Part 13

16 3 0
                                    

Beberapa Jam Sebelumnya

"Mbak?"

Ayla sudah berdiri di depan kantor polisi. Memberi kesaksian tentang apa yang dia alami. Akan tetapi setelah sampai di sana dia merasa gamang. Ketakutan demi ketakutan terus mendera jiwanya. Tangan Ayla berkeringat dingin. Seketika dia memaksa percaya diri masuk kesana.

"Mbak kalau belum siap tidak apa-apa. Lain kali saja ..."

"Aku siap, Rahma. Sudah tanggung berada disini. Ayo kita masuk. Ini yang bisa saya lakukan atas apa ibu lakukan. Saya melakukan ini juga atas kesadaran sendiri."

Ayla dan Rahma masuk ke kantor polisi. Rahma masih memandang iba pada Ayla. Dalam pandangan, gadis yang di sampingnya masih tertekan. Dia pernah dengar dari Fadlan kalau Ayla masih menjalani terapi trauma. Akibat kasus yang di panti dulu.

"Mbak yakin? kalau ada apa-apa sama mbak, Fadlan bisa marah sama saya." Rahma masih mencoba meyakinkan Ayla.

Ayla tak memperdulikan ocehan Rahma. Tanpa menunggu dia menuju tempat membuat laporan kasus. Seorang polisi mempersilahkan Ayla duduk. Sekarang dia berhadapan dengan pihak kepolisian.

"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya petugas kepolisian.

"Saya ...." Ayla menggenggam erat ujung bajunya. Tangannya merasa gemetar. Lagi-lagi dia melawan rasa takutnya.

"Saya ..." Tangan Rahma menggenggam erat jemari Ayla. Seakan meminta tidak meneruskan jika tidak kuat. "Mbak ..." Ayla hanya mengangguk sambil tersenyum.

"Saya mau membuat laporan untuk kasus saudara Taufan." suara Ayla terdengar berat.

"Oh, atas nama siapa?"

"Saya Mikayla Hidayati, saya korban pelecehan yang di lakukan saudara Afan. Saya tahu kalau yang terjadi sama kami berdua adalah jebakan dari Bu Ismi, ibu kandung saya. Saudara Afan memang melecehkan saya. Tapi dia tidak mengambil kehormatan saya."

Rahma kembali menoleh kearah Ayla. Kepala Ayla tertunduk. Tangannya terus bermain. Rahma menebak ada kegugupan yang dialami Ayla.

Ketika seseorang mengalami kekerasan seksual, maka kejadian tersebut dapat menimbulkan trauma yang sangat mendalam terutama pada anak-anak dan remaja. Tingkatan gangguan stres pascatrauma berbeda-beda, tergantung seberapa parah kejadian tersebut memengaruhi kondisi psikologis korban.

Apabila setelah terjadinya peristiwa tersebut, tidak ada dukungan yang diberikan kepada korban atau tidak mendapatkan terapi psikologis yang tepat, maka korban dapat mengalami trauma berkepanjangan yang dikenal dengan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).

"Oke, nanti akan saya beritahu pihak pengacara saudara Afan. Apakah keinginan anda untuk mencabut gugatan tidak ada paksaan dari pihak lain?"

"Ti .. dak, pak." ucap Ayla terbata-bata.

"Yakin dengan keputusan anda?"

"Ya ... Kin, Pak." dada Ayla rasanya berdegup kencang. Rasanya seperti mereka sedang berlomba-lomba untuk adu kecepatan. Keringat mengucur deras di wajah gadis itu.

"Mbak!" Ayla hanya mendengar teriakan Rahma. Selebihnya dia tidak tahu lagi.

Dilain tempat, Fadlan berlari menyusuri lorong rumah sakit menuju tempat di mana Ayla di rawat.

Karena ada pasien gawat darurat yang tidak bisa dia tinggalkan. Belum lama dia mendapat telepon dari Rahma tentang kondisi Ayla. Tentu dia sangat khawatir dengan keadaan Ayla.

"Apa yang kamu lakukan pada Ayla, Rahma!" Fadlan berang begitu tahu kalau mereka dari kantor polisi.

"Ayla menghubungi saya, dia minta di temani ke kantor polisi." Jelas Rahma.

"Oh, Ya. Tidak mungkin! kamu pasti sudah ngomong macam-macam sampai dia yang seperti itu. Kan sudah saya bilang jangan libatkan Ayla untuk urusan Afan. Dia sudah cukup menderita dengan masalah ini. dan kamu datang jadi sok pahlawan?"

Rahma hanya menundukkan kepalanya. Layaknya anak kecil yang sedang di marahi ayahnya. Dia belum mendapat sela untuk menjawab pertanyaan Fadlan. Melihat pemuda itu sangat emosi pada dirinya.

"Iya, saya salah. Maafkan saya." kata Rahma.

"Mulai sekarang jangan ungkit soal Afan pada Ayla. Mau berita duka atau berita bahagia tidak ada urusannya dengan Ayla. Karena bagi Ayla, Afan adalah musibah buat dia. Saya mohon dengan sangat, tolong kalian semua yang berhubungan dengan Afan jangan muncul di hadapan Ayla." Fadlan bersujud di kaki Rahma.

"Sekarang saya minta kamu pergi. Sebelum batas kesabaran saya habis." Fadlan kemudian menghela nafas.

"Terimakasih, pak dokter. Saya minta maaf atas apa yang dialami Ayla. Tidak ada terpikir sedikitpun untuk membuat dia seperti ini." sahut Rahma dengan suara pelan.

"Untuk yang terakhir kali saya minta. Jangan pernah kalian menemui Ayla. Kalau ada urusan dengan Ayla temui saya sebagai walinya." Rahma tidak berniat membalas Fadlan. Karena percuma bicara pada orang yang sedang panas.

"Saya tekankan satu hal, saya dan Ayla akan menikah. Jadi jangan masukkan Afan lagi dalam hubungan kami. Paham!"

Sepeninggalan Rahma, Fadlan mendaratkan kecupan di dahi Ayla. Seberani ini dia pada gadis itu. Keputusannya memperjuangkan Ayla semakin kuat. Dia tidak ingin Ayla mengenal Afan lagi ataupun keluarga lelaki itu.

"Kamu tahu, Ay. Afan itu kritis sekarang. Dan mungkin itu karma buat dia. Dan aku akan buat kamu melupakan Afan."

"Bagaimana keadaan, Ayla?" tanya Fadlan pada dokter. Karena Ayla di rawat rumah sakit lain. Bukan tempat kerjanya.

"Anda siapa pasien?"

"Saya walinya, Dok." ucap Fadlan mantap.

"Oh, Pak. Pasien mengalami demam panas. Dengan suhu tubuh 39 derajat Celcius. Untuk ukuran suhu tubuh ini sangat tinggi. Kalau bisa di rawat dulu sampai kondisinya memungkinkan. Nanti saya akan kasih resep obatnya."

"Terimakasih, Dokter."

"Bentar kalau lihat seragam anda kayaknya profesi kita tidak jauh beda. Anda dokter juga?"

"Iya, saya masih dokter honor, dok."

Setelah mengobrol karena sesama satu profesi, Fadlan kembali masuk ke kamar rawat Ayla. Tampak gadis muda itu masih terlelap indah. Wajah Ayla yang kuning Langsat tetap cantik walaupun tanpa makeup. Memang sejak dulu Ayla jarang tersapu dengan dunia skincare.

Waktu terus berjalan, langit sudah bergulir dari cahaya kekuningan hingga gelap gulita. Hanya ada bulan sabit yang menerangi dewa malam. Pemuda itu berdiri di dekat pintu masuk. Kebetulan posisi kamar berdekatan dengan jalan keluar.

Dari dalam bangsal, matanya terbuka pelan-pelan. Kepalanya terasa berat, mencoba menerka di mana keberadaannya sekarang. Lebih kaget penutup kepalanya sudah tidak terpakai. Dia meraba mencari hijabnya. "Siapa yang melepas hijabku?" batin Ayla.

"Sudah bangun?" suara bariton menyapa dirinya.

"Apa yang terjadi?" Ayla bingung sudah berada di dalam kamar pasien.

"Kamu tadi pingsan, Ay. Kan sudah aku bilang kalau kamu berat dengan kasus ini jangan di lakukan. Biarkan Afan menerima hukuman atas perbuatannya." kata Fadlan.

"Hukuman? atas perbuatannya? Kamu harusnya membantu kak Afan karena sasaran sebenarnya bukan dia. Kalau kamu yang kena apa orang lain juga akan berpikiran seperti kamu? Bisa jadi iya, Fad."

"Aku hanya mengakui yang sebenarnya terjadi. Memang kak Afan melecehkan aku, rasanya kalau ingat kejadian itu sakit sekali. Tapi kenyataannya ibu meramu obat untuk orang lain bukan kak Afan. Selebihnya aku serahkan pada pihak berwajib." kata Ayla lirih.

Secret of Ayla Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang