Fase 36. Okaeri

12 1 3
                                    

Hampir 2 bulan telah berlalu tanpa kehadiran Keila, Haru yang duduk sendiri dikelasnya kadang termenung melihat kursi kosong disebelah kirinya, tidak ada lagi yang berisik saat jam pelajaran atau mengekorinya ke perpustakaan.

Suasana yang tenang tapi bukan kedamaian itulah yang hati Haru sedang rasakan, ketenangan ini sangat mencekam seakan sebuah sinyal bahwa mungkin Keila tidak akan pernah kembali lagi ke sekolah.

Hari - hari sepi tanpa Keila serasa menakutkan karena Haru merasa dirinya belum bisa memberikan pengalaman yang baik dan menyenangkan sebagai seorang teman kepada Keila disisa hidupnya.

Esok atau lusa seakan membuat Haru ingin menutup telinganya agar tidak ada kabar buruk tentang Keila sampai ditelinganya. Haru tidak ingin memiliki rasa bersalah terhadap Keila, setidaknya Haru ingin akhir yang baik untuk Keila.

Di hari sabtu sore tiba - tiba saja Chacha menghubungi Haru untuk menemaninya ke rumah sakit tempat Keila dirawat, melalui ponsel keduanya saling berbicara.

"Besok aku akan membawakan roti kesukaan keila jadi tolong temani aku menemui keila!"

"Apa tidak masalah?"

"Masalah apa?"

"Membawa makanan untuk pasien yang tidak dirawat. kata suster ester keila sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri semenjak pingsan di sekolah."

"Lantas!!!"

"Lantas untuk apa membawa roti untuknya!"

"Kamu takut yaa?"

"Takut?"

"Takut Keila tidak akan kembali kan..."

Air mata keluar dari kedua mata Haru, sudah seminggu lebih ini Haru tidak datang ke rumah sakit karena takut jika Ia ke rumah sakit akan mendengar kabar buruk tentang Keila.

"Jangan bilang seperti itu!"

"Maaf, aku mungkin baru banget kenal sama keila tapi aku kenal cukup lama denganmu jadi mari sama - sama kita lihat keadaannya keila."

",,,,,,,,,"

Haru diam tidak menjawab apa - apa, dirinya perlahan menangis karena takut menghadapi takdir didepannya. Memeluk kedua lutut kakinya, Haru yang bersandar pada pinggiran ranjang tempat tidurnya meletakan ponselnya dalam mode Loudspeaker begitu saja di atas lantai.

Takut sekaligus tidak dapat berkata apa - apa lagi, Haru mendiamkan telepon dari Chacha yang masih tersambung. Haru mengakui dirinya lemah, perasaannya tak kuasa jika harus mendengar Keila sudah tiada.

"Haru kenapa diam?"

",,,,,,,"

"Baiklah aku tunggu pukul sembilan pagi di halte depan rumah sakit, jika kamu tidak datang aku akan pergi sendirian. Selamat sore!"

Chacha menutup teleponnya, Ia tidak sedang menakut - nakuti Haru tapi sedang berusaha menolong Haru dari keterpurukannya. Haru tidak boleh nge-Down, Ia harus berusaha sekalipun harus ikhlas kehilangan Keila.

Ucapan Keila yang seakan kematian itu adalah hal sederhana yang selalu terngiang dikepala Haru, kehilangan tidak bisa begitu saja terlupakan dalam benak yang sudah memiliki ingatan dan kenangan yang amat dalam.

Terukir jelas kenangan bersama Keila dalam hati Haru, sndai saja Haru tidak tahu soal penyakit Keila mungkin rasa kehilangan dalam dirinya tidak sedalam ini. Atau andai haru bukan temannya Keila mungkin hati Haru tidak akan sesedih ini.

Haru takut, sangat takut hingga menangis sendirian dikamarnya.


*****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hati untuk KeilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang