Assalamualaikum, malem, temans. Selamat Idul Fitri. Maaf sekua salah-salah, yaaa. Yang mudik tetep hati-hati dan semoga selamat sampai tujuan. Yang nggak mudik selamat bersenang-senang. Hyuk, lah, yang kangen Pak Kaprodi langsung merapat. Selamat membaca ....
Rindu duduk di kamar tempatnya menginap selama di Malaysia. Proses keberangkatannya sama sekali tidak merepotkan. Jika panitia yang mengurus segala akomodasi Segara, pria itu mengurus semua hal yang sama untuknya. Dia hanya bertanya beberapa kali, kemudian mengerti apa yang harus dikerjakan. Pengalaman pertamanya ke luar negeri, tak sesulit yang dibayangkan.
Kamar yang ditempati Rindu termasuk kecil. Dia duduk bersandar bersandar tembok di tempat tidurnya. Lurus dengan tempat tidurnya ada jendela dan pintu yang akan membuka akses ke balkon jika dia butuh udara segar. Di pojok kanan dekat pintu, ada kulkas mini di bawah rak kecil tempat air mineral, gelas, dan teko listrik.
Di sebelah kanan tempat tidur Rindu, ada televisi yang ditempel diletakkan di dinding. Di bawahnya, ada rak memanjang dan hanya diisi oleh sebuah telepon. Kemudian, ada kamar mandi mungil serta sebuah lemari dan cermin di depannya. Benar-benar ruangan yang hanya digunakan untuk tidur mengingat ketiadaan meja dan kursi untuk bekerja. Masa bodoh dengan itu, Rindu memilih fokus ke laptop yang ada di pangkuan dan mulai bekerja.
Rindu larut dalam pekerjaannya ketika pintunya diketuk. Tanpa tergesa-gesa, dia meletakkan laptop di kasur, lalu membuka pintu. Segara muncul dengan sebelah alis terangkat. Rindu berpikir, apa yang aneh dengan dirinya sampai dosennya berekspresi seperti itu?
"Bapak kenapa?" tanya Rindu seraya kembali duduk di tempat tidur. Membiarkan Segara masuk dan menutup pintunya. "Saya belum bikin salah dan mengajukan revisi, jadi alisnya itu nggak cocok."
"Memangnya saya bapakmu?" Segara duduk di dekat lutut Rindu. "Ora cocok, Ndu! Ganok mesrane blas (Tidak cocok, Ndu! Tidak ada mesranya sama sekali).
"Bapak mirip orang Jawa kalau ngomongnya gitu." Rindu suka dengan sisi lain Segara yang tak pernah terlihat saat berada di lingkungan kampus.
"Ancene wong Jowo (Memang orang Jawa). Perlu pakai blangkon biar kelihatan?"
"Serius amat, Kangmas?" Rindu terkekeh pelan. Kemudian menatap Segara yang mulai tersenyum tipis. "Suka dengan panggilan itu?"
"Hmm." Segara hanya bergumam sebelum melirik laptop Rindu yang menyala. "Kamu ngapain?"
"Baca-baca sebelum melanjutkan bab empat. Susah."
"Susah kalau nggak belajar. Sebenarnya, semua hanya sesederhana itu."
Jawaban khas dan sangat Segara. Tak akan jauh-jauh dari belajar dan membaca. Mau membiasakan diri seperti apa pun, yang namanya membaca untuk waktu lama tetap membuat Rindu bosan. Kadang-kadang, dia memilih untuk membuka media sosial. Tak jarang dirinya hanya diam di depan laptop menyala tanpa berhasil menulis apa-apa. Lebih baik Rindu tidak mengomentari ucapan Segara. Mau dibantah sampai tua, pernyataan pria itu tetap benar. Jadi, daripada membuang energi, diam adalah pilihan terbaik.
"Ayo, pergi sarapan!" Segara menutup laptop Rindu, kemudian bangkit dan bersiap membuka pintu.
"Makan mi instan saja boleh?" Rindu mencoba menawar. "Beli di vending machine."
"Boleh," jawab Segara, " tapi nanti! Setelah kamu makan dengan layak."
Rindu tidak membantah lagi. Dia berjalan mengikuti Segara yang memilih untuk turun lewat tangga karena kamar yang berada hanya di lantai dua. Sampai di luar gedung, Rindu melihat ke sekeliling. Bangunan bangunan di sekitar mereka tampak serupa. Hanya ada beberapa orang yang berjalan dengan tas di punggung. Ada juga yang melangkah cepat, mungkin tergesa-gesa karena kesiangan.
"Kangmas sepertinya sudah tahu ke mana harus berjalan," komentar Rindu.
"Ya memang tahu. Tadi, sudah sarapan dulu sama teman."
Rindu mengangguk. Sudah pasti Segara pergi sarapan dengan wakil rektor, orang yang disebut-sebut sebagai teman. Anak-anak didiknya yang ikut lomba sudah diurus panitia dan entah apa saja yang mereka kerjakan sehubungan dengan teknologi. Dalam pikiran pun, Rindu tak ingin mengetahuinya.
Keluar dari tempatnya menginap, Segara mengajak Rindu menyeberang jalan. Di sebelah kanan tempatnya berjalan ada padang rumput berair yang dia pikir mungkin rawa-rawa. Setelahnya, mereka menyusuri jalanan beraspal di mana pohon berjajar di sisi kiri dan kanan. Daun-daun berguguran dan berserak di sepanjang jalan sampai mereka kembali menyeberang. Setelah itu, jalanan relatif bersih dan hampir tak ada tumpukan daun seperti sebelumnya.
Ketika jalanan agak menanjak, helaian daun-daun kembali terlihat. Sesekali berpapasan dengan kendaraan dan menurut Rindu, perjalanan itu menyenangkan. Suasana cukup asri sampai mereka tiba di kafetaria yang berlokasi di ujung jalan.
Di tempat sarapan, Rindu memilih spageti, ayam goreng, dan telur ceplok yang disajikan terpisah, di atas piring kecil yang baginya tak lebih dari sebuah tatakan. Dia juga mengambil sebotol air mineral serta sekotak jus buah. Tangannya menggeser jus buah ke depan Segara. Mereka duduk di meja yang menghadap taman berumput dengan pohon besar.
"Kenapa makanmu ogah-ogahan begitu, Ndu?" tanya Segara yang melihat Rindu hanya mengaduk-aduk mi. "Nggak selera?
"Bukan nggak selera, Kangmas," jawab Rindu, "tapi ngambil ancang-ancang, supaya di perut nggak rebutan tempat sama makanan lokal." Rindu menjawab asal, lalu menusuk ayam dengan garpu dan memakannya pelan-pelan. Matanya melirik telur ceplok di samping piringnya. Sebenarnya, itu yang dia pikirkan sejak tadi. Dia memang tidak rewel untuk makan apa saja, tetapi makanan setengah matang tak pernah masuk dalam daftar menunya.
"Minum dulu!" Segara menggeser jus buah yang tadi didorong Rindu ke depannya. "Biar segar dan nggak banyak alasan."
"Nggak usah digeser lagi!" Rindu mengembalikan jus buah ke depan Segara. "Ini namanya berbagi karena Kangmas nggak bisa sarapan lagi."
"Berbagi?" Segara heran. "Memangnya harus? Kamu nggak kepikiran gitu kalau saya kenyang?"
"Pacaran itu gitu, Kangmas. Masa nggak tahu?" Rindu melanjutkan makannya dengan perasaan dongkol yang tak terungkap.
Yang dikatakan Segara benar, Rindu akui itu. Namun, tidak tahukah dosen itu bahwa sekarang mereka memiliki hubungan? Kalau segala sesuatu masih dipandang resmi dari sisi profesionalisme diri, untuk apa kedekatan ini?
Rindu tidak pernah membayangkan akan pergi ke luar negeri. Memang hanya Malaysia, jaraknya masih dekat dengan Indonesia, tetapi tetap tak pernah ada dalam angannya. Hidupnya sederhana. Dia hanya ingin melakukan segala sesuatu berdasarkan dorongan hati. Tidak untuk menjadi sarjana, apalagi kuliah lagi demi menambah gelar.
"Apa keinginanmu selama di sini?" Segara meneguk jus yang diberikan Rindu. Hanya seteguk sebelum meletakkan kembali kotaknya.
"Nggak ada," jawab Rindu apa adanya. "Saya ke sini untuk mengejar tugas akhir, Pak. Bukan jalan-jalan."
"Panggil apa?" Segara memiringkan kepala, menoleh pada Rindu.
"Keseleo lidah tadi itu." Rindu nyengir tanpa rasa bersalah, padahal dia sengaja menggoda Segara.
Rindu menyelesaikan makan dengan cepat. Spageti dan ayam dia habiskan, kecuali telur ceplok. Awalnya, dia berpikir untuk memberikan telur itu pada Segara. Namun, niat itu segera diurungkan mempertimbangkan kata kenyang yang diucapkan pacarnya beberapa saat lalu.
Setelah mendorong piring kosong, Rindu membuka botol air mineral. Diteguknya air di dalamnya sampai tandas. Dia berpikir, mungkin bisa jalan-jalan sebentar. Tidak perlu jauh, asal tahu daerah sekitar situ sudah cukup.
"Bisa kita jalan-jalan sebentar?" tanya Rindu penuh harap.
"Kita di sini buat bekerja, Ndu, bukan liburan."
Bapak, pliss ... udah dolan sejauh ini, masa iya cuman ngendon di kamar terus. Jangan lempeng-lempeng napa?
Love, Rain❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Kidung Merah Jambu
RomanceRindu Rembulan terancam drop out jika tidak menyelesaikan tugas akhirnya semester ini. Di tengah tekanan proses tugas akhir, kekasihnya tewas dalam kecelakaan dan meninggalkan fakta bahwa pria itu ternyata memiliki istri yang sedang hamil anak perta...