Bab 24.2

248 52 13
                                    



"Dan ngebuat Caca panik. Saking paniknya sampai bikin Mas Aga bingung juga nyariin kamu." Kekehan Dipa membuatnya menoleh dengan pandangan membunuh. "Enggak perlu melotot gitu, lah, Non. Lagian aku masih di sini, ntar juga balik. Caca aja yang panikan, padahal masih ada waktu dua jam sebelum sesi foto terakhir." Dipa menatap jam di tangannya sebelum kembali memandang laut di depan mereka.

"Kenapa tadi bilang kalau enggak bisa nerusin ini semua? Kenapa, Mas?!" tanya Mara mengingat pesan Dipa beberapa saat lalu.

Dipa yang kini menyelonjorkan kaki tak menoleh padanya. Helaan napas panjang yang kini menarik perhatian Mara membuatnya berpikir tentang kegalauannya sendiri. "Caca perempuan sempurna, Non. Dia baik. Cantik. Lembut."

"Beda sama aku," sela Mara yang membuat Dipa tertawa.

"Iya, beda sama kamu," ucap Dipa meliriknya sambil terkekeh. "Caca pernah bercerita tentang keinginannya. Apa yang diinginkannya setelah kami berdua menikah. Dan kamu tahu, semua terlihat sempurna. Sesempurna yang bisa kamu bayangkan, lah."

Mara mengernyit keheranan. "Aku seperti melihat diriku sendiri sebelum bertemu denganmu, Non. Kamu tahu kalau aku selalu memiliki rencana untuk hidupku, kan." Mara mengangguk mengingat hidup teratur Dipa selama ini. "Kamu tahu buku planningku yang dulu buat kamu ketawa sampai nangis, kan." Kini Mara tak bisa menahan tawanya mengingat ketika ia menemukan buku itu di atas meja kerja Dipa.

"Lalu masalahnya di mana?"

Dipa menekuk lutut, memeluk kaki dan menoleh ke arahnya. "Masalahnya adalah Caca juga melakukan hal yang sama, dan itu terasa menakutkan."

Mara semakin tak mengerti dengan apa yang Dipa maksudkan, "Iya terus kenapa kalau Caca melakukan hal yang sama, Mas? Bukannya itu baik, ya. Jadi kalian bisa bikin rencana berdua."

"Bersama kamu, aku belajar untuk melepaskan diri. Tidak ada rencana yang mengikat. Berjalan apa adanya dan improvisasi saat di butuhkan. Dan aku menikmati itu, Non."

Mara memberanikan diri untuk melingkarkan lengan di pundak Dipa. Mendekatkan wajah mereka berdua. "Mas, sebenarnya ada masalah apa?"

"Aku ... aku mungkin mulai tertarik sama Caca." Mara tertegun mendengarnya. Tak mengira akan mendengar hal itu dari bibir Dipa. "Dari semua sisi, Caca berbeda darimu, Non."

Mara mengusap pundak Dipa sebelum menyandarkan kepala di sana. Menenangkan hatinya yang terasa sakit mendengar pengakuan Dipa. Sesakit yang dirasakannya beberapa saat lalu ketika Aga melepas tangannya. "Caca mudah untuk dicintai, Mas. Jika rasa itu mulai datang, rangkul dan nikmati itu semua. Kamu berhak untuk bahagia."

"Tapi kenapa rasanya seperti mengkhianatimu, Non." Mara ingin berteriak dan berkata karena itu yang kamu lakukan padaku! Tapi ia tahu bukan itu yang terjadi. Rasa tertarik Dipa pada Caca sangatlah wajar, dan Mara memahami itu. Caca perempuan yang mudah untuk dicintai, berbeda dengannya. Sifat keras kepalanya terkadang membuatnya sulit untuk dimengerti, dan Mara menyadari itu.

TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang