Bab 15

201 61 16
                                    


Bab 15

Mandatory


Berbekal alamat yang Mara dapatkan berkat bantuan Dipa, kini ia berdiri di depan tanpa pagar bercat putih. Rumah yang terletak di daerah elit Surabaya Timur itu terlihat sepi. Meski ragu, Mara bertekad untuk menemui pria yang tak lepas dari pikirannya sejak semalam.

Jantungnya berdetak kencang dan ragu mulai kembali datang. Meski sejak semalam ia bertekad untuk mencari Aga, kini ia ragu dengan pilihannya. Senam pernapasan yang dilakukannya tak membuat takut yang mengisi hatinya berkurang.

"Mau sampai kapan berdiri di situ?!"

Mara membalikkan badan dan membelalak tak percaya. Aga berdiri tak jauh darinya, bercelana pendek berwarna putih, dilengkapi kaos navy yang melekat erat di tubuh yang terlihat basah kuyup. Topi hitam yang kini dipasang terbalik membuat Mara bisa melihar jelas wajah Aga.

"Mulai kapan Mas di situ?" tanyanya tak mengerti.

"Sejak kamu berdiri kaya patung ngeliatin rumahku," jawabnya. Mara memberanikan diri untuk mencari jejak marah di wajah aga. Namun, hingga beberapa saat, ia tak bisa menemukannya. Bahkan, ketika Aga melewatinya menuju pintu pun Mara masih mencoba mencari.

"Mau masuk, enggak?" Mara menggigit bibir bawahnya, menatap ke kiri dan kanan, entah apa yang di carinya. "Yang, ayo!"

"Coming," jawabnya tanpa menyadari saat ini Aga menahan senyum dibibirnya.

Rumah yang tampak luar di dominasi warna krem terlihat berbeda ketika Mara melangkah melewati ambang pintu. Pintu sliding mengarah ke teras belakang menarik perhatiannya pertama kali. Berbeda dengan kebanyakan rumah yang memiliki ruang tamu, rumah Aga justru tidak memilikinya.

"Sorry, berantakan." Mara hanya memandang Aga sekilas sebelum kembali mengamati setiap jengkal rumah yang terlihat rapi. Ia tak melihat ada barang yang tidak pada tempatnya. Namun, kitchen island dengan base cabinet berwarna biru navy membuatnya tak bisa berpaling. Mara terpaku memandangnya. "Kenapa?" tanya Aga.

Mara menunjuk kitchen island tanpa mengalihkan pandangannya. "Aku enggak tahu mulai kapan, aku selalu memiliki bayangan kitchen island seperti itu untuk rumahku," jawabnya tanpa sadar. "Kamu belum pernah ketemu, Rana, Mas," kata Mara tanpa mengalihkan pandangan dari dapur Aga.

"Dibanding Rana, aku enggak terlalu suka masak. Tapi aku suka bersih-bersih." Mara mengusap counter top yang terasa dingin di tangan. "Jadi aku paling suka lihat permukaan island bersih seperti ini."

Hening di antara keduanya membuat Mara semakin sibuk mengamati rumah Aga. Sofa kulit panjang menghadap televisi yang menempel di dinding membuatnya membayangkan bergelung di sana. Dalam pelukan hangat pria yang sesekali mencium puncak kepalanya. Hingga deheman Aga membuyarkan lamunannya.

"Sorry," katanya pelan sambil membalik badan. "Aku—"

"Aku tinggal bersih-bersih dulu. Anggap rumah sendiri, kalau mau kopi, aku barusan bikin tadi pagi," kata Aga menunjuk mesin pembuat kopi. "Dipa masih bolehin kamu minum kopi, kan? Atau aku perlu izin dia dulu." Mara menggigit bibir mendengar sindiran tajam Aga. "Aku tinggal bentar!" kata Aga ketika ia bersiap untuk membantah.

Beberapa saat setelah Aga menghilang ke lantai dua, Mara masih terdiam di tengah ruangan. Seakan tak berani bergerak, ia diam di tempat. Hingga sesuatu di teras belakang Aga menarik perhatiannya. Jajaran bungan African Violet berwarna ungu, pink dan putih menarik langkahnya mendekat. Tanpa sadar bibirnya tersungging mengetahui Aga menyukai bunga itu seperti dirinya. Ia tak menyangka pria yang selalu terlihat tak peduli tersebut memiliki hobi seperti dirinya.

TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang