Bab 16

202 66 10
                                    


Bab 16Pagi yang aneh


Semua orang yang mengenal Mara, mengetahui keinginannya untuk pergi ke Karimun Jawa. Tidak hanya sekali ia menyebut keinginannya. Bahkan setiap kali ia pergi ke Jepara untuk urusan pekerjaan, Mara selalu meminta izin untuk menyebrang ke pulau yang berjarak dua jam tersebut. Namun, hingga saat ini, Mitha belum mengizinkannya dengan berbagai alasan. Hingga beberapa malam lalu ketika izin turun dengan syarat ia tidak pergi sendiri. Aga yang baru saja bertandang ke rumahnya untuk pertama kali, tiba-tiba saja mendapat kepercayaan kedua orang tuanya. Mara tak ingin tahu alasan di balik kepercayaan Mama dan Ayahnya. Bagi Mara, yang penting ia bisa berangkat ke Karimun Jawa.

Mara bukan tipe perempuan yang menyusun tujuan kepergian setiap kali melakukan perjalanan. Ia menyukai spontanitas dalam menentukan tujuan. Namun, ketika impiannya ke Karimun Jawa sudah di depan mata, ia tak ingin menyia-nyiakan waktu. Di luar kebiasaannya, ia menyusun tempat tujuan yang diinginkannya. Bahkan, Mara menyertakan rincian biaya, karena ia tak ingin liburannya memakan terlalu banyak isi tabungannya.

"Non, nanti malam ketemu di kafe tempat biasanya, ya!" Suara Dipa mengisi ruang dengarnya ketika Mara menggeser tanda hijau di ponselnya. "Ada hal penting yang harus aku sampaikan ke kamu. Aku yakin kamu bakalan suka."

Setelah kejadian malam itu, intensitas pesan dan telepon Dipa tak berkurang. Meski itu melanggar permintaan Aga—yang belum ia setujui hingga saat ini—Mara tetap merasa tidak nyaman setiap kali membalas atau menjawab telepon Dipa. Seperti saat ini, ketika ia memikirkan tentang Karimun Jawa bersama Aga, telepon Dipa membuat pikirannya teralihkan.

"Ngomong sekarang aja, dong, Mas," pintanya. "Aku lagi malas mau keluar." Siklus bulanan Mara selalu membuatnya malas untuk keluar. Ia bahkan izin untuk tidak berangkat ke kantor, karena yang diinginkannya hanya bergelung di atas ranjang. Menikmati kram perut yang selalu melanda satu hingga dua hari di setiap bulannya.

Helaan napas Dipa membuat Mara membayangkan wajah kecewa Dipa. Bahkan ia bisa melihat kerutan di keningnya setiap kali sedih atau kecewa muncul di wajah pria itu. "Aku jemput, please. Aku butuh kamu malam ini."

Selama mereka berhubungan, Dipa selalu mengatakan membutuhkannya ketika menginginkan sesuatu. Seperti ketika ia harus menemani Dipa ke salah satu acara ulang tahun perusahaan relasi keluarganya. Mara pun pernah harus izin dari kantor ketika Dipa mengatakan membutuhkannya di Bali. Kali ini, ketika mendengar Dipa mengatakan membutuhkannya, Mara tak bisa menghentikan kecurigaan yang muncul di kepalanya. "Kita mau pergi ke mana?" tanyanya.

"Kamu harus datang untuk tahu kita mau pergi ke mana," jawab Dipa terdengar bersemangat, membuatnya semakin curiga. "Aku jemput jam tujuh, ya. Hari ini aku harus stay di pabrik sedikit lebih lama." Mara menarik napas bersiap untuk melayangkan protes ketika suara Dipa kembali terdengar. "Aku jemput di rumah, dan jangan protes. Love you."

"You too," jawab Mara meski saat ini Dipa sudah memutus sambungan telepon mereka. Ucapan cinta yang selalu menjadi akhri pembicaraan mereka, tak bisa Dipa hilangkan begitu saja. Meski semenjak dulu, Mara jarang membalasnya. Namun, ketika mendengar kata love you meluncur dari bibir Dipa, Mara tak bisa menghentikan pikirannya. Sosok Aga mengisi kepalanya sesaat setelah ia mengatakan You too.

Agastya
Dipa enggak boleh jemput, ya, Yang!

Mara mendesah dan mengerang ketika membaca pesan Aga. Pria yang entah kenapa sulit untuk menghapus panggilan Yang untuknya tersebut semakin sering mengirim pesan. Meski terkadang pesan yang di dapatnya penuh dengan larangan berhubungan dengan Dipa.

TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang