🍁 2. Mati Gaya 🍁

847 218 25
                                    

Malam, temans ....

Rindu berlari naik tangga menuju lantai dua gedung A. Di ujung tangga, dia belok ke kanan dan berhenti di pintu pertama sebelah kiri. Pintu ruangan dosennya terbuka. Rindu mengintip. Matanya menyapu seluruh ruangan.

Ruangan Segara mungkin seluas tiga kali tujuh meter. Di depan tempat Rindu berdiri, ada rak buku dan karpet merah terbentang serta satu meja pendek. Mungkin, anak bimbingan Pak Kaprodi akan duduk di sana saat harus mengantre revisi.

Di samping kanan, ada satu set sofa yang entah fungsinya apa. Rindu tidak peduli. Yang dia pedulikan adalah meja di ujung ruangan di mana sosok yang membuatnya kebat-kebit sedang duduk membelakangi dinding, menatap laptop berwarna perak meskipun komputer di samping kanannya juga menyala.

"Permisi, Pak." Rindu mengetuk pintu. Matanya terus menatap Segara yang fokusnya tak teralih sedikit pun. Sungguh, pria serius itu benar-benar memiliki konsentrasi tinggi. "Permisi, Pak." Kali ini, Rindu mengetuk pintu lebih keras.

"Masuk!" Suara Segara bahkan terdengar sangat pelan di telinga Rindu. Untung dia tidak bermasalah dengan pendengaran, sehingga bisa mengikuti perintah tanpa aba-aba dua kali.

"Selamat siang, Pak." Kali ini, Rindu berdiri di belakang sofa tunggal, dua meter di depan Segara.

"Siang," jawab Segara. Sekarang, mata tajam itu beralih pada Rindu. "Ada perlu apa?"

Sialan. Bisa, ya, sudah datang dan ditanya ada perlu apa? Sudah pasti mau tugas akhir, batin Rindu. Memangnya, ada urusan apa lagi kalau ada orang kemari? Kemudian, dia ingat kalau dosennya ini seperti selebritis. Dikenal banyak orang, tetapi tak mengenal orang dengan baik. Berani taruhan, dalam sekelas, maksimal beliau hanya akan ingat beberapa nama saja. Itu pun belum tentu tahu yang mana orangnya.

"Saya Rindu, Pak."

Sebelah alis Segara mencuat. "Kamu rindu saya?"

Salahkanlah orang tuanya yang memberikan nama Rindu. Kalau kasusnya begini, sudah pasti membuat dirinya mati gaya. Mimpi apa semalam sampai dia berada dalam situasi ini? Kok bisa dosen serius ngomong seperti itu dengan ekspresi datar? "Nama saya Rindu, Pak."

"Perlunya?"

"Saya yang kemarin ada janji dengan Bapak."

"Untuk?"

Rindu kesal. Memangnya ada berapa Rindu di kampus ini? Apa iya semua dibimbing Segara?

"Saya tidak datang kemarin."

Segara menarik napas panjang dan mengembuskannya sedikit keras. Kedua telapak tangannya bertaut dan diletakkan di meja. Kursinya diputar sedikit, kini fokusnya seratus persen tertuju pada Rindu.

"Mahasiswa yang datang kemari bukan hanya kamu. Keperluannya juga macam-macam. Jadi, kalau kamu tidak bilang, saya tidak tahu. Sebagai catatanmu, saya tidak hafal satu per satu nama mahasiswa yang datang dengan berbagai keperluannya."

Boleh tidak kalau Rindu melompat saja dari jendela yang terbuka itu? Kalimat Segara memang masuk akal dan wajar, tetapi itu menjengkelkan untuknya. Suasana hati Rindu sedang tidak siap untuk menghadapi dosennya yang absurd.

"Saya Rindu Rembulan, Pak. Mau bimbingan."

"Rindu Rembulan?" Alis Segara bertaut sejenak. "Yang harus wisuda akhir semester ini, ya?"

"Iya, Pak."

"Jadi, kamu maunya gimana? Mau bikin apa? Rencananya bagaimana?"

Pertanyaan macam apa itu? Bisakah Rindu menjawab pertanyaan itu dengan ganti bertanya pada dosennya? Sudah jelas, maunya lulus kuliah sebelum terusir dengan tidak hormat. Mau membuat tugas akhir saja masih ditanya yang aneh-aneh. Kemudian rencana, kalau dirinya tahu, tentu tidak akan berdiri di tempat ini, 'kan? Malas sekali. Pergi naik gunung masihlah hal paling menarik daripada menjawab pertanyaan dari dosen yang jeniusnya kelewatan ini.

"Rindu?"

"Ya, Pak."

"Kenapa tidak menjawab pertanyaan saya?"

"Maunya bikin tugas akhir, Pak. Rencananya selesai sebelum enam bulan."

Mata Segara menyipit sejenak. Itu tak luput dari tatapan Rindu yang sejak tadi tidak beralih dari sosok yang terus menautkan alis. Rasanya ajaib sekali bisa melihat hal langka ini. Namun, apa yang beliau anggap lucu? Dia sudah jujur memberikan jawaban dan tidak ada yang aneh dengan itu.

"Duduk, Ndu!" Segara mengetikkan sesuatu di laptopnya, lalu kembali fokus pada Rindu. "Kamu mau mengambil tema apa?"

"Sistem Informasi Kepegawaian."

"Berapa jumlah karyawannya di situ?"

"Kalau nggak salah empat belas orang, Pak."

"Kalau nggak salah? Kamu ini mau tugas akhir atau main-main? Kalau karyawannya sedikit, berarti nggak cocok untuk tempat studi kasusmu."

"Jadi, gimana, Pak?"

"Yang mau tugas akhir itu kamu, kenapa malah nanya saya?"

Rindu ingin berlari mendengar pertanyaan Segara. Dari bagian mana kalau bapak yang satu ini akan membuat tugas akhirnya menjadi yang terbaik? Belum apa-apa saja tanduknya sudah keluar.

"Coba cerita dulu idemu itu ke saya!"

Rindu duduk, kemudian mengambil map bening berwarna biru. Dari sana dia mengeluarkan kertas, lalu terlibatlah pembicaraan dengan Segara. Ada tempat studi kasus yang kemudian dicoret dan akan dia revisi nanti.

"Sekarang, apa rencanamu?"

Bapak, kenapa itu lagi yang ditanyakan? Dari tadi berputar terus di situ. Rindu merasa mendadak kehilangan kepintaran. Seluruh kalimat yang akan diucapkannya seolah menguap begitu saja.

"Kenapa diam?"

"Itu, Pak ...." Ingin sembunyi di bawah meja saja boleh? Rindu merasa, seharusnya Segara paham kalau dia tidak mengerti. Namun, memprotes juga bukan hal yang baik. Sudahlah, diam saja. Kemungkinan terburuknya, dia akan diusir.

Tiba-tiba, ponsel Segara berteriak. Dosen itu menjawab panggilan dan beranjak dari tempat duduknya menuju pintu keluar. Rindu menarik napas lega. Setidaknya dia punya waktu untuk memutar otak dan memikirkan jawaban dari pertanyaan Segara. Dosennya itu bukan orang yang akan melupakan pertanyaan begitu saja.

Rindu mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Dengan cepat dia mencari jawaban atas seluruh pertanyaan Segara yang sempat membuatnya mati kutu. Tangannya menyentuh layar di beberapa tempat, sementara matanya berusaha membaca cepat.

"Bagaimana?"

Rindu tidak mendengar langkah Segara dan tahu-tahu sang dosen sudah ada di sampingnya. Ponselnya hampir terlempar kalau saja dia tidak memegangnya dengan benar. Matanya melirik ke kaki Segara, memastikan bagaimana langkah itu bisa tak terdengar.

Beruntung Segara hanya berhenti sebentar dan kembali duduk di kursinya. Rindu melihat ada yang berubah dari wajah dosennya. Wajahnya terlihat sedikit lebih cerah dan enak dilihat. Mungkin uang proyeknya sudah cair. Zaman sekarang, hal seperti itu memang ampuh untuk mengubah suasana hati.

"Jadi, sudah tahu maksud saya dengan apa maumu, mau bikin apa, dan rencana-rencana?"

"Iya, Pak." Tentu saja tahu, Rindu menggerutu dalam hati. Asal disampaikan dengan bahasa yang lebih manusiawi dan gampang dimengerti. Bukannya istilah-istilah yang menurut Rindu ambigu seperti sebelumnya.

"Jadi, buatlah bab satu dan serahkan ke saya besok!"

"Baik, Pak, nanti saya siapkan," jawab Rindu. "Kalau begitu saya izin pamit dulu, Pak."

"Silakan," jawab Segara sambil tersenyum.

Rindu terkesima. Kalau tersenyum, ternyata Segara menarik juga. Namun, ini bukan saatnya terpesona atau mengagumi. Sekarang adalah saat yang tepat untuk melarikan diri sebelum dosennya berubah pikiran.

Aku langsung kabur kalau ketemu dosen kek begitu.

Love, Rain❤

Kidung Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang