🍁 28. Kata Hati 🍁

871 192 42
                                    

Halooo, Assalamualaikum. MET malem, teman. Lamo tak jumpa. Asliii sok sibuk bgt akutuuu. Wes lah, sekarang Rindu siap mengudara. Selamat membaca ....

Rindu tak ingin berbicara. Di sekretariat Mapala, matanya terus tertuju pada laptop. Jarinya bergerak cepat. Sesekali dia melirik ponselnya yang juga menyala, mencocokkan apa yang sudah ditulis atas arahan Segara untuk memperbaiki bab lima.

Mengingat Segara, Rindu ingin menangis. Namun, apa gunanya menangis? Semua ini adalah kesalahannya. Dia sendiri yang datang dan menawarkan hubungan pada dosen pembimbingnya.

Mungkin, Segara menerimanya karena kasihan. Dirinya yang patah hati ditinggal mati setelah dikhianati. Bisa jadi beliau tidak tega untuk mengecewakan Rindu dengan penolakan. Bagaimanapun caranya, Segara harus membuatnya lulus, 'kan?

Tidak mungkin! Rindu berpikir kalau Segara tidak seperti itu. Seandainya tak ada rasa di hati pria itu, tak mungkin hubungan mereka sedemikian manis. Kalau hanya main-main, tidak mungkin ada perhatian besar seperti yang selalu diterimanya.

Rindu menarik napas panjang. Hatinya menangis hampir di setiap helaan napas, tetapi fisiknya berusaha tegar dan terlihat baik-baik saja. Kejadian ini, seratus persen kesalahannya. Jadi, tak akan ada konfrontasi yang akan dilayangkan seolah dirinya adalah korban.

Hati Rindu terluka. Kadang-kadang, saat seluruh kenangannya mulai menyerang bersamaan dengan rasa rindu ... yang dilakukannya hanya mengusap paha, lalu mencubitnya dengan keras, dan berharap rasa sakit itu mengusir perihnya perpisahan tak pernah terucap.

"Ndu, Ndu, Rindu... apalah anak ini! Dipanggil nggak noleh-noleh."

"Kenapa?" tanya Rindu. Dia melihat Putra dan Adiyanto sedang berdiri berebut tempat terdekat dengannya seraya tak berhenti saling dorong. Kelakuan temannya ini selalu menghibur, tetapi Rindu sedang tak tertarik pada apa pun.

"Ayo, ke Songa!" ajak Putra. Tatapannya serius membingkai wajah Rindu. "Gratis, sampai di tempat."

Rindu menarik napas. "Males." Jangan pergi ke mana pun dengan pria selain saya. Kalimat Segara masih berputar di kepalanya. "Kelarin tugas akhir yang tinggal dikit."

"Ampun dia sudah bab lima!" Seolah tak percaya, Adiyanto bergerak, membungkuk di samping Rindu. "Ajarin!"

"Aku bukan dosenmu!" tukas Rindu, "dan berhenti ngomong ajarin! Bosan aku!"

"Ndu ...."

Rindu menutup laptop, membereskan buku dan memasukkan semua ke dalam ransel. Suasana hatinya benar-benar tidak bagus untuk menanggapi humor paling ringan sekali pun. Dalam kepalanya, hanya ada Segara dan kenangan cinta mereka yang telah berlalu.

Sebelum meninggalkan sekretariat Mapala, Rindu masih sempat memasang rain cover tasnya. Setelah itu, dia berlalu tanpa banyak kata. Tak dipedulikannya teriakan Putra dan Adiyanto yang mengatakan bahwa hari sudah mulai hujan.

Hujan benar-benar turun sebelum Rindu sampai di parkiran. Tak mengapa, dirinya butuh sedikit bantuan untuk menyamarkan air mata. Jangan pedulikan bajunya yang basah, yang penting ada sedikit jalan untuk membuang lara.

***

"Ndu, kenapa jadi tiba-tiba sakit?" Rina telah mengganti kompres Rindu sejak beberapa jam terakhir. "Kalau panasmu nggak turun sampai sore ini, kita mesti pergi ke dokter."

"Namanya manusia, Ma! Tentu bisa sakit." Rindu menutup matanya dengan lengan kanan. "Mama lanjutin kerja aja, aku nggak apa-apa! Pesanan lagi banyak."

"Nggak apa-apa bagaimana?" Rina menarik selimut Rindu, lalu melemparnya ke kursi di bawah jendela. "Sekujur badanmu panas begini."

Kidung Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang