Park 11

14 3 0
                                    

"Kenapa bisa kumat lagi?" kata Fadlan pada teman kost nya Ayla.

Gadis muda itu menaikan bahu. Mereka menemukan Ayla kacau sekali di malam hari. Suara tangisan sempat membuat para gadis itu heboh. Apalagi dalam momen malam Jumat. Meyakini kalau ada sosok dunia lain yang mengusik ketenangan mereka. Salah satu dari mereka menemukan asal suara dari kamar Ayla. Meminta tolong pada bapak kost mendobrak pintu kamar. Mereka mendapati Ayla terpuruk di sudut kamar yang hancur berantakan.

"Sebenarnya kami masih penasaran apa yang terjadi pada Ayla. Kenapa dia sangat takut? Katanya dia melihat lelaki bernama Afan di kaca. Katanya juga sosok itu penuh darah." jelas Tara, teman kost Ayla.

"Afan lagi?" gusar Fadlan. "Setelah semua ini dia masih mengganggu Ayla. Atau ini ada hubungannya dengan kasus yang dialami Ayla. Ya Allah Ayla. Tidak kah kamu lupa kalau Bu Cahyadi sudah tidak respect sama kamu. Sikap kamu yang seperti ini membuat Afan akan terus bersarang di pikiran." Fadlan menarik nafas kasar. Sudah satu bulan Ayla menjalani terapi. Harusnya kebencian itu semakin bersarang di hati Ayla. Fadlan yakin lambat laun Ayla akan melupakan kejadian itu. Melupakan sosok Afan.

"Enggak! Enggak, kak Afan! jauh dari saya! Jauh dari saya! Kamu jahat! jahat!" pekik Ayla. Fadlan langsung menenangkan Ayla yang masih histeris. Ayla masih merasa bayangan Afan masih tertawa di kaca. Wajah Afan yang berdarah-darah. Menggunakan baju tahanan dengan tangan diborgol.

"Ay, istighfar! Ay, istighfar!" Ayla sudah berada di balik dada Fadlan. Terasa tubuh gadis itu bergetar hebat. Syok luar biasa. "Ada aku, Ay. Ada aku yang selalu di sampingmu. Kamu tidak perlu takut." bisik Fadlan. Beberapa saat kemudian Ayla ambruk tak sadarkan diri.

Saat ini Ayla sudah di bawa ke kontrakan Fadlan. Kalau tetap di kost takut Ayla semakin histeris. Padahal semalam Ayla masih baiknya saja. Gadis itu kini terbaring di ranjang milik Fadlan. Lama dia menatap gadis yang masih bertahta di hatinya. Tangannya menggenggam erat. Seakan berusaha menguatkan Ayla.

Lamunannya buyar saat deringan telepon terdengar di ujung nakas. Dengan cepat Fadlan pun menerima telepon dari teman kost Ayla.

"Iya, Tara."

"Pak dokter, tadi saya lihat dari cctv ada perempuan muda yang mendatangi Ayla."

"Perempuan muda? Siapa?"

"Tidak tahu. Sepertinya setelah kedatangan perempuan itu Ayla tidak keluar kamar lagi." adu Tara. "Pak dokter kalau memang sayang sama Ayla cepat nikahi dia. Kasihan Ayla sering nangis, sering ketakutan sendiri. Kalau aku ajak nginap atau tidur di kamar dia nggak pernah di terima. Selalu bilang butuh sendiri dulu." lanjut Tara. Wajar kalau dia menebak ada sesuatu diantara Ayla dan Fadlan. Lelaki itu selalu siaga kalau urusan Ayla.

"Saya dan Ayla hanya saudara." jawab Fadlan tegas. Jawaban yang sebenarnya melenceng dari hatinya. Dia paham Ayla masih berkeras hatinya pada Afan. Walaupun selalu mengatakan benci tapi Fadlan menangkap lain di mulut lain di hati.

"Oh cuma saudara. Kirain ada hubungan spesial gitu. Yasudah pak dokter nanti saya minta sama ibu kost soal cctv tadi."

"Tidak usah. Biar saya yang kesana nanti. Terimakasih informasinya." Fadlan menutup teleponnya. Beberapa saat melemparkan pandangan ke arah Ayla. Tangan Ayla di perban menandakan ada pemberontakan. "Apa ini pertanda Afan mau kasih tahu tentang keadaannya sekarang? Sewaktu kamu telepon kemarin mengira terjadi sesuatu sama ibu. Padahal ibu baik-baik saja. Ah, kenapa kamu masih harus terhubung sama Afan. Apalagi yang sudah Afan sama kamu." Lagi-lagi Fadlan menarik nafas kasar.

"Bu, tolong titip adik saya. Dia lagi kurang sehat makanya saya bawa kesini." kata Fadlan pada ibu tetangga kontrakannya. Rumah Fadlan berdempetan empat pintu.

"Iya, pak dokter. Nanti saya jaga adiknya. Tapi beneran itu adik pak dokter." Fadlan mengangguk. "Yasudah, adik pak dokter aman sama saya." Fadlan mengucapkan terimakasih lalu menghilang bersama motornya. Sementara ibu tetangga sudah masuk ke rumah Fadlan sesuai amanat lelaki itu.

****

"Apa maksud kamu mendatangi Ayla, Rahma!" Fadlan tanpa basa-basi langsung pada pokok masalah.

"Saya hanya minta keadilan untuk kak Afan. Dia memang salah tapi kan dalam pengaruh obat. Kan Ayla tidak di renggut kehormatannya. Tapi hanya di lecehkan. Jadi kemungkinan bisa meringankan hukuman kak Afan." kata Rahma duduk di samping Afan di teras panti.

"Darimana kamu bisa tahu tempat tinggal Ayla?"

"Tidak perlu anda tahu soal itu. Saya bicara sama Ayla baik-baik. Tidak ada intimidasi jadi anda tidak perlu cemas."

"Tidak perlu cemas katamu? Ayla itu mengalami depresi dalam masa pengobatan. Dia down karena tidak ada dukungan dari kalian. Dia down saat tahu ibunya terlibat. Dia down karena di lecehkan lelaki yang dia cintai. Walaupun Afan tidak mengambil mahkotanya melainkan melecehkan seorang wanita. kamu pikir, Rahma!" berang Fadlan.

"Kalau kak Afan di hukum 10 tahun padahal dia tidak merusak Ayla. Apa itu adil? Kalau Ayla bilang sama pihak kepolisian dia tidak sampai kehilangan miliknya. Bu Cahyadi bilang hasil visum mengatakan Ayla masih perawan. Jadi kedatangan saya kesana minta dia memberi pengakuan sesuai fakta. Bu Ismi sudah mengaku kalau itu salah sasaran. Target dia pak dokter! Itu malah reaksi Ayla seperti playing victim."

"Bukankah itu belum vonis final. Keluarga Afan masih mengumpulkan bukti. Jadi jangan berasumsi hal yang belum terjadi. Jadi saya mohon jika ada sesuatu yang berhubungan dengan Ayla kamu tinggal cari saya. Jangan usik dia dulu. Dia dalam masa pengobatan."

"Pak dokter sebegitu nya pada Ayla."

"Dia saudara saya. Tentu sebagai kakak ingin melindunginya adiknya." jawaban yang tegas meluncur dari bibir pemuda itu. Rahma tentu tidak langsung percaya. Karena yang dia tahu Ayla adalah anak tunggal. "Yakin cuma saudara? saya merasakan lebih dari itu. Oke, maafkan omongan saya barusan. Tapi saya minta pak dokter bukakan pikiran Ayla. Jangan egois, dia kan pacarnya pak Afan tentu pasti ada sisa rasa. Dan maaf kalau tidak ada pembahasan lain saya punya pekerjaan yang menanti." Rahma meninggalkan Fadlan di teras panti.

Bagi Fadlan, pihak panti tidak ada rasa empati terhadap apa yang dialami Ayla. Ingatannya beralih saat Ayla memilih meninggalkan panti. Sambutan mereka datar saja.

"Kenapa mereka seperti itu?" tanya Fadlan pada salah satu pengurus panti.

"Karena mereka kecewa ketika tahu pelaku sebenarnya adalah Bu Ismi. Anggapan mereka Ayla dan Bu Ismi bekerja sama untuk merusak nama panti. Dan juga merusak nama Taufan." Sambungnya.

"Aku kenal Ayla dari kecil. Dia tidak seperti itu." Fadlan membantah tuduhan terhadap Ayla.

"Kamu kan di pihak dia wajar membela. Sedangkan kami di gaji sama Bu Saskia. Beliau orang baik dan anaknya juga orang baik. Sedangkan Ayla dan ibunya adalah orang asing. Begitu baiknya orang panti memberikan tempat tinggal pada mereka yang tidak tahu asal usulnya. Kalau kejadiannya seperti ini, mereka tidak tahu berterimakasih."

Langkah kakinya terhenti saat menerima telepon dari rumah. "Iya, Bu. Oke saya akan segera pulang." Fadlan langsung pamit pada pengurus panti.

****

"Sudah pulang, Fad. Kok cepat? Lagi tidak ada pasien ya?" cerocos Ayla sambil menyiapkan beberapa menu di meja.

"Iya, terimakasih sudah di masakin. Tiap hari aja kayak gini adem lihatnya. Aaaaawwww!" Fadlan langsung meringis setelah tonjokan mengena di bahunya. "Kau tahu, Ay. Kalau aku ada yang masakin nggak perlu pulang malam terus."

"Makanya cari." balas Ayla.

"Ada kok. Tapi kayaknya dia nggak mau sama aku." Fadlan terus mengoceh walaupun mulutnya penuh dengan makanan.

"Belum di coba kok menyerah. Di perjuangkan dong."

Fadlan menahan tangan Ayla sangat erat. Seketika gadis itu kaget, keduanya saling melemparkan pandangan.

"Kamu mau aku perjuangkan?"

Secret of Ayla Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang