Bab 14.1

131 38 14
                                    


Bab 14 To be continue


Dua hari setelah Aga mengantarnya pulang, kini Dipa datang dengan wajah kusut. Terlihat menahan diri. Sesekali menatapnya dengan sorot mata tak percaya. Hingga keduanya duduk di terasa depan selama sepuluh menit, bibir Dipa tetap terkunci. "Kenapa, Mas?"

"Kamu ke Karimun Jawa sama Aga!" Nada tak percaya yang kini memasuki ruang dengar membuat Mara terdiam. "Jadi, tawaranku selama ini enggak pernah kamu anggap serius!" Suara pelan Dipa membuat merasa bersalah.

"Mas, ak—" Dipa tiba-tiba berdiri meninggalkannya dengan perasaan campur aduk. "Aku bukannya ...." Mara tak tahu jawaban apa yang akan dia berikan pada Dipa. Saat ini pun ia tak tahu kenapa dengan mudah menerima Aga memasuki kehidupannya.

"Berapa lama kita kenal?" Pertanyaan yang tak perlu Mara jawab. "Tiga tahun, kan," kata Dipa. "Tiga tahun dan enggak sekalipun kamu terima semua tawaranku. Wakatobi, Derawan hingga Raja Ampat, engak ada yang kamu terima. Dan sekarang." Dipa membalik badan, menatapnya dengan tangan dipinggang. Sorot mata terluka yang ada di mata Dipa membuatnya menggigit bibir.

"Aga, Non?!" tanyanya heran dengan kening mengernyit. Mara yang tak mengerti dengan keberatan Dipa hanya mengedikkan pundak. "Kamu kenal Aga baru berapa lama, sih?! Dan sekarang mau ke Karimun Jawa. Berdua.?!"

Mara mengerti dengan sikap kecewa Dipa, tapi ia tak tahu kenapa kepergiannya menjadi masalah besar. Ia bahkan kesulitan menemukan kata untuk menggambarkan apa yang dirasakannya. "Kenapa, Non?"

"Kenapa apanya?" tanyanya semakin tak mengerti.

Dipa kembali duduk. Menumpu siku di atas lututnya dan menatap ke depan. Sesekali meliriknya, tanpa mengatakan apapun. Keheningan itu membuat Mara semakin bingung menghadapi sikap Dipa. Hingga sesuatu terlintas di pikirannya. "Kamu cemburu?" tanyanya.

"Kamu masih tanya?" jawab Dipa. "Selama ini ...." Dipa terdiam. "Semenjak pertemuan pertama kita, aku selalu ngebayangin kalau akan menikahimu suatu hari. Aku sabar nunggu kamu. Keenggananmu. Keraguanmu. Semuanya, Non." Dipa menatapnya, tidak ada kebencian di sana. Bahkan Mara bisa merasakan cinta yang Dipa punya untuknya. Setidaknya itu yang dipikirkannya.

"Kenapa Aga berbeda, Non?" Suara tertahan Dipa membuat hatinya pedih. "Apa yang membuatnya istimewa, membuatmu bisa begitu mudah menerimanya. Apa yang aku enggak punya, hingga selama ini akhirnya aku harus ngerelakan kamu pergi."

Mara tak siap mendengar pertanyaan tersebut. Untuk beberapa saat, ia hanya bisa terdiam. Ia tak tahu apa yang membuat Aga berbeda. Walaupun bayangan kehidupan bersama Dipa kerap muncul semenjak mendengar pertunangannya. Namun, saat ini bayangan Aga pun mengisi kepalanya. "Berbeda gimana?" tanyanya memberanikan diri.

"Kamu terima uluran tangannya!" Nada ketus itu terdengar jelas. Meski disampaikan dengan pelan, Mara mendengarnya dengan jelas. Bahkan saat ini kepalanya sedikit pening karena menoleh terlalu cepat.

"Kenapa? Aku juga selalu nerima uluran tanganmu, kan, Mas?!" Mara tahu saat ini Dipa bisa melihat kebingungan di wajahnya. "Enggak hanya uluran tangan, kan. Aku juga meluk kamu! Aku juga enggak pernah nolak setiap kali Mas Dipa gandeng atau peluk aku, kan?" Meskipun ia tahu semua itu terasa berbeda, tapi Mara berusaha untuk menjelaskan. "Aku pun enggak pernah menolak setiap kali Mas Dipa cium keningnku, kan."

Dipa masih menutup bibirnya, menggelangkan kepala. "Setahun. Kamu mau nerima uluran tangan atau pelukanku setahun setelah kita kenalan. Setahun, Non!" Tiba-tiba Dipa mengulurkan tangan, membuatnya terkejut dan terdiam. "Kenapa Aga berbeda, Non?"

Mara menerima uluran tangan Dipa. Menggenggam erat dan menatap mata pria yang saat ini terlihat bingung. "Aku enggak tahu apa yang membuatnya berbeda, Mas," kata Mara tanpa mengalihkan pandangannya. "Jujur, waktu datang ke pesta pertunangan Mas Dipa, yang terpikir hanya satu. Apa yang terjadi kalau saat itu aku menerimamu. Karena aku enggak bisa berhenti ngebayangin apa jadinya kalau tunanganmu itu aku. Apa yang terjadi kalau aku yang akan jadi istrimu, bukan Caca."

Dipa terdiam tanpa melepas genggaman tangan mereka berdua. "Aku enggak mau cerita kita tamat di sini. Itu yang ada di kepalaku selama ini." Mara tahu apa yang dikatakannya saat ini bisa menjadi titik balik hubungan mereka. Ia pun menyadari saat ini bisa menjadi bumerang dan merugikannya nanti. "Tapi aku juga tahu kalau semua sudah terlambat. Masuk akal, enggak, sih?!" tanyanya dengan suara serak ketika air mata menggenang di pelupuk matanya.

Tangan keduanya masih saling menggenggam. Seolah itu menjadi hal terakhir yang bisa mereka lakukan. Setidaknya itu yang ada di kepala Mara. Selama ini ia merasa harus membentang jarak antara dirinya dan Dipa. Namun, semenjak pertunangan itu, ia ingin mengahapus jarak. Mara ingin mengetahui cerita yang mungkin terjadi antara mereka berdua.

"Aku sayang kamu, Non." Dipa menarik tangannya. Meletakkan telapak tangan Mara di depan dadanya. Merasakan detak jantungnya. "I love you. Itu enggak akan berubah, sampai kapan pun."

"Mas," katanya terisak.

"Aku enggak akan membatalkan pernikahanku, Non. Kamu tahu taruhannya terlalu besar." Dipa masih menahan tangannya ketika Mara mengangguk mengerti. "Tapi aku juga enggak bisa berhenti mencintaimu. Tapi aku pun tak bisa diam saja ngelihat kamu dekat sama Aga!" Mara tak tahu harus berkata apa. "Untuk saat ini, aku enggak bisa menghentikan rasa cemburu ini, Non."

Mara tak menarik tangannya. Ia merasakan dentuman jantung Dipa berdetak semakin kencang seperti apa yang dirasakannya. Kedekatan mereka selama ini terasa berbeda. Ketika pandangan mereka berdua beradu, Mara bisa melihat semua yang selama ini menjadi pertanyaan di kepalanya.

"Kamu enggak berhak cemburu, Mas!" katanya pelan.

Dipa mengangguk pelan, "Aku tahu itu, Non! Tapi bukan berarti aku bisa berhenti sayang kamu. Bukan berarti aku berhenti peduli sama kamu. Dan bukan berhenti aku bisa berhenti ngebayangin kamu yang jadi istriku!"

Mara sengaja mengajak Dipa duduk di teras rumah malam ini. Bukan di dalam atau bahkan teras belakang yang selalu jadi tujuan keluarganya. Ia merasa harus memisahkan Dipa dan keluarganya. Bahkan tanpa sadar, selama ini ia selalu menarik garis antara Dipa dan keluarganya. Namun, ketika pada akhirnya ia harus melepas Dipa, Mara merasa tak mampu. Seperti saat ini.

"Aku enggak bisa berhenti ngebayangin apa yang terjadi kalau enggak ada Caca. Kita bahagia, enggak? Seperti apa kehidupan kita berdua." Mara menarik tangannya. "Aku enggak tahu kenapa rasa penasaran ini kuat banget, Mas."

Keduanya memandang ke kegelapan, tanpa ada kata terucap. Mara sibuk membayangkan kehidupannya. Berbeda dengan Dipa yang tak bisa menghapus kejadian beberapa jam lalu dari pikirannya. "Aga datang ke kantor tadi sore."


Mas Aga ngapain datang ke kantor Mas Dipa ya??

Happy reading guys
Love, ya!
Shofie

TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang