Sekali² nggak papa lah ya update dua kali dalam sehari. 😆
***
Suasana sore itu cukup cerah anginnya juga lumayan menyejukkan, Ronald sedang menikmati sebatang rokok di sebuah balkon di kediaman keluarga Salisa. Ia selesai mengajar Adela sekitar setengah jam lalu dan permisi kepada Bi Surti ke teras di lantai dua yang sepi untuk merokok. Bi Surti yang baik bahkan mengantarkan secangkir kopi hitam panas tanpa menawari Ronald terlebih dahulu. Orang-orang di rumah ini sangat baik.
Tadinya Ronald mau langsung pamit pulang, karena hari ini ia libur kerja lumayan waktunya bisa dipakai untuk istirahat, tapi Salena melarangnya. Salena meminta Ronald untuk tinggal sampai makan malam. Kebetulan sekali semua lagi kumpul di rumah, hal ini patut dirayakan lagian keadaan papanya sudah membaik jadi sekalian saja syukuran, begitu katanya. Ronald tentu saja tidak bisa menolak ajakan itu.
Salena juga mau berterima kasih pada Ronald karena ia lah yang membantu memapah papanya dari kamar mandi ke tempat tidur sewaktu terpeleset tadi. Ronald yang baru saja tiba di rumah mewah itu kaget waktu Bi Surti datang tergopoh-gopoh kepadanya dan langsung meminta bantuan mengangkat tuan besarnya yang jatuh di kamar mandi. Tanpa pikir panjang Ronald pun langsung membantu. Syukurnya tidak ada cedera yang terlalu parah mengingat usia Surya yang sudah senja.
Karena itulah jadwal mengajar Ronald sempat tertunda tadi karena hampir seluruh keluarga Salena ditelepon dan berdatangan, mereka pada khawatir dan sibuk mengurus Surya. Untung ada Yejia yang juga datang jadi Ronald punya teman mengobrol.
"Ehem.." Suara dehaman terdengar dari arah pintu balkon.
Ronald yang sedang berdiri menyandarkan tubuhnya dirailing balkon menoleh dan mendapati Salisa sedang berdiri di ambang pintu. Cepat-cepat Ronald mematikan puntung rokoknya di asbak yang ada di atas meja balkon.
"Maaf, Mbak." Katanya kikuk, merasa tidak enak karena kelihatan sedang merokok.
"Santai aja kali." Ujar Salisa dengan santai lalu berjalan mendekati railing dan bersandar di sana. Matanya menerawang ke halaman belakang rumahnya yang setiap sudutnya ditanamin dengan berbagai macam tumbuhan, mengelilingi kolam renang yang ukurannya tidak terlalu besar.
Ronald pun berdiri di sebelah Salisa, ikut memandangi apa yang ada di hadapannya. Mereka berdua lalu hanyut dalam keheningan. Tapi kali ini berbeda dari ketika mereka di restoran mall waktu itu. Tidak ada rasa canggung, malah terasa menenangkan dan nyaman. Mungkin karena ini sudah yang kesekian kalinya mereka bertemu dan berinteraksi. Kecanggungan itu perlahan menghilang.
"Mbak tahu penyesalan terbesar dalam hidup saya," tiba-tiba Ronald memecah keheningan.
Salisa hanya menoleh ke arah Ronald, tanda diamnya memberi sinyal agar Ronald melanjutkan.
"Saya belum sempat meminta maaf ke ayah saya waktu beliau meninggal dunia."
Ronald melirik sebentar dan melihat kening Salisa berkerut, tapi ia tetap melanjutkan.
"Waktu itu saya masih dua belas tahun, kelas enam SD. Minat saya terhadap musik lagi tinggi-tingginya. Ronald kecil minta sesuatu yang terbilang cukup mahal untuk kondisi keuangan keluarganya, yaitu sebuah gitar."
Ronald diam sebentar, mencoba mengingat secara detail kejadian sepuluh tahun yang lalu.
"Saya minta sebuah gitar pada ayah yang tentunya tidak mungkin dikabulkan karena harganya yang mahal. Ronald kecil tantrum, marah dengan keadaan yang membuatnya nggak bisa punya gitar, kesal dengan ayahnya yang nggak mampu membelikannya gitar. Pagi itu sebelum berangkat sekolah ia pergi begitu aja tanpa pamit dan menyalimi tangan ayahnya seperti biasa."
KAMU SEDANG MEMBACA
(IM)POSSIBLE
Fiksi PenggemarSalisa Amira wanita mandiri berusia 32 tahun, direktur dari sebuah perusahaan manajemen artis dan pengelola bakat bernama SA Agency. Ekspresi datar, dingin, dan tegas adalah image yang Salisa bangun sejak dirinya bercerai dari mantan suaminya lima t...