🍁 12. Bimbang 🍁

668 181 21
                                    

Selamat malam ... aduh maafken. Saia lupa update, padahal naskahnya sudah siap. Hyuk lah langsung merapat
.
.
Rindu masuk ke sekretariat Mapala dengan langkah ringan. Seperti biasa, ada Putra dan beberapa mahasiswa lain yang mungkin sedang menunggu jadwal kuliah berikutnya. Tempat ini tak pernah sepi. Apa yang membuatnya sedikit jengkel adalah kebersihan.

Ada bungkus makanan yang tidak masuk ke tempat sampah. Kulit kacang di meja, kemasan minuman kalengan ada di beberapa sudut, dan kaus kaki yang entah milik siapa.

"Kalian itu nggak ngerasa tempat ini sudah mirip pembuangan sampah?" tanya Rindu sambil berkacak pinggang. "Bisa gitu duduk santai kaya di pantai?"

"Hai, Pacar, muncul-muncul langsung ngomel. Kalau kangen, telpon aja, aku pasti datang!" Putra menjawab dengan santai.

"Pacar?" Rindu mengacungkan sapu yang baru diambilnya ke udara. "Sampai suku air kebanjiran, aku nggak mau jadi pacarmu. Sana, keluar semua kalian! Tempat sampai bau kok nggak ada yang peka."

Rindu mendorong semua orang yang ada di sekretariat keluar. Bahkan, yang baru datang, tak selangkah pun dia izinkan masuk. Dia suka keramaian dan ngemil bersama, tetapi benci jika sampahnya tidak dibereskan. Tidak ada kata tunda untuk Rindu.

"Kunci aja ruangannya, Ndu. Sing kopros gak usah mlebu (yang jorok nggak usah masuk)." Galang muncul membawa pengki dan kantong plastik besar. "Ojok ndelok tok, Rek! Mangan e bareng, mosok resik-resik e merem kabeh. Ojok kebacut talah (Jangan melihat saja, Teman. Makannya bersama, masa bersih-bersihnya semua memejamkan mata. Jangan keterlaluan)!"

Mendengar omelan Galang, teman-teman serempak ikut bersih-bersih. Ada yang mengambil ember dan kain pel. Ada yang membersihkan teras dan menata ulang jajaran pot bunga supaya terlihat rapi. Selanjutnya, sampah di bawah pohon ceri pun disapu dan berakhir dengan tempat bersih.

"Awas kalau sampai nyampah lagi, kalian yang aku lempar ke TPA!" ujar Galang setelah mengembalikan semua peralatan bersih-bersih ke tempat semula.

Sinar matahari sudah mulai menguning. Semilir angin menggerakkan dedaunan. Rindu merebahkan tubuhnya di hammock dan seperti biasa, Galang duduk di kursi ban, di bawah pohon ceri sambil bermain gitar.

Cuaca yang manis, menurut Rindu. Cerah dan berangin. Malang masihlah kota terindah baginya. Ke mana pun dia pergi, seindah apa pun tempatnya, Kota Malang tetap di hati.

Dulu, Raga pernah datang ketika matahari sudah lebih condong ke ufuk barat. Anginnya sejuk membawa titik air meskipun jarang-jarang. Pria itu membawa menjes (tempe yang dibuat dari ampas tahu yang digoreng tepung dan dimakan dengan petis atau cabai hijau) panas dengan satu plastik petis serta cabai hijau segar. Carrier toska masih ada di punggungnya, belum diturunkan sampai memberikan makanan yang katanya oleh-oleh dari Merbabu.

Rindu tertawa. Mana ada bawa menjes dari Merbabu dan masih panas? Yang ada hanya beli di depan kampus. Saat itu, Rindu tidak pergi ke Merbabu karena sudah janji dengan yang lain untuk pergi ke Argopuro.

Makanan itu dimakan bersama di sekretariat. Tentu saja, Raga menyisihkan lebih banyak untuk Rindu karena makanan itu memang dibeli untuknya. Titik air berubah menjadi gerimis tipis meski sinar matahari tak menghilang. Aroma debu menguar di udara, mengingatkan pada suasana desa di mana hujan turun di ladang.

"Nggak usah mengingat yang sudah lewat, Ndu!" Galang mengetuk pelan dahi Rindu.

"Lagumu Puncak Rindu terus, gimana nggak nostalgia jadinya?" Rindu mencebik, menatap protes pada Galang.

"Maumu lagu apa? Tepi Ranu Kumbolo? Spesialismu itu, naik Semeru sampai ratusan kali." Ada senyum di bibir Galang setelah menyelesaikan ucapannya.

"Big no. Kenapa, sih, lagumu bucin-bucin?"

Kidung Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang