Bab 20.2

201 65 11
                                    

Bab 20.2Jepara bersama Aga


Aga menatapnya lembut. "Kami berdua move on bukan sesuatu yang mudah, Yang. Butuh proses dan melibatkan banyak percakapan." Helaan napas panjang Aga seiring dengan anggukan kepalanya. "Aku jatuh cinta sama kamu, Non." Mara terkejut tak siap mendengar pernyataan Aga. Meskipun selama ini sikap Aga sudah menunjukkan semuanya. "Kenapa?"

"Kamu enggak bisa ujug-ujug bilang jatuh cinta sama aku, gitu, Mas!" katanya bersemangat. "Selama ini ... perkataan, sikap dan semuanya yang Mas tunjukkan, aku tahu kalau ada sesuatu antara kita berdua. Tapi ...." Mara diam.

"Memangnya kenap? Kamu ragu," ucap Aga yang ia angguk dengan pasti tanpa ada keraguan. "Aku ngerti dan wajar kalau kamu ragu. Karena terkadang aku pun ragu sama kamu."

Mara mengeratkan tangannya mengerti dengan apa yang Aga ucapkan. "Karena Dipa?" tanya Aga yang Mara jawab dengan gelengan kepala.

"Lebih ke akunya, sih," ucapnya. Selama ini, hanya Dipa yang benar-benar serius menunjukkan perasaannya. Kesungguhan dan keseriusan Dipa justru membuat Mara merasa ragu. Berbeda dengan apa yang ia rasakan pada Aga. Meski ragu masih setia menggelayut di dalam hatinya, tapi Mara merasa ada keyakinan di hatinya. Walaupun hingga saat ini, ia masih menyangkal hal itu.

"Kita berdua memulai ini semua dengan cara yang berbeda. Tidak seperti layaknya pasangan yang lainnya, kita bahkan enggak bisa disebut pasangan. Iya, kan?" tanya Mara. "Mas," panggil Mara menarik tangan Aga ketika tak kunjung menjawabnya.

"Tapi kamu juga ragu sama aku, kan?" Aga menyuarakan keraguannya. "Apa yang buat kamu ragu sama aku?" tanya Aga.

"Bohong kalau aku bilang enggak ragu sama kamu, kan," ucapnya. "Kalau tanya apa yang buat aku ragu ... semuanya, lah!" jawab Mara tegas. "Kamu jadi bayanganku karena Caca. Iya, kan?!" Aga mengangguk sambil tersenyum. "Kedekatan kita berdua karena kamu enggak mau aku ngerusak rencana pernikahan mereka berdua. Iya, kan?!" Aga kembali mengangguk. "Jadi wajar, kan, kalau aku ragu. Sama seperti kamu ragu sama aku."

Helaan napas panjang keduanya menjadi penanda apapun yang ada dipikiran mereka berdua terasa berat. "Caca itu perempun yang selalu menyimpan semuanya untuk dirinya sendiri. Berbeda sama kamu yang enggak ragu untuk mengatakan isi hati. Caca selalu merasa ragu karena dia enggak mau dihadapkan sama konfrontasi. Padahal enggak semua selalu berakhir seperti itu, kan."

Mara terdiam karena tak tahu apa yang harus diucapkan. "Caca mencintaiku ... dulu," ucap Aga memberi jeda.

"Sekarang?" tanya Mara penasaran.

Seperti yang selama ini terjadi, Aga tak segera menjawab. Meski senyum di bibir Aga terlihat jelas. "Sekarang, aku merasa Caca mulai tertarik sama Dipa." Mara terkejut mendengarnya. Selama ini Mara membentangkan jarak antara dirinya dan Caca. Ia tak ingin mengenal terlalu depat perempuan yang akan menggantikan posisinya. Walaupun selama ini ia tak pernah ingin mengeklaim posisinya di hati Dipa. Namun, mendengar ketertarikan Caca, ada perasaan tertinggal yang sulit untuk dijelaskan.

"Gimana Mas bisa bilang Caca tertarik sama Mas Dipa?" tanyanya berusaha menekan rasa yang muncul di hatinya. "Jangan bilang cemburu!" ancamnya. "Ini bukan cemburu, hanya penasaran."

"Aku kenal Caca, Yang. Dan aku tahu kalau rasa tertarik itu mulai hadir di hatinya." Aga menjelaskan dengan suara tenang. "Dan aku enggak cemburu, marah atau pun sedih. Kalau kamu lupa, aku yang ngerayu dia untuk mau terima perjodohannya, kan."

Ada sebuah pemahaman yang muncul di kepalanya setelah mendengar penjelasan Aga. Ia semakin mengenal siapa pria yang kini tampak berbeda di matanya. Bahkan Mara bisa mengenal siapa Caca. Sesuatu yang ia hindari semenjak mendengar berita pertunangan Dipa.

"Aku enggak pernah ragu sama hubunganku dan Caca selama ini, Yang. Tapi, aku dan Caca sadar kalau jalan kami berdua selesai sampai di sini."

Mara memundurkan badan. Menyandar dan melipat tangan di depan dada. Sambil memicingkan mata, ia menatap Aga. "Aku masih belum benar-benar ... gimana kamu yakin kalau jalan kalian berdua berhenti di sini? Gimana kalau semua itu hanya, penundaan. Mungkin di depan sana ada jalan kalian untuk sama-sama lagi."

"Seperti pengandaian di kepalamu tentang Dipa," tebak Aga yang membuatnya terkejut. "Benar, kan?" Mara menolak untuk menjawab, ia hanya mengedikkan pundak. "Seperti yang aku bilang tadi. Aku percaya Tuhan sudah atur jalan kita, jadi enggak ada gunanya berandai-andai." Mara merasa tersindir. "Kalau di masa depan jalanku kembali bertemu dengannya, berarti Tuhan sudah menggariskannya begity. Tapi bukan berarti aku akan duduk diam menanti hal itu terjadi, Sayangku." Mara mengulum senyum mendengar Aga menekan panggilan sayangnya.

Entah berapa lama mereka berdua menyelesaikan makan malan. Bahkan keduanya kini tak terlihat akan segera menyudahi malam. Aga pun tampak semakin nyaman menghabiskan waktu berdua dengannya, membahas semua hal termasuk Dipa dan Caca. Sesuatu yang jarang mereka lakukan selama ini. "Caca pernah bilang kalau dia yakin kamu enggak mencintai Dipa. Aku enggak tahu dari mana dia dapat keyakinan seperti itu. Tapi dia bisa merasakan itu."

Mara terkekeh menanggapi. "Aku sayang Mas Dipa, tapi bukan bentuk sayang yang ingin menjadikannya pusat dari duniaku. Bukan sayang yang membuatku ingin bersamanya di sisa umurku. Bukan sayang yang membuatku membayangkan melakukan semuanya." Mara tak pernah mengatakan itu semua pada siapa pun, dan saat ini ia memuntahkan perasaannya pada Aga. Pria yang menatapnya dengan kedua alis mata terangkat tinggi, keheranan.

"Bersama Mas Dipa, aku enggak menemukan getaran untuk menginginkan semua itu. Bersamanya aku merasa enggak imbang. Ngerti maksudku, kan, Mas?"

"Enggak imbang," ucap Aga terdengar heran. "Kenapa?"

Mara menatapnya ragu. "Karena perasaan Mas Dipa terasa terlalu besar, dan perasaanku ...." Mara terdiam sesaat. "Contoh Mama dan Ayah. Sebelum keduanya menikah, mereka berteman, bersahabat. Siapapun yang mengenal sebelum dan sesuadah mereka menikah, bisa melihat sayang keduanya itu seimbang. Enggak berat sebelah, dan itu yang kuinginkan dengan siapapun suamiku nantinya."

"Aku tahu kamu enggak cinta sama Dipa. Tapi ada sesuatu yang buat kalian berdua enggak bisa jauh." Komentar Aga membuat Mara tak terkejut. Ia bisa merasakan Aga mengerti dirinya.

"Seperti kamu dan Caca." Dilihat dari anggukan kepala Aga, Mara tahu jawabannya tepat pada sasaran. "Kita ini apa, sih, Mas? Pacaran, enggak. Apalagi tunangan. Lalu kita ini apa?"

"Kamu maunya kita apa? Kemarin aku udah bilang kita jadian, tapi kayaknya kamu belum yakin." Aga tertawa mendapati Mara menaikkan sudut bibirnya. "Aku maunya kamu jadi milikku!" Ketegasan dari setiap kata yang Aga ucapkan membuat hatinya membuncah. Walaupun tidak cukup untuk menghapus semua keraguan dalam hatinya.


Happy reading
Love, ya!
Shofie

TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang