🍁 20. Pemahaman 🍁

757 196 34
                                    

Assalamualaikum, temans. Maapkanlah, saia lupa mulu mo update. Apalagi, wp suka gak notif ke aku, jadi ya gituuuu. Laliii. Yang kangen Rindu, langsung aja merapat dan selamat membaca.

Rindu menebar senyum saat sampai di sekretariat Mapala. Sekantong gorengan ada di tangan kiri, sementara tangan kanannya memegang kantong lain berisi minuman kotakan. Dia meletakkan semua bawaannya di meja dari ban yang langsung diserbu teman-teman di sana.

"Mbak Rindu bawa makanan banyak banget." Ika mengambil pisang goreng dan satu minuman rasa anggur. "Tahu aja kalau kita lagi lapar."

"Anak-anak di sini, sih, nggak ada kenyangnya," sahut Rindu. "Yang ini habis, nanti ada yang bawa makanan lagi juga tetap bilang lapar."

"Ndu, nggak beli rondo royal?" Galang bertanya tanpa melepaskan gitar dari pelukan.

"Mana ada janda dijual?" Fitra yang belakangan jarang muncul. Hari ini, muncul entah dari mana. "Langsung lamar kalau itu, sih, Mas."

"Hmm ... repot sama anak yang bahasa Jawanya nanggung kayak kamu." Galang menggeleng, meletakkan gitar, lalu menarik kantong gorengan. "Ini namanya rondo royal, geblek!" Tangan kanannya menunjukkan makanan pada Fitra.

"Itu tape goreng, Mas!"

"Repot musuh wong Jowo sing lali Jowone (orang jawa yang lupa Jawanya)." Galang tak repot dengan gurutuan Fitra. Dia memilih untuk menikmati makanan yang Rindu bawa.

"Minggu depan aku sempro."

"Wah ... selamat, Ndu. Kubilang juga apa, kalau kamu nurut apa kata Pak Gara, biar lambat juga pasti ada progess-nya."

"What?" Putra hampir tersedak jika tak menelan gorengannya tepat waktu. "Asem ... bisanya Pacar sempro duluan."

"Sulit dipercaya, bagaimana cara Pak Gara bikin kamu sempro secepat itu, Pacar?" Adiyanto tak kalah heran. "Bagi tips, dong!"

"Berhenti memanggil aku dengan kata Pacar!" Rindu mendadak jengkel. "Bagi tips, bagi tips, manjat terus sana ke Lembah Kera!"

Ucapan Rindu ditertawakan teman-teman satu petualangan. Selanjutnya, mereka semua mendorong Adiyanto sampai terjungkal di kursinya. Mereka saling menghujat karena niat Adiyanto untuk menyelesaikan tugas akhir berbanding terbalik dengan usaha yang dilakukan.

"Jadi, hari apa seminarnya?" Galang mengabaikan keributan, memilih fokus pada Rindu.

"Kamis, setelah makan siang."

"Aku temani."

"Buat apa ditemani? Seminarnya, 'kan, tertutup?"

"Wes eruh (sudah tahu)!" Galang menatap Rindu yang duduk dan sibuk dengan ponsel. "Kehadiran orang dekat, itu memberi rasa aman dan membuatmu jadi lebih tenang."

Sudah ada Pak Gara. "Kerja saja, nggak usah izin-izin cuma buat nemani aku. Kerjaanmu lebih penting."

"Hoi, betul itu." Putra sudah pindah ke hadapan Galang. "Kerja saja, biar aku menemani Rindu."

"Aku saja yang nemanin kamu, Pa—"

"Makan tuh pacar!" Rindu memotong ucapan Putra dengan menjejalkan sebuah ubi goreng supaya tidak mendengar kata yang membuat telinganya gatal. "Nih, ya dengar! Aku nggak mau pacaran sama orang yang begonya sama denganku."

Bukannya sedih atau kecewa dengan ucapan Rindu, Putra dan Adiyanto justru tertawa lebar. Kalimat Rindu dianggap sebagai angin lalu. Tak satu pun peduli dengan kesal di hatinya setiap mendengar kata yang sama. Kadang-kadang, Rindu merasa kedua temannya itu sangat bebal, padahal dirinya saja sudah bebal. Namun, mereka semua teman yang kompak dalam setiap petualangan di alam bebas, jadi sebuah keluhan tak akan layak diucapkan.

Kidung Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang