sosok yang melangkah menjauh keluar dari pintu.

🌻

"Kenapa jalanmu seperti itu?" tegur Jeremy saat Cora melangkah dihadapannya dengan langkah tersendat dan satu tangan memegangi perut kiri, gadis itu menghentikan langkah dan balas menatap Jeremy yang duduk di sofa.

"Menurutmu? Kau pikir badanku ini karung yang bisa kau lempar dan pukul sembarangan? Harusnya kau membiarkanku ke dokter dulu sebelum menculikku ke sini." Keluh Cora, Jeremy menautkan dahi.

"Menculikmu? Siapa yang menculik? Lagi pula apa jaminannya kau tidak akan kabur dengan alasan pergi ke dokter?"

"Ini rumahku, aku bisa lari kapan saja tapi aku tidak melakukannya. Bagaimana kau berpikir aku akan kabur?"

"Ya ini rumahmu, itu berarti aku juga tidak sedang menculikmu!" Jeremy tidak mau kalah. Cora menatapnya dengan tatapan marah lalu kembali berjalan dengan langkah di seret-seret. Berbicara dengan Jeremy sama saja meladeni orang gila.

"Duduk."

"Apa lagi?" Cora menoleh dengan raut jengah, sementara Jeremy menepuk sofa disebelahnya.

"Kubilang duduk!" katanya setengah berteriak, gadis itu menggigit bibir menahan amarah lalu menurut menghampiri Jeremy dan duduk di sebelahnya.

"Tunjukkan perutmu."

"Huh?"

"Kubilang tunjukkan perutmu bodoh!"

"Kau memang gila! Tidak mau!" Cora hendak bangkit tapi Jeremy menahannya dan menyingkap baju Cora, lalu tertegun menatap memar besar keunguan di perut kiri hingga ke pinggang Cora, dan juga membengkak.

Pria itu mengangkat wajah dan bertemu dengan wajah Cora yang balas menatapnya dengan raut menahan tangis, gadis itu kembali menarik bajunya menutupi perut.

"Sekali lagi kau bertindak kurang ajar, aku akan memukulmu!" peringat Cora tidak main-main, Ia membuang muka karena tidak mau menunjukkan wajahnya yang nyaris menangis.

Jeremy menghela napas, meliriknya. Ia sadar memar di tubuh gadis itu cukup parah, dan tentu saja pasti sakit sekali. Sepertinya memar saat Jeremy melemparnya dan terbentur sudut sofa?

Tapi apa pedulinya? Ia yang memberikan luka-luka itu pada Cora. Ia yang menciptakan memar di wajah dan tubuh sepupunya itu.

"Dulu kau tidak seperti ini," ujar Cora tanpa menatap Jeremy.

Our Lost Memories Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang