Assalamualaikum, temans. Selamat siang. Rindu menyapa setelah sekian abad ngikut othornya di pedalaman yang susah sinyal. Percayalah, di kaki gunung emang sesusah ituuuu. Btw selamat membaca ....
Senyum Rindu menghilang perlahan ketika sadar siapa yang sedang menatapnya di sekretariat Mapala. Seluruh kebenciannya naik hingga kepala. Amarah yang pernah mengendap pun kembali mendidih. Keringat dingin keluar dari pori-pori tubuhnya, memacu adrenalin untuk meluluhlantakkan semua yang ada.
"Ndu, Ndu ... jangan bikin ribut di sini!" Putra tergopoh-gopoh mendekati Rindu. Berusaha mengusap lengan Rindu yang sore ini tertutup jaket parasut. "Semua bisa dibicarakan baik-baik."
"Bikin ribut?" Rindu menjauh dari jangkauan Putra. "Memangnya aku ngapain? Lagian, mulai kapan aku suka bikin onar? Bukannya itu kamu?"
Suara Rindu tidak keras, tetapi emosi terpendamnya diterima Putra dengan baik. Temannya itu mundur, lalu memberikan jalan. Rindu kembali melangkah, meletakkan makanan di meja, dan memanggil teman-teman yang ada untuk menikmati. Galang yang sejak awal tak bereaksi, kini meletakkan gitar untuk menikmati makanan yang dibawa Rindu.
"Enak, Ndu!" katanya, "Bukan di tempat biasa ini. Beli di mana?"
"Ada baru buka. Gorengan Pak Bagong, dekat UIN."
"Yang rame ampun-ampunan itu? Betah kamu antre ndek sana."
"Numpang pesannya, aku tinggal ambil," jelas Rindu. Aku lagi makan sama Kangmasku. "Baik-baik anak di sana."
"Percaya, anak kampus mana yang nggak kenal kamu? Segitu ngetopnya kamu itu."
"Nggak segitunya. Yang penting punya banyak teman." Rindu menikmati menjes seperti biasa, makanan yang tak pernah gagal membuat suasana hatinya membaik.
"Ndu ...." Jeni, perempuan yang menatap kedatangan Rindu akhirnya mendekat. "Bisa ngomong?"
"Bisa," jawab Rindu tanpa menghentikan makan. Dia malah menggigit kembali menjesnya beserta dua biji cabai yang langsung dikunyah dengan santai. "Mau ngomong apa?"
"Bisa cari tempat lain?"
"Tidak." Rindu menggeleng. "Aku baru datang dan malas mau keluar lagi. Ada apa memangnya? Mau ngomong rahasia?"
"Jangan songong, Mbak Rindu!" Adik Jeni maju, hendak menarik tangan Rindu.
"Heh Bocah!" seru Rindu. "Emakmu bisa mati berdiri punya anak nggak tahu tata krama kaya modelanmu begini." Rindu ingat betul, gadis itulah yang mengatakan dirinya sebagai pelakor ketika datang takziah di rumah Raga. Mulut itu jugalah yang terus berbisik menebarkan racun sampai orang-orang menatapnya dengan sorot meremehkan.
"Dik, tenanglah!" Jeni menghentikan langkah adiknya dengan satu tangan. "Ini urusan Mbak dengan Mbak Rindu."
"Tapi, dia memang songong banget. Sok paling benar."
"Siapa pun pasti begitu kalau ada di posisi Rindu," sahut Galang menengahi. "Itu sudah bagus dia nggak nampol mukamu berdua."
"Kenapa Mas Galang jadi kasar?" Jeni tak terima. "Teman nggak begitu, 'kan?"
"Teman nggak makan teman, Jen! Aku capek nutupin kebejatan. Kita semua teman, tapi kenapa bisa terjadi hal seperti sekarang?"
Sebenarnya, Rindu penasaran setengah mati. Apa alasan Raga mengkhianatinya? Dilihat dari sisi mana pun, tak ada yang menonjol secara berlebihan dalam diri Jeni. Dia paham dan mengerti bahwa cinta tak memandang itu semua. Namun, rasa ingin tahu itu tetap ada sebagai bahan introspeksi diri ke depannya. Mungkin ada andil dirinya juga di sana. Membuat kesalahan tanpa disadarinya dan itu membuat Raga muak, lalu berpaling.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kidung Merah Jambu
RomansaRindu Rembulan terancam drop out jika tidak menyelesaikan tugas akhirnya semester ini. Di tengah tekanan proses tugas akhir, kekasihnya tewas dalam kecelakaan dan meninggalkan fakta bahwa pria itu ternyata memiliki istri yang sedang hamil anak perta...