Salisa turun dari mobil miliknya yang ia parkirkan di depan sebuah gedung tingkat tiga dengan gaya bangunan klasik modern. Di bagian atas pintu masuk yang menjulang tinggi terpampang plang putih dengan font elegan bertuliskan "SAMARA".
Saat ini Salisa sedang berada di depan butik kakaknya, Salena Amara. Mereka ada janji makan siang bersama, tidak hanya berdua tetapi dengan kedua saudara laki-laki mereka yang segera menyusul.
Salisa sedang memasukkan kunci mobil ke dalam tas hingga ia tidak memperhatikan langkah kakinya ketika tubuhnya tiba-tiba merasakan sebuah tubrukan yang cukup kuat, membuatnya hampir kehilangan keseimbangan. Untung ada tangan seseorang yang cepat menangkap tangan kiri Salisa yang bebas, menariknya yang hampir terjatuh ke belakang.
Belum selesai kaget dengan tabrakan itu, sekali lagi Salisa terkejut dikarenakan saat ini tubuhnya sedang tak ada jarak dengan si penabrak. Tangan kanan laki-laki itu masih memegang pergelangan tangan kiri Salisa sedangkan tangan kirinya mencengkeram erat lengan kanannya, memastikan dirinya aman dan berdiri tegak.
Ada sekitar sepuluh detik kedua mata Salisa yang membulat bertemu dengan bola mata si laki-laki tadi, yang juga sama terkejutnya. Setelah sadar dengan posisi mereka yang sangat dekat, sontak Salisa meronta agar kedua tangan yang masih memegangnya terlepas dari tubuhnya. Laki-laki itu juga tersadar dengan apa yang dilakukannya, langsung mundur beberapa langkah dengan ekspresi tidak enak.
"Maaf, Mbak. Saya bener-bener nggak sengaja." Ucapnya cepat setelah melihat ekspresi galak yang muncul di wajah Salisa.
"Nggak punya mata kamu ya? Udah nabrak pake megang-megang lagi. Nggak sopan banget!" Ketus Salisa pada laki-laki dengan rambut gondrong nanggung itu.
Laki-laki yang sedang berdiri di hadapannya itu memakai setelan kemeja flanel sebagai outer yang kedua lengannya digulung, jeans biru dongker, converse berwarna hitam putih dan sebuah ransel di punggungnya. Kalau diperhatikan dia masih kelihatan sangat muda, seperti anak kuliahan.
Raut wajah laki-laki itu terlihat makin tidak enak.
"Demi Tuhan, Mbak.. saya bener-bener nggak sengaja. Saya nggak tau ada orang di belakang saya."
"Tapi maaf, Mbak, bagian saya megang Mbak bukan disengaja, itu saya refleks supaya mbak nya nggak jatuh ke belakang." Lanjutnya lagi.
"Halah. Alesan kamu!" Salisa tidak terima alasan laki-laki itu.
"Kamu halangin jalan saya, minggir!"
Laki-laki itu mengernyitkan dahinya melihat sikap dingin yang ditunjukkan Salisa tapi segera menggeser tubuhnya untuk memberi jalan, enggan memperpanjang meskipun dari air mukanya dia kelihatan kesal dituduh sembarangan.
Laki-laki tadi berdiam di posisinya, hanya memandangi punggung Salisa yang masuk ke dalam butik. Setelah beberapa saat dan merapikan pakaiannya terlebih dahulu, barulah si laki-laki menyusul masuk.
***
Di dalam dari pintu lobi yang ada kacanya, Salisa bisa melihat laki-laki tadi berjalan menuju butik. Salisa sudah siap mendampratnya lagi kalau dia masuk, tapi sentuhan lembut menahan pundaknya. Salisa menoleh dan mendapati kakaknya tersenyum penuh arti di sampingnya. Salena hanya memberikan gestur jangan dengan kepalanya, membuat Salisa urung mendamprat laki-laki itu.
Anehnya Salena malah menghampiri laki-laki tidak sopan itu tadi. Salisa melipat kedua tangan di depan dadanya, keningnya mengerut memperhatikan interaksi antara kakaknya dan si laki-laki asing.
"Hai, perkenalkan saya Salena Amara. Kamu pasti..." Salena mengulurkan tangannya pada laki-laki itu, tersenyum ramah.
Si laki-laki tersenyum kikuk menyambut tangan Salena, melirik sebentar ke arah Salisa sebelum menjawab, "perkenalkan saya Ronald Harry Nainggolan."
KAMU SEDANG MEMBACA
(IM)POSSIBLE
FanfictionSalisa Amira wanita mandiri berusia 32 tahun, direktur dari sebuah perusahaan manajemen artis dan pengelola bakat bernama SA Agency. Ekspresi datar, dingin, dan tegas adalah image yang Salisa bangun sejak dirinya bercerai dari mantan suaminya lima t...