"Jadi, apa alesan lo tiba-tiba ikut audisi model ini, Ryu?" Ronald bertanya kepada Ryu yang sedang menyeruput es jeruk favoritnya.
Mereka berdua saat ini sedang duduk di kafetaria milik SA Agency yang terletak di lantai satu. Ronald sempat melihat papan petunjuknya tadi sekilas di lobi waktu pertama ia ke meja resepsionis. Sayangnya tidak kelihatan dari depan karena ketutupan dinding dengan ukiran SA Agency yang besar sekali. Setelah berada di kafetaria ini, lagi-lagi Ronald kagum karena ini bukan hanya sekedar kantin biasa, tempatnya nyaman sekali seperti kafe-kafe cozy dan estetik di luaran sana. Rasanya Ronald bisa menghabiskan waktu berjam-jam di sini sambil mengerjakan skripsinya kalau ia bisa.
"Gue udah keluar dari part time yang kemarin karena mau fokus skripsi. Jadi ya gue nyoba cari kerjaan yang nggak terlalu menyita waktu tapi bayarannya lumayan, karena gue perlu uangnya untuk biaya skripsi. Kebetulan lewat di fyp instagram gue kemarin tentang audisi terbuka itu, ya udah gue coba-coba aja. Eh, tau-taunya lolos. Ya, syukur sih. Walaupun sekarang masih nunggu kepastiannya." Jelas Ryu.
Saat ini memang mereka disuruh menunggu oleh Salisa karena tim-nya sedang menghubungi pihak brand yang mau memakai Ronald dan Ryu sebagai model. Sementara menunggu, Nayla meminta mereka menikmati sajian yang ada di kafetaria kantor. Nayla memberikan mereka voucher yang bisa ditukarkan untuk satu makanan berat, kudapan, dan minuman. Yang tentu saja kesempatan itu tidak disia-siakan oleh dua orang mahasiswa pas-pasan seperti mereka berdua. Lumayan makan siang gratis.
"Lo sendiri, Ron? Lo masih kerja kan di kafenya Felix?" Ryu berpikiran kalau Ronald memiliki alasan yang sama sepertinya, ikut audisi jadi model karena melepaskan kerjaan paruh waktunya.
"Masih kok. Gue perlu uang untuk bayar pinjeman. Makanya cari tambahan kerja lagi." Jawab Ronald, berbohong tentunya.
"Oohh.. pantes lo kemarin juga ambil kerjaan jadi tutor yak." Ryu mengangguk-anggukan kepalanya, mengerti situasi Ronald.
"Eh tapi gue nggak nyangka sih kalau yang punya perusahaan ini tuh Bu Salisa, calon kakak ipar temen kita. Keren banget!" Lanjut Ryu.
"Yoi, keren banget!"
"Tapi mereka sekeluarga keren-keren sih. Tadi gue sempat browsing sebentar waktu lo lagi photoshoot. Ternyata tuh kakak beradik pada warisin semua perusahaan papanya, kecuali yang nomor dua, Salena ya kalau nggak salah namanya? Nah, dia lebih milih bangun usaha sendiri dibidang fashion tapi papanya sama sekali nggak masalah dengan itu. Gile ya, Ron, seneng banget punya orang tua udah kaya raya, suportif lagi sama pilihan anak-anaknya."
Ronald setuju walaupun tentu saja hidup bergelimang harta tidak selalu menjadi jaminan hidup bahagia. Keluarga Salisa beruntung memiliki hidup yang serba berkecukupan juga support system yang baik.
Ah, Ronald jadi teringat kalau hubungan Salisa dan papanya kurang baik semenjak rumah tangganya gagal. Perempuan itu berubah sejak bercerai seperti yang sudah diceritakan oleh Salena dan Nova. Jadi tidak selamanya kan hidup serba berkecukupan itu menjadi jaminan untuk selalu bahagia.
"Btw, Ryu.. lo tadi ambil foto gue ya diem-diem?" Tanya Ronald, memicingkan matanya curiga.
Ryu membeku, bisa-bisanya si Ronald tahu.
"Lo pasti mau cepuin itu di grup chat kita kan? Ryu, tolong lah! Sisa hidup gue bakalan kena roasting terus sama si bule kalo lo share tu foto."
Perlahan Ryu membuang nafasnya yang sejak tadi tertahan. Untung saja kecurigaan Ronald bukan seperti yang Ryu takutkan. Itu foto dia ambil ya untuk dirinya sendiri bukan untuk dicepuin ke grup.
"Ada syaratnya kalau lo nggak mau tu foto gue bagi di grup." Sebuah ide terlintas di kepala Ryu.
"Apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
(IM)POSSIBLE
FanfictionSalisa Amira wanita mandiri berusia 32 tahun, direktur dari sebuah perusahaan manajemen artis dan pengelola bakat bernama SA Agency. Ekspresi datar, dingin, dan tegas adalah image yang Salisa bangun sejak dirinya bercerai dari mantan suaminya lima t...