1. Penyesalan Salisa

1.5K 73 9
                                    

"Cukup sekian rapat hari ini. Silahkan keluar."

Perintah seorang Salisa Amira kepada delapan orang yang tadinya duduk melingkari meja rapat kini serentak berdiri dan satu per satu meninggalkan ruangan itu.

Tegas dengan wajah datar tanpa ekspresi. Begitulah sosok Salisa Amira yang dikenal oleh karyawan yang bekerja dengannya di perusahaan pengelola bakat dan manajemen artis yang ia warisi dari sang ayah bernama, SA Agency. Setidaknya untuk lima tahun terakhir, seperti itulah sosok yang mereka kenal tentang Salisa.

Ibu Direktur mereka tadinya tidak begitu. Walaupun aslinya dia memang wanita pendiam tapi sebelumnya dia tidak pelit senyum, lumayan ramah bahkan sangat baik dengan orang disekitarnya. Hanya saja kejadian lima tahun lalu merubah segalanya. Sejak itu kaku dan dingin sudah menjadi image yang melekat pada wanita mandiri berusia tiga puluh dua tahun itu.

Perubahan sikap Salisa menjadikannya sangat disegani. Menatap matanya saja tidak ada yang berani apalagi mau berbasa-basi. Berbicara dengannya pun hanya urusan pekerjaan, selebihnya mereka memilih untuk diam.

"Apa jadwal saya selanjutnya, Nay?" Tanya Salisa pada sosok wanita muda berhijab yang baru saja masuk ke dalam ruang rapat.

"Siang ini ada lunch bersama Novia B dan Mas Andi untuk membicarakan konsep single Novia berikutnya, Bu." Jawab Nayla, sekretaris Salisa yang hampir tiga tahun ini setia bersamanya.

"Lalu?"

"Setelah itu Ibu free."

"Oh iya bu," lanjut Nayla lagi, "jangan lupa hari sabtu ini ibu ada arisan di The Felix jam empat sore."

Mendengar jadwalnya yang satu itu Salisa hanya meringis. Mengutuk dirinya sendiri kenapa dia bisa terlibat di-arisan aneh seperti itu.

"Oke. Thanks, Nay. Kamu boleh balik ke ruangan kamu."

"Baik, Bu."  Dan Nayla pun pergi meninggalkan Salisa yang masih betah duduk di ruang rapat.

Salisa menghela nafasnya. Heran sendiri kenapa dirinya bisa terjebak dalam sebuah arisan yang "tidak biasa". Itu semua ulah Nova, sahabatnya.

Sahabat satu-satunya yang ia miliki itu memang eksentrik sekali. Suka mengikuti kegiatan-kegiatan yang extra ordinary. Salah satunya ya arisan ini.

"Kau itu harus sering-sering bersosialisasi, Sal!" Ujar Nova dengan logat khas bataknya.

"Gue tiap hari bersosialisasi kok, Nop. Ketemu orang di kantor belum lagi harus meeting sana sini." Sanggah Salisa.

Nova memutar bola matanya, capek dengar alasan sahabatnya yang berhijab itu, "ih, maksud aku, kau itu harus bersosialisasi di luar pekerjaanmu. Masa'an mau berinteraksi sama orang lain hanya yang berurusan dengan kerjaanmu aja. Cari lah hal-hal yang lain, Sal. Sampai kapan kau gini terus?"

Pertanyaan terakhir Nova itu berhasil membuat Salisa mendelik ke arahnya. Dia paling tidak suka dan paling malas kalau pertanyaan seperti itu muncul.

Memangnya kenapa dengan dirinya yang seperti ini? Tiap hari dia berusaha menjalani pekerjaannya sebagai pemimpin dengan baik, pergi meeting kesana dan kemari demi kelancaran proyek para talent yang bernaung diagensinya. Lalu ketika urusannya selesai, Salisa lebih memilih untuk langsung pulang ke apartemennya. Mengurung diri di sana sampai pagi tiba dan mengulangi aktivitasnya seperti itu setiap hari. Tidak ada yang salah kan dengan semua itu?

Tapi tidak dengan Nova yang merasa kalau kehidupan sahabatnya itu sudah seperti robot selama lima tahun terakhir, kalau kata anak jaman now template sekali hidupnya. Untuk diajak nongkrong saja, wanita keturunan batak itu harus mengerahkan seluruh jiwa raganya agar Salisa mau ikut. Sampai akhirnya Nova mengancam akan memutuskan tali persahabatan mereka barulah Salisa bersedia mengikuti ajakan-ajakan Nova.

(IM)POSSIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang