🍁 5. Tujuan Tanpa Manfaat 🍁

656 183 17
                                    

Malam, temans. Yang nungguin Rindu mesti langsung merapat. Jangan sampe ketinggalan. Siapin kuaci, gorengan, dan minuman bersoda😁😁

Pukul sepuluh pagi, Rindu sudah menapak tangga menuju lantai dua gedung A. Di luar, keadaan tidak begitu ramai. Dia pikir, akan menyelesaikan revisi bab satu hari ini, dan segera lanjut ke bab berikutnya.

Perkiraan Rindu salah. Di depan pintu ruang Segara, ada setidaknya delapan mahasiswa sedang berdiri dengan kesibukannya masing-masing. Ada yang memegang tumpukan berkas, sibuk dengan ponsel, dan membicarakan sidang yang akan datang.

Rindu iri mendengar kata sidang. Dirinya tidak tahu akan memiliki kesempatan itu atau tidak. Yang dipikirkannya murni tentang waktunya yang tidak banyak sedangkan kapasitas otaknya biasa-biasa saja, bahkan cenderung di bawah rata-rata. Sidang masih jauh dari jangkauannya.

Rindu berdiri, ikut antrean tunggu untuk menemui Segara. Waktu berjalan sudah lebih dari setengah jam dan belum ada tanda-tanda mahasiswa di dalam akan keluar. Apa yang sedang dikonsulkan? Apakah mahasiswa itu sebego dirinya?

"Mbak," panggil Rindu mulai tak sabar, "lama amat yang di dalam. Berapa orang yang konsul?"

Rindu terlambat menarik ucapannya. Mestinya, dia tidak menanyakan pertanyaan bodoh seperti itu. Segara biasa menerima konsul tugas akhir atau proyek berkelompok. Salahkanlah otak buntunya yang tidak sabaran.

"Belum ada yang masuk, Mbak. Yang di dalam itu, tamunya Pak Gara."

Jawaban itu menjawab keingintahuan Rindu. Kalau begini lama proses membuat tugas akhir, mestinya dia mendengarkan ucapan orang tuanya. Tidak menganggap enteng semuanya dan berusaha serius.

Ketika teman sekelasnya lulus dua tahun yang lalu, Rindu tidak iri. Pergaulannya yang luas tidak membuatnya kesepian atau kekurangan teman. Pecinta alam masihlah wadah yang menurutnya tepat. Ekspedisi demi ekspedisi dia ikuti. Kegiatan lintas alam sampai berbagai pengamatan membuatnya semakin dikenal sebagai perempuan tangguh. Belum lagi usahanya menyediakan peralatan-peralatan petualang. Dimulai dari tas, carrier, daypack, carabiner, sepatu, sandal, tenda, dan seluruh perlengkapannya. Tidak ada yang tak dapat Rindu siapkan. Semuanya dipenuhi sesuai dengan permintaan meski dirinya tak pernah berhenti dolan.

Dengan semua kesibukannya, Rindu terlena. Lupa bahwa kuliah memiliki tenggat pasti yang tak bisa dilawannya. Ketika saat itu datang, dirinya benar-benar kelabakan. Tak ada lagi kata tak sempat, lelah, atau nanti saja. Sempat tak sempat, mau tak mau, dia harus maju. Tidak ada kata nanti meskipun pikirannya lelah.

Pintu ruang Segara terbuka. Pria itu mengantar tamunya yang masih sesekali membicarakan tentang peninjauan proyek. Oke, fine, semua orang menunggunya dan Pak Dosen tersayang sedang berurusan dengan duit besar. Harapannya, semoga proyek apa pun yang dikerjakan kaprodinya itu berhasil dengan baik supaya suasana hatinya melunak.

"Selamat siang, Pak."

"Siang." Segara menjawab sambil menyentuh hidung dengan telunjuk. "Masuk saja!"

"Duluan saja, Mbak!" Satu mahasiswa, entah semester berapa, mempersilakan sambil menatap Rindu sopan.

"Aku?" Rindu merasa ragu. "Aku datang belakangan."

"Nggak apa-apa. Santai saja, Mbak."

Rindu masuk lebih dulu, lalu duduk setelah Segara mempersilakan. Tanpa banyak bicara, dia menyerahkan file yang sudah diperbaiki. Dosennya minum air mineral yang sisa setengah gelas sebelum memasang kacamata dan mulai membaca.

"Kamu tahu bedanya tujuan dan manfaat?" tanya Segara tanpa mengalihkan pandangan dari file Rindu.

"Tahu, Pak," jawab Rindu yakin.

Kidung Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang