🍁 14. Tak Rela 🍁

660 174 28
                                    

Malam, temans. Yang kangen Rindu langaung merapat. Selamat membaca🥰
.
.
Bulan purnama bersinar terang. Cahaya keperakan menembus dedaunan sebelum menyentuh tanah. Rindu duduk di kursi malas, di depan sekretariat Mapala.

"Cahyaning bulan nrajang pucuking cemoro. Angin kang teko sasat nggowo gending tresno. Banyu bengawan sinorot cahyaning bulan. Lir sewu dian alerap nggugah kenangan ...."

"Masuk!" teriak Adiyanto seraya mengacungkan ibu jari ke arah Galang yang menyanyi. Dia meletakkan sekantong gorengan yang masih panas di meja, lalu diserbu teman-teman yang ada di sana.

"Pas to lagu karo suasanane. Padang bulan karo wit cemoro iku. Sing gak onok mek kenangane (Pas, 'kan, lagu sama suasananya. Terang bulan dan pohon cemara. Yang nggak ada hanya kenangannya)."

"Lapo sampean golek genangan. Wis digowo mantan iku, mambu lek dijarno terus (Kenapa kamu mencari genangan? Sudah dibawa mantan itu, bau kalau dibiarkan terus)."

"Ngomong coro (kecoa)!" sahut Rindu seraya mengambil sepotong menjes panas dan cabe.

"He, Pacar!" Adiyanto duduk tak jauh di samping Rindu. "Ora apik ngomong ngono iku (Tidak bagus bicara begitu itu)!"

"Namaku masih Rindu, belum diganti jadi Pacar."

Adiyanto tertawa. "Besok aku manjat lagi ke Lembah Kera. Nggak ikut?"

"Nggak usah!" tukas Galang seraya meletakkan gitar sebelum mengambil weci dan cabe serta petisnya. "Urus tugas akhir! Kalau itu selesai, bisa manjat sepuasnya."

"Siapa yang pacarnya, siapa yang ngatur. Nyolot lagi!" Adiyanto masih tak mau mengalah.

"Woi, sok ngaku pacar," cela Galang, "nggak bakal direstui sama papanya Rindu. Di mana pun, orang tua nggak mau anaknya nikah sama pengangguran."

Kalau sudah berdebat begitu, Rindu mulai kesal. Walaupun hanya omong kosong, tetapi saling serang kata bisa menyakitkan telinga. Lama-lama dibiarkan, pasti muncul kata-kata kasar yang bahkan tak layak untuk didengar.

"Moleh kabeh (pulang semua)!" teriak Rindu. "Males aku kalau sudah mulai rame gitu."

"Kenapa, sih, Ndu, gampang banget ngambek?" Adiyanto menelan makanan, lalu mengubah duduk menghadap Rindu. "Cepat tua kalau suka marah-marah."

"Halah, tua itu bukan perkara cepat atau lambat, tapi kepastian yang nggak bisa dihindari," kata Rindu dengan tatapan mencela.

"Wih, pinter," sahut Galang, "gak rugi jadi anak didiknya Pak Gara."

Rindu diam. Matanya kembali ke ponsel dan membaca artikel-artikel yang dibutuhkan, contoh tugas akhir yang diunduh untuk dijadikan referensi. Kalau bukan karena Segara yang melunak, dia tak memiliki semangat untuk melakukan semua ini.

"Tumben sekretariat sepi." Adiyanto seolah tak rela jika suasana di sekretariat lengang.

"Memang biang onar kamu ini. Urus tugas akhirmu kenapa? Wisuda bareng Rindu." Galang menanggapi. Pria itu kembali meraih gitar, memainkan nada-nada sesuai maunya.

"Nggak banget," tolak Adiyanto enteng. "Aku nggak lagi tenggat. Jadi, alon-alon ae nggarap iku (pelan-pelan saja mengerjakan itu). Sambil dolan lah ya ... biar nggak edan."

"Terserah, sih, aku cuma menyarankan."

Adiyanto masuk sekretariat. Sudah pasti mencari peralatan berpetualangnya. Kegiatan yang juga diinginkan Rindu, tetapi harus ditunda untuk saat ini.

"Mau kunyanyikan lagu apa, Ndu?" Galang melirik Rindu, sementara jemarinya terus memetik dawai gitar.

"Tumben tanya, biasanya juga langsung ngomel." Rindu tak memalingkan muka dari layar ponsel.

Kidung Merah JambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang