Bab 4

220 56 17
                                    


Bab 4 Patah hati


Restoran yang menyediakan masakan Jepang menjadi pilihan Dipa ketika menjemputnya malam ini. Tempat yang menawarkan view dan suasana nyaman membuat tempat ini menjadi favorit mereka berdua selama ini. Meski terkadang yang mereka lakukan hanya duduk sibuk dengan ponsel di tangan masing-masing. Seperti malam ini.

Mara sibuk membalas pesan dari beberapa orang yang tertarik kursi Babon Angrem miliknya. Ia tak menyangka kursinya mendapat banyak tanggapan. Walaupun selama ini, hampir semua klien mereka memilih tampilan modern.

"Jadi ke Padang?"

"Hah," kata Mara. "Maaf. Kenapa?" tanyanya yang tak mendengar pertanyaan Dipa. "Sorry, tadi lagi balas pesan." Ia meletakkan ponsel di atas meja dan memutuskan untuk memusatkan konsentrasi pada Dipa.

"Jadi ke Padang?" Mara menggeleng. "Kenapa?"

"Enggak boleh Mama," jawabnya. "Mama bilang kalau naik pesawat, boleh. Tapi kalau nyet—"

Dipa mencengkeram pergelangan tangannya. "Aku udah bilang jangan, kan, Non!" sela Dipa yang selalu memanggilnya Non. "Aku enggak bisa nemenin kamu! Kenapa enggak pesawat aja?!" Mara tak menarik tangannya, meski ia merasa cengkeraman Dipa mengerat. "Jangan bikin aku kuatir!"

Ia tak menyukai nada suara Dipa saat ini. Mara tak tahu apa yang terjadi. Namun, wajah keras yang saat ini memandangnya terlihat aneh. Tidak ada senyum atau hangat yang selalu didapatkannya di sana. "Kamu harus berhenti bikin aku kepikiran, Non!"

"Mas, kamu ... kenapa?" Dipa hanya diam tak menjawab pertanyaannya. "Aku tahu kalau ada sesuatu, dan..."

"Minggu depan aku tunangan." Untuk sesaat, Mara merasa dunianya berhenti. Suasana ramai di sekitarnya pun menghilang. Tidak ada suasana nyaman yang selama ini selalu dirasakannya setiap kali bersama Dipa. Perlahan-lahan, cengkeraman tangan Dipa mengendur dan terlepas sebelum sempat di cegahnya.

"Ta." Mara menelan ludah yang terasa sulit untuk dilakukan. "Tapi ... kamu ... kita." Ia tak bisa menyelesaikan kalimatnya.

"Sebulan lalu, aku memintamu untuk menikah denganku, Non." Mara mengernyit mendengar sedih dan marah yang terasa di setiap ucapan Dipa. "Mama Papa kasih aku waktu satu bulan. Jika sampai batas waktu yang mereka tentukan enggak bisa bawa calon istri, aku harus mau dijodohin."

Mara masih diam menatap keluar. Mencari satu titik yang bisa membawanya jauh dari kenyataan. "Non," panggil Dipa yang entah kenapa membuat air matanya menetes. "Ini pernikahan bisnis," ucap Dipa yang tak membuat perasaan sedih di hatinya berkurang. "Kamu tahu, kan, aku pantang membolak balik omongan. Aku bukan orang yang melepas tanggung jawab, dan menikah dengannya adalah bagian dari itu semua."

Dipa menarik pundaknya. Melingkarkan lengannya. Namun, yang dirasakan Mara hanya satu. Bingung.

Seperti anak remaja yang galau ketika dihadapkan masalah hati. Saat ini, Mara pun merasakan hal yang sama. Selama ini, ia selalu menolak ajakan Dipa. Bahkan pinangan yang disampaikan dengan lembut di telinganya tepat sebulan lalu pun tak menggerakkan hati. Semua kebaikan, kegigihan, perhatian dan kasih sayang yang Dipa tunjukkan pun tak mampu untuk membuatnya berkata iya.

Namun, saat ini, ketika pada akhirnya Dipa lelah menunggunya. Ia merasa takut kehilangan dan ingin berkata iya. "Do yo love me?" tanyanya sebelum kehilangan keberanian.

Mara bisa melihat wajah Dipa berubah. Mata membelalak yang kini menatapnya dengan sorot tak bisa ia artikan seolah menyimpan banyak hal. "Dari semua yang pernah Mas bilang selama ini. I love you, i miss you, i need you. Itu semua hanya di kepalaku, atau—"

"Non!" sela Dipa. "Itu enggak hanya ada di kepalamu!" Mara terhenyak mendengarnya. "Kamu tahu dan bisa ngerasakan semua yang kurasakan selama ini, kan?!" Dipa berhenti sesaat sebelum menangkup pipi Mara. "Aku sayang kamu, tapi aku enggak bisa nunggu kamu siap lebih lama lagi, Non! Aku enggak bisa diam di tempat nunggu kamu datang. Aku punya kewajiban meski itu berarti harus melepaskanmu."

Mara tak mempedulikan di mana mereka berada saat ini. Ia tak menghiraukan beberapa pasang mata yang menatapnya dengan bermacam reaksi. Ia tak ingin tahu apa yang orang lain pikirkan saat ini. Air mata yang mengalir pelan di pipi mewakili perasaan hatinya.

"Minggu depan," kata Mara. "Apa yang harus kulakukan, Mas? Dalam waktu seminggu aku akan kehilangan kamu. Semuanya akan berubah." Mara menghindari tatapan mata Dipa. "Aku tahu kalau selama ini kamu udah sabar ngadepin aku, tapi seminggu ... kalau saja kamu bilang kalau ...."

"Non, lihat aku!" pinta Dipa. "Enggak ada yang berubah di antara kita berdua. Aku tetap Dipa-mu." Mara menggelang kuat mendengar itu. "Aku tetap punya kamu, Non." Gelengan kepalanya semakin kencang, menyadari Dipa tak pernah menjadi miliknya selama ini. Ia tak pernah menjadikan Dipa miliknya, dan saat ini. Mara kehilangan kesempatan untuk menjadikan Dipa miliknya.

Mara merapikan barang bawaannya, "Aku pulang, Mas." Dengan cepat ia meninggalkan Dipa yang segera melakukan pembayaran. Namun, Mara tak ingin menunggu dan melihat wajah Dipa yang malam ini membuatnya patah hati.

Getar ponsel di tangan tak Mara gubris ketika ia turun ke lobby, menunggu taxi yang anehnya tak kunjung ia dapatkan. Getar itu kembali datang dan kali ini Mara memutuskan untuk menjawabnya. "Tunggu aku di lobby!" nada perintah yang tak pernah Mara dengar dari Dipa selama ini. Ia bahkan tak memiliki kesempatan untuk membantah, karena Dipa sudah mematikan ponsel. Mara tergoda untuk meninggalkan Dipa, mencari taxi untuk pulang. Namun, bayangan Dipa menyusulnya ke rumah, membuat Mara memutuskan untuk menunggu.

"Jangan pernah ninggalin aku seperti tadi, Non," kata Dipa tak lama setelah Mara menutup pintu mobil. "Kamu enggak ngerti aku lari seperti orang gila di dalam mall. Enggak peduli ada berapa orang yang hampir jatuh karena aku." Mara masih menolak untuk memandang Dipa yang saat ini membelah jalanan.

Tujuh hari, dan dia akan menjadi milik orang lain. Mara mengulang kalimat itu hingga kepalanya penuh. Mengingatkan bahwa saat ini, ia kehilangan kesempatan. Meski selama ini ia tak berusaha untuk meraihnya. Ia melewatkan kemungkinan hidup bersama Dipa. walau ia tak pernah menginginkan hal itu selama ini.

"Non, kamu ... aku harus gimana?" tanya Dipa. "Kamu mau aku batalin pertunangan itu?" Mara menggeleng lemah. "Lalu apa mau kamu?" Mara kembali menggeleng karena saat ini, ia tak tahu apa yang diinginkannya. "Non, aku harus gimana?"

Hingga mobil Dipa berhenti di depan rumah kedua orang tuanya, Mara masih diam tanpa mengatakan apa pun. "I love you, Non," ucap Dipa ketika Mara hendak membuka pintu. Untuk sesaat, Mara ragu untuk melakukan apa yang ada di kepalanya. Namun, tiba-tiba tubuhnya seolah memiliki keinginan sendiri. Ia membalik badan dan memeluk erat Dipa. "I love you. Kamu harus tahu itu." Mara mengangguk dalam pelukan Dipan.

Terakhir. Ini terakhir kali aku memeluknya. Pikir Mara dalam hari ketika mengeratkan lingkaranlengannya di leher Dipa. Dalam waktu tujuh hari, ia harus melepas Dipa danmengikhlaskan pria itu mencari kebahagiannya sendiri. Tanpa dirinya.


Nah, kaaaaan, Mara emang kadang gemesin.

Kalau teman-teman punya pilihan ;
A. Aku terusin Mas Ninu
B. Cerita baru bertema janda
C. Cerita perselingkuhan bertabur 21+
Hayo, pilih yang manaaaa?

Happy reading guys

Love, ya!
Shofie

TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang