Assalamualaikum, temans. Selamat malam. Rindu dan Segera datang, dong. Hayuuukk, segera merapat. Selamat membaca.
Rindu mengikat rambutnya dalam jalinan ekor kuda. Poninya disisir menutupi dahi. Roknya sepanjang lutut dengan kemeja putih pas badan, ditutup blazer warna hitam. Dia duduk di ruang tunggu. Giliran sidangnya terakhir, di jam tiga menurut jadwal.
Dua minggu yang lalu, Rindu tersenyum saat melihat namanya ada di jadwal sidang. Akhirnya, setelah berjuang dengan susah payah, menangis, dan sakit kepala, gelar sarjana ada di depan mata. Sesaat lagi, dirinya tak harus menghadapi buku-buku tebal yang berpotensi mendidihkan isi kepala.
Di hari terakhir ketemu Segara sebelum sidang, Rindu menatap pria itu dari jauh. Posisinya aman, tersembunyi di samping tembok bangunan yang difungsikan sebagai bank dengan beberapa deret mesin ATM. Hatinya rindu, tetapi tak bisa melakukan apa-apa untuk bertemu.
Masih seperti biasa, Segara akan mengenakan jaket tebal. Helm full face, lalu berkendara dengan kecepatan pelan sebelum keluar kampus dan berkendara lebih kencang. Memperhatikan dari jauh saja mampu mengobati rasa rindu meski tak sepenuhnya terobati.
Setelah hari itu, Rindu tak pernah datang ke kampus. Tidak ada urusan yang harus diselesaikan karena segala sesuatu sudah selesai. Begitu pun dengan rindu yang terus membara dalam hatinya. Dia benar-benar mengusaikan semua tanpa kecuali. Rasa sakit mendobrak dada dan terus mengancam pertahanan dirinya untuk menyerah, tak mengusik hidup orang lain adalah harga mati.
Air mata Rindu merebak. Memangnya kenapa kalau dia cinta? Mungkin, hanya waktu saja yang tidak tepat. Dengan semua kondisi yang ada, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Pikirannya sadar bahwa terkadang cinta hanya mempertemukan, tetapi tidak menyatukan.
"Mbak Rindu sudah siap?" Seorang mahasiswa duduk di samping Rindu. "Jangan sampai ada yang tertinggal, Mbak!"
Rindu melirik sosok di sampingnya. " Hmm." Hanya gumaman itu sebagai respons, kemudian menatap laptop dan flashdisk yang ada di sampingnya.
"Nggak grogi, Mbak?" tanya Mahasiswa itu lagi. "Ada Pak Gara di dalam."
"Terus?" Rindu tidak tahu apa yang akan terjadi di dalam sana. Dia hanya tahu kalau selain Segara, ada Leni, dan Irena. Bagaimana dirinya melewati sidang, hatinya bahkan tak peduli. Berapa pun nilainya tidak jadi masalah, yang penting dia harus lulus melewati bagian akhir ini.
Pintu terbuka dan muncullah satu mahasiswa dengan wajah pucat. "Gila, ini, sih! Kupikir, makin sore mereka makin santai karena kehabisan energi. Ini malah makin garang."
Rindu tidak berkomentar. Dia hanya terus menatap pintu yang kembali tertutup tanpa peduli sekelilingnya. Mahasiswa lain datang mengerumuni si anak yang baru saja keluar untuk menanyakan nasib di ruang sidang.
"Masuklah, Mbak Rindu!" kata si anak yang keluar sesaat lalu. "Aku lupa bilang."
Rindu menarik napas panjang, lalu berdiri. Dia merapikan roknya dan menarik blazer supaya tidak ada yang berkerut atau terlipat. Kemudian, kakinya melangkah mantap memasuki ruangan.
Rindu mengucapkan salam sebelum menuju tempatnya. Segara membuka sidangnya disusul paparan yang dibaca dengan suara tegas. Saat selesai membaca hasil tugas akhir, Rindu sempat menahan napas melihat Irena dan Leni membolak-balik kertas di tangan masing-masing.
Seperti yang selalu didengar Rindu bahwa Irena bukanlah tipe penguji yang menyusahkan mahasiswa, begitu juga kali ini. Sang Dekan hanya bertanya dua kali, selebihnya menerima jawaban dengan anggukan. Mata Rindu sudah menatap lurus tantenya yang hari ini mengenakan rok panjang dengan kemeja sepanjang siku. Riasannya tipis, cocok dengan rambutnya yang diikat membentuk sanggul mungil di atas tengkuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kidung Merah Jambu
RomanceRindu Rembulan terancam drop out jika tidak menyelesaikan tugas akhirnya semester ini. Di tengah tekanan proses tugas akhir, kekasihnya tewas dalam kecelakaan dan meninggalkan fakta bahwa pria itu ternyata memiliki istri yang sedang hamil anak perta...