part 17

7 3 0
                                    

Ayla merasa tidak kuat berada di rumah sakit. Dia memilih pulang atau mungkin kembali ke kantor. Tapi pulang pun tidak mungkin apalagi kembali ke kantor. Hatinya gamang memikirkan tujuan perjalanannya. Pastinya dia tidak bisa bertahan di rumah sakit.

Ayla hendak menelepon atasannya untuk pamit pulang. Tapi pesan Panji membuatnya tidak berkutik.

"Kalau kamu merasa kenal dengan Afan. Saya minta datangi ruangannya, temui dia. Sekarang dia sudah sadar."

"Maafkan saya, Pak. Saya ada urusan urgen. Mau dia sadar atau tidak bukan urusan saya. Kalau bapak mau pecat saya karena hal ini tidak apa-apa. Saya sudah berada di mobil untuk pulang ke rumah. Sekali lagi saya minta maaf." Ayla menutup pesan singkatnya.

Tidak ada maksud dia untuk berbohong pada Panji. Untuk saat ini dia belum siap bertemu dengan Afan.

Ayla minta di berhentikan di depan halte. Kepalanya terasa pusing, pulang pun dia enggan. Tak lama mobil berhenti tak jauh dari halte terdekat. Ayla menahan dadanya yang sesak.

"Ay, kalau kamu belum sembuh benar jangan cari kerja dulu. Mental kamu belum siap untuk hal ini. Kalau ada apa-apa hubungi aku." Kata-kata Fadlan berputar dalam ingatannya.

Ayla tadinya mau menghubungi Fadlan. Sesaat dia teringat kalau sudah mengganti nomor handphonenya.

"Kalau aku hubungi dia, sama saja akan menyusahkan orang lain. Tidak, Ay. Kamu harus bisa lepas dari orang-orang di Jogja. Termasuk ibu dan Fadlan."

Gadis 25 tahun itu memejamkan mata sejenak. Melepaskan penat setelah begitu banyak masalah yang datang dalam hidupnya. Dia membuka mata pelan-pelan, melihat gedung-gedung bertingkat di sekitar kota Jakarta. Matanya terfokus pada mesjid se Asia tenggara, yaitu masjid Istiqlal.

"Pak saya turun di sini saja. Bentar lagi Zhuhur, saya mau sholat." pinta Ayla.

Ayla akhirnya turun di pelataran masjid Istiqlal. Sebuah pintu seakan menyambut kedatangannya. Pintu Al Fattah merupakan pintu utama Masjid Istiqlal yang berada di sisi timur laut. Pintu ini berada di seberang Gereja Katedral yang umumnya terbuka pada hari-hari biasa ditandai dengan kubah kecil di atas gerbang yang terlihat dari tepi jalan raya.

"Masya Allah, mereka saling berhadapan satu sama lain. Itu tandanya ada toleransi yang sangat tinggi satu sama lain.

Bapak, aku sudah di masjid Istiqlal. Dulu bapak pernah berjanji akan bawa aku kesini. Sekarang aku memenuhi janji bapak." ucap Ayla penuh haru.

***

Siang ini mata itu sudah bisa melihat di sekelilingnya. Melihat senyum seorang wanita cantik senantiasa berada di sampingnya. Senyum seorang lelaki tampan yang menjadi panutan dalam hidupnya. Sepasang wanita dan lelaki tersebut tentu saja orangtuanya. Yang sudah sabar menghadapi dirinya dengan keras kepala. Mereka juga tidak marah atas apa yang menimpanya saat ini.

Sudah satu minggu dia berada di pembaringan, bertumpu pada kursi roda. Tubuhnya masih terasa kaku untuk beraktivitas. Kata mereka dia sudah tertidur selama dua bulan. kata mereka Ayla sudah mencabut tuntutan dan dinyatakan bebas. Tapi kenapa hal itu tak membuatnya bahagia. Dia bahkan mengalami kerusakan pita suara. kata dokter sementara tak bisa bicara normal.

Ada pertanyaan yang ingin dia ajukan. Apakah dia bisa bertanggung jawab atas Ayla? Apalagi dia merasa sudah mengambil milik Ayla. Jika Ayla hamil bagaimana? pertanyaan demi pertanyaan terus mengalir dalam pikirannya.

Secret of Ayla Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang