🍁 15. Satir 🍁

624 189 54
                                    

Assalamualaikum, selamat malam, temans. Rindunya sudah banyak belum? Kalau banyak, selamat membaca🥰

Rindu sampai di parkiran kampus menjelang tengah hari. Sejak pagi, dia membantu orang tuanya sebelum menangani dagangannya yang datang, kemudian memilahnya sesuai pesanan. Kesibukan yang tak pernah membosankan dan membuatnya tetap waras di tengah tekanan tugas akhir dan serbuan kenangan indahnya bersama Raga.

Mengingat Raga sama seperti membangkitkan kesedihan tak berujung sepanjang hidup. Kebahagiaan mereka berjalan selama empat tahun dan satu kesedihan seolah menghapus seluruh keindahannya. Bagi Rindu, kesalahan seperti apa pun bisa dimaafkan, kecuali pengkhianatan.

"Tumben datang siang, Mbak Rindu." Cahyo, si tukang parkir yang tak pernah gagal menghafalkan kendaraan beserta pemiliknya menyapa ramah.

"Iya, nih, Mas. Ada sedikit kerjaan di rumah." Rindu membalas tak kalah sopan. "Mas, aku titip paket, ya? Nanti, tolong kasihkan sama Tika."

"Mbak Tika akuntansi?" Cahyo memastikan.

"Iya." Rindu mengangguk dan mengulurkan bungkusan paket pada Cahyo. "Dan ini makan siang buat Mas Cahyo."

"Waduh, jangan repot-repot, Mbak Rindu!"

"Repot apa? Wong aku yang lebih sering merepotkan Mas Cahyo dengan nitip banyak paketan. Ini cuma makan siang sederhana, nggak repot sama sekali."

"Ya sudah. Tak terima, ya, Mbak Rindu. Semoga rezekinya makin banyak, cepat wisuda, dan menikah."

Rindu tidak tersenyum dengan doa Cahyo kali ini. Dia memilih berlalu setelah mengucapkan terima kasih. Dulu, senyumnya pasti melebar dengan setiap doa yang tukang parkir itu ucapkan. Sejak kepergian Raga, doa untuk menikah sudah seperti bara yang menyulut hatinya. Panas, menyengat, mendulang rasa sakit yang tak lekas menghilang.

Menapaki tangga demi tangga menuju ruang kerja Segara, Rindu beberapa kali mengangguk disertai senyuman. Beberapa mahasiswa menyapa atau dia yang menyapa lebih dulu. Di lantai atas, suasana sepi. Tidak ada kumpulan mahasiswa yang menunggu giliran bimbingan atau hanya sekadar berkelompok membahas banyak hal.

"Selamat siang, Pak!" Rindu menyapa setelah mengetuk pintu ruangan Segara yang memang terbuka.

"Siang," jawab Segara tanpa mengalihkan tatapan dari layar laptopnya. "Masuk!"

Tak perlu disuruh dua kali, Rindu masuk dan langsung duduk di depan rak buku seperti biasanya. Dia mengambil contoh tugas akhir yang kemarin dikatakan Segara dan mulai membaca. Bukan untuk memperbaiki, tetapi kembali memastikan bahwa apa yang sudah dibuatnya sesuai dengan yang dimaksud sang dosen.

"Sudah kamu perbaiki yang saya bilang kemarin?" Segara memberikan perhatian untuk Rindu.

"Sudah, Pak." Rindu bangkit, membawa laptopnya ke depan Segara.

"Sudah kamu bagi Drive-nya dengan saya?"

"Sudah, Pak."

Rindu mulai membaca pekerjaannya. Menyimak kalau ada hal yang akan direvisi Segara. Belakangan, pria itu memintanya untuk terus membagi file-nya supaya bisa dipantau terus-menerus. Merasa diperhatikan, Rindu bekerja tanpa menunda meski masih terus direvisi. Selama Segara tidak dalam mode killer, mau berapa kali pun pekerjaannya disalahkan, Rindu menerimanya dengan senang hati.

Hening. Segara tidak mengatakan apa-apa dan Rindu yang merasa sudah hafal dengan apa yang ditulisnya hanya bisa diam. Matanya tak lagi tertuju pada laptop, tetapi mengamati wajah Segara.

Hari ini, Segara mengenakan kemeja warna biru. Dasinya sudah dilepas karena setahunya sudah tidak ada jadwal mengajar lagi hari ini. Rambutnya rapi meskipun sudah ada yang jatuh ke dahi. Dahinya lebar, khas dahi orang dengan kecerdasan di atas rata-rata. Hidungnya mancung, melindungi bibir tipis yang dihiasi kumis yang sepertinya rutin dipangkas untuk menjaga kerapiannya. Kemudian, janggut yang sudah pasti juga dipotong secara teratur karena panjangnya tak pernah berlebihan.

Kidung Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang